Kiai Sanusi, Pelopor Tafsir Al-Quran Berbahasa Sunda


MASUKNYA Islam ke nusantara ternyata mendapat respon positif, terutama ketika Islam mulai menyebar ke Priangan Barat yakni Tatar Sunda. Dari berbagai sumber dapat dibaca dan diketahui bahwa Islam mulai berkembang di Tatar Sunda berbarengan dengan runtuhnya kerajaan Sunda. Mulai dari sinilah muncul kerajaan Islam di Priangan Barat seperti kerajaan Banten dan kerajaan Cirebon yang diyakini  sebagai pengaruh kuat semakin berkembang dan meluasnya ajaran Islam di Priangan Barat. 

Dakwah yang dilakoni oleh para tokoh penyebar ajaran Islam di Tatar Sunda  menurut berbagai sumber dilakukan secara damai, mulai dari pernikahan hingga meleburnya ajaran Islam ke dalam budaya Sunda hingga bahasanya orang Sunda. Semakin berkembangnya ajaran Islam maka semakin banyak pula para penerus tokoh penyebaran Islam yang disertai dengan beragam karyanya, seperti kitab tafsir “Tamsjijjatoel-Moeslimin Fie Tafsieri Kalami Robbil-alamien" yang ditulis dalam tulisan latin berbahasa Melayu sebanyak 7 juz dan kitab tafsir Raudhah al-'Irfan fi Ma'rifah al-Qur'an yang ditulis dalam bahasa Sunda beraksara Arab Pegon lengkap 30 Juz, keduanya ditulis oleh KH. Ahmad Sanusi (Kiai Sanusi).  

Membaca dinamika seputar hadirnya tafsir tersebut kala itu cukup menarik untuk dikaji. Setelah diterbitkan, tafsir tersebut mendapat respon masyarakat luas dan para ulama lainnya, baik yang merespon positif maupun negatif. Sebagian ulama Cicurug dan Bogor marah dan kesal, bahkan para Kiai mulai membicarakan, mengecam dan menghina Kiai Sanusi. Selain itu, sebagian juga yang mengkafirkannya dalam berbagai majelis dan menyebarkannya ke mana-mana. Hal tersebut terjadi di Sukabumi dan Bogor juga di sebagian tempat di Cianjur.  

Bermula terjadinya polemik terhadap karya Kiai Sanusi, yaitu, pertama, karya sebelumnya Majla at-Thalibin. Beliau menyebutkan bahwa karya tersebut merupakan kitab tafsir bagi para  santri yang kesulitan memahami al-Quran. Di sinilah mulai timbul reaksi negatif dari kalangan ulama tradisional, karena menamakan karyanya itu tafsir dan dianggap telah mengklaim sesuatu yang bukan haknya. Haramnya menerjemahkan al-Quran kepada bukan mujtahid, demikian ungkapan sebagian para ulama tradisional pada saat itu.  Namun sebulan setelah kepulangannya dari pengasingan di Sukabumi, Kiai Sanusi yang merupakan  salah satu tokoh pendiri Persatuan Ummat Islam (PUI) ini malah sukses menerbitkan kitab tafsir yang sangat terkenal kala itu: “Tamsjijjatoel-Moeslimin Fie Tafsieri Kalami Robbil-alamien" dan "Raudhah al-'Irfan fi Ma'rifah al-Qur'an". 

Kedua, seiring dengan perkembangannya terdapat tafsir-tafsir Sunda yang diterbitkan dengan aksara latin. Hal tersebut tidak jarang menimbulkan konflik bagi ulama tradisional yang mempersoalkan otoritasnya. Namun bagi kaum perkotaan umumnya tidak mempermasalahkan dan menerimanya sebagai upaya untuk memahami makna ayat al-Quran dalam bahasa Arab. Bagi mereka hal tersebut perlu dilakukan guna pengembangan wawasan keislaman bahkan bagi penerangan atau dakwah Islam modernis pada umumnya. 

Hal tersebut dilakukan Kiai Sanusi dalam tafsir “Tamsjijjatoel-Moeslimin Fie Tafsieri Kalami Robbil-alamien" yakni menyalin tulisan Arab dengan aksara latin sebagaimana dalam tiap sub judulnya tafsier jang ringkas jang didubbel toelisan Qoerannja dengan hoeroef latyn. Hal tersebut dilakukan guna mempermudah masyarakat yang baru belajar membaca dan menghafal al-Quran. Namun inovasi tersebut mendapatkan celaan dan cacian sebagian tokoh bahwa beliau dengan tafsirnya dituduh sebagai sumber konflik di tengah masyarakat. 

Untuk meredam hal tersebut, suatu ketika Kiai Sanusi pun berupaya untuk melakukan diskusi terbuka dengan para tokoh dan masyarakat yang menentangnya. Namun di sebagian besar  pertemuan dilakukan, para tokoh dan masyarakat yang mennatangnya justru tidak bersedia hadir, yang hadir hanya delegasi yang tidak memiliki cukup argumentasi dalam menolak inovasi dan karya Kiai Sanusi. 

Bahkan untuk beberapa pertemuan, para tokoh dan masyarakat malah meminta agar pertemuan diundur dalam batasan waktu yang tidak menentu. Walaupun kelak ada yang menghadirkan argumentasi, tetap saja tidak mampu menghadirkan argumentasi yang autentik dan relevan dengan apa yang dilakukan Kiai Sanusi. Dalih mereka dengan dipatahkan oleh Kiai Sanusi yang sudah menulis berbagai kitab dalam beragam tema seperti tafsir, qaidah, fiqih, akhlak dan masih banyak lagi. 

Bila ditelaah, karakteristik tafsir "Tamsjijjatoel-Moeslimin Fie Tafsieri Kalami Robbil-alamien" ini cukup unik, diantaranya (1) metode tafsirnya metode tahlili, (2) manhaj tafsirnya tafsir bi al-rayi lebih dominan, (3) corak tafsir fiqih lebih dominan, (4) orientasi mengajak umat Islam agar menjadi muslim yang baik dengan memahami ajaran-ajaran Islam dan mempertahankan aqidah ahlu al-sunnah wa al-jamaah dan imam mazhab yang empat. Adapun sistematikanya (1) menggunakan bahasa Melayu, lalu (2) tidak menyebut ayat dan juz, dan (3) menjelaskan secara terperinci.  

Adapun konsep yang ditemukan dalam tafsir ini adalah, (1) membentuk masyarakat yang bertakwa, (2) membentuk masyarakat yang lebih bersyukur,  (3) membentuk masyarakat yang sufistik, (4) membentuk masyarakat agar paham terhadap sifat-sifat orang munafik, (5) membentuk masyarakat agar paham pada ilmu fiqih, (6)  membentuk masyarakat yang memiliki jiwa sosial yang tinggi, (7) membentuk masyarakat yang bertauhid kuat. 

Mengenai hal ini dapat dibaca di berbagai karya ilmiah atau tulisan populer lainnya, atau bisa juga dibaca dan ditelaah pada Tesis Master saya di Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Gunung Djati Bandung yang berjudul “Konsep Pembentukan Pemahaman Masyarakat Islam Sunda Menurut KH. Ahmad Sanusi Dalam Tafsir Tamsjijjatoel-Moeslimin Fie Tafsieri Kalami Robbil-alamien” pada 2020 lalu. (*)


* Oleh: H. Iman Budiman, M.Ag., Ketua Umum DPW PUI Jawa Barat 


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sejarah Perkembangan Pendidikan Luar Sekolah

Langkah dan Teknik Konseling Kelompok