JADILAH MUALAF YANG BERADAB!
SAYA awalnya tak mau menulis seputar praktik keagamaan atau tema-tema yang beginian. Selain tak menguasai persoalan, juga karena saya malas menulis seputar umat Islam dengan segala masalah yang menimpanya. Tapi sepertinya nurani saya terus mendorong saya agar menulis tentang ini.
Begini, beragama itu adalah pilihan masing-masing individu. Dalam konteks warga negara pun, meyakin sebuah agama itu adalah hak azasi warga negara. Siapapun tidak bisa memaksa dan mengintervensi pilihan dan hak beragama seseorang. Itu sudah dimaklumi oleh siapapun. Kita sudah paham tentang itu.
Namun bila hak beragama justru dipraktikkan secara dangkal dan menimbulkan keresahan juga ketidaknyamanan bagi sesama warga negara, maka pilihan dan hak semacam itu mesti dievaluasi. Konteks evaluasinya bukan pada yakin atau tidaknya, tapi pada tingkah atau tindakan praktis dalam beragama itu sendiri.
Saya secara pribadi meminta MUI dan berbagai organisasi keagamaan Islam agar untuk sementara waktu tak perlu memberi panggung kepada mualaf manapun untuk ceramah dan semacamnya. Selain meresahkan umat Islam juga membuat hubungan antar umat beragama menjadi tak nyaman.
Sebagainana yang saya ungkap di awal, betul bahwa meyakini sebuah agama dan menyebarkan ajaran agama adalah hak individu, tapi bila menimbulkan keresahkan dan ketidaknyamanan maka hal semacam itu perlu ada penyesuaian bahkan evaluasi yang lebih serius.
Sekadar contoh, belakangan begitu banyak penceramah yang konon mualaf memberi ceramah di berbagai forum. Tema ceramah sih tidak bermasalah, namun konten ceramah kerap menimbulkan kersesahan dan ketidaknyamanan dalam berbagai sisi.
Menjelek-jelekkan ajaran agama yang mereka yakini sebelumnya di hadapan umat Islam dalam beragam forum itu sangat menjijikkan. Apalah lagi melalui TV dan berbagai media sosial yang menjamur saat ini, itu sangat tidak elok. Membuat panggung ceramah jadi medan caci maki dan hina menghina.
Islam dengan berbagai prinsip dan nilai-nilai luhurnya tak perlu dibentur-benturkan secara masal dengan ajaran agama lain. Apalah lagi pada forum terbuka dan di hadapan kaum yang bisa jadi masih awam, sama sekali tak perlu. Karena memang tidak punya manfaat apa-apa. Malah menghadirkan banyak kemudaratan.
Pengalaman mereka seputar agama yang mereka yakini selain Islam sebelum kelak masuk Islam tak perlu disampaikan kepada umat Islam, tak perlu dipidatokan di berbagai forum, dan tak perlu disebarkan ke mana-mana. Cukup itu sebagai pengalaman pribadi.
Islam bukan agama pendendam. Umat Islam juga bukan massa yang perlu mendengar hal semacam itu. Pengalaman yang begitu khusus lalu disampaikan secara heroik dan berapi-api semacam itu, menimbulkan ketegangan yang tak produktif. Membuat kesempatan berceramah menjadi ladang menanam kemarahan dan dendam kesumat.
Khusus bagi para mualaf, saya anjurkan untuk fokus belajar dan mendalami ajaran Islam. Tak usah bercerita secara berlebihan tentang pengalaman semasa sebelum masuk Islam. Cukup itu menjadi pengalaman spiritual masing-masing. Hikmah dan pelajarannya boleh disampaikan kepada siapapun, tapi dengan cara yang santun.
Berpindah keyakinan atau agama, alias menjadi mualaf bukan berarti pintu untuk menista agama atau ajaran agama lain dibuka lebar. Justru menjadi mualaf itu mesti menjadi medan untuk menghadirkan ajaran agama yang baru diyakini atau diimani secara damai dibuka lebar.
Tindakan mencaci maki dan menghina ajaran agama non Islam yang dipertontonkan justru menjadi semacam tindakan konyol. Wajah agama Islam yang seharusnya tetap indah dan rahmat bagi semua malah tercoreng karena tindakan semacam itu. Bukan kah Islam itu konsen dengan tindakan penuh hikmah dan perdamaian?
Agama mestinya diyakini secara tulus dan diamalkan secara santun. Tak usah mencaci maki sesembahan agama lain, sebab nanti dikhawatirkan Allah bakal dicaci maki. Perdalam ajaran Islam, itu lebih baik dan produktif daripada sibuk mencaci maki ajaran agama lain. Penuhi hati dan akal dengan jiwa Islam.
Menjadi mualaf bukan berarti menjadi stempel halal untuk mencaci maki dan menghina ajaran agama lain. Bertentangan dengan ajaran Islam sekalipun, ajaran non Islam tak perlu dibentur-benturkan dengan Islam. Tak perlu menghina agama yang diyakini sebelumnya. Tak perlu juga mencaci maki umatnya.
Justru menjadi mualaf bermakna momentum untuk mendalami ajaran Islam telah dibuka lebar. Kesempatan untuk mendalami berbagai ajaran Islam tersedia begitu gratis. Mencaci maki dan menghina ajaran agama lain dan umatnya itu tidak perlu dan sama sekali tidak produktif. Dan seharusnya ditutup rapat.
Semangat beragama, dalam hal ini ber-Islam, mesti tetap dalam koridor dan bingkai kepatutan publik. Toh Islam itu sendiri tidak pernah memaksa umatnya untuk menyebar ajaran Islam secara serampangan. Semuanya perlu menggunakan cara dan pola penuh hikmah.
Beragama terutama ber-Islam bukan berarti menang-menangan atau ajang pamer kebenaran. Justru kerendahan hati dan kesantunan bersikap mesti menjadi prioritas beragama. Berdakwah tidak mesti menjadi dai kondang yang mengisi berbagai kegiatan keagamaan. Berdakwah terutama dan pertama adalah membenah diri sendiri agar bisa beragama secara adil dan menghadirkan keteduhan.
Kemuliaan Islam tak perlu dibentur-benturkan dengan ajaran agama lain. Berbagilah tentang Islam dengan cara-cara santun dan mengedepankan kepatutan. Jadilah duta agama Islam yang menghadirkan kesejukan dan kenyamanan bagi semua. Bukan justru menimbulkan keresehan dan ketidaknyamanan yang tak perlu. Singkatnya, jadilah mualaf yang beradab! (*)
* Judul tulisan
JADILAH MUALAF YANG BERADAB!
Oleh: Syamsudin Kadir
Penulis buku "Melahirkan Generasi Unggul"
Komentar
Posting Komentar