Wanita Dalam Islam


WACANA kesetaraan gender akhir-akhir ini telah berkembang menjadi program sosial yang diformat secara akademik dan disosialisasikan secara politis. Wacana gender, yang berasal dari masyarakat Barat sebagai gerakan feminism yang telah lama mengalami problem hubungan antara wanita dan laki-laki ini, dinilai mampu menghadirkan keadilan peran antar laki-laki dan perempuan dalam segala aspeknya. Padahal wacana feminisme mengandung banyak problem, bahkan cenderung melangkahi kodrat wanita itu sendiri.    

Paradoks Feminisme

Sejarah feminis muncul di Barat di masa pencerahan (The Enlightenment), di Barat oleh Lady Mary Wortley Montagu dan Marquis den Condorcet yang berjuang untuk pendidikan perempuan. Perjuangan feminis sering disebut dengan istilah gelombang (wave) dan menimbulkan kontroversi atau perdebatan, mulai dari feminis gelombang pertama (first wave feminism) dari abad 18 sampai ke pra 1960, kemudian gelombang kedua setelah 1960, dan bahkan gelombang ketiga atau Post Feminism.

Gerakan feminisme itu muncul di Amerika sebagai bagian dari kultur radikal hak-hak sipil (civil rights) dan kebebasan seksual (sexual liberation). Buku Betty Friedan yang berjudul The Feminist Mystique (1963) laku keras. Setelah itu berkembang kelompok feminis yang memperjuangkan nasib kaum perempuan memenuhi kebutuhan praktis, seperti pengasuhan anak (childcare), kesehatan, pendidikan, aborsi, dan sebagainya. Lantas, gerakan itu merambat ke Eropa, Kanada, dan Australia yang selanjutnya kini telah menjadi gerakan global dan mengguncang Dunia Ketiga.

Pada hari Jumaat, 18 Maret 2005 dunia Islam disuguhi satu tontonan yang ganjil. Ketika itu, Amina Wadud, seorang feminis liberal memimpin shalat di sebuah Gereja Katedral di Sundram Tagore Gallery 137 Greence Street, New York. Wadud, seorang professor di Islamic Sudies di Virgina Commonwealth University, menjadi imam sekaligus khatib, dalam shalat Jumaat yang diikuti sekitar 100 jamaah, laki-laki dan wanita. Shaf laki-laki dan wanita bercampur. Sang muazin pun seorang wanita, tanpa kerudung. Selain aneh, dalam kajian fiqih Islam hal ini bertentangan dengan tradisi fiqih para Imam mazhab, terutama Syafii.  

Amina Wadud sendiri adalah seorang feminis. Ia menulis buku dalam bahasa Inggris yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul Quran Menurut Perempuan, (Jakarta: Serambi, 2001). Melalui bukunya Wadud berusaha membongkar cara menafsirkan al-Quran model klasik yang dinilainya menghasilkan tafsir yang bias gender, alias menindas wanita. Ia tidak menolak al-Quran. Tetapi, yang dia lakukan adalah membongkar metode tafsir gaya baru yang dia beri nama Hermeneutika Tauhid. Dengan metode tafsir gaya baru ini, meskipun al-Qurannya sama, maka produk hukum yang diperoleh juga sangat berbeda. Sebagaimana banyak pemikir liberal lainnya, Wadud juga berpegang pada kaedah relativisme tafsir. Kata Wadud, Tidak ada metode tafsir al-Quran yang benar-benar objektif. Masing-masing ahli tafsir melakukan beberapa pilihan subjektif. (ISLAMIA Vol. III No. 5, 2010 hal. 12-13).  

Jika ditelusuri, ide gender equality (kesetaraan gender) yang dianut oleh Wadud dan kaum feminsime lainnya, bersumber dari pengalaman Barat dengan pandangan hidup sekular-liberal. Menurut Ratna Megawangi (Membiarkan Berbeda?, 1999), ide kesetaraan gender ini bersumber pada ideologi Marxis yang menempatkan wanita sebagai kelas tertindas dan laki-laki sebagai kelas penindas. Paradigma Marxis melihat institusi keluarga sebagai musuh yang pertama-tama harus dihilangkan atau diperkecil perannya apabila masyarakat komunitas ingin ditegakkan, yaitu masyarakat yang tidak ada kaya-miskin, dan tidak ada perebedaan peran antara laki-laki dan perempuan. Keluarga dianggap sebagai cikal-bakal segala ketimpangan sosial yang ada, terutama berawal dari hubungan yang timpang antara suami dan isteri. Sehingga bahasa yang dipakai dalam gerakan feminisme adalah bahasa baku yang mirip dengan gerakan kekiri-kirian lainnya. Yaitu, bagaimana mewujudkan kesetaraan gender melalui proses penyadaran bagi yang tertindas, pemberdayaan kaum terindas dan sebagainya. 

Pada perjalanan selanjutnya, feminisme kemudian, menjadi sebuah paham yang berkembang dengan segala bentuk, model dan ajarannya, merombak hal-hal pokok dalam sistem keyakinan dalam agama-agama. Satu contoh, sebagian wanita Barat kemudian membangun gerakan anti laki-laki, anti suami, anti nikah dan seterusnya.

Menurut Amlir Syaifa Yasin (2012) persamaan yang diwacanakan para aktivis gender identik dengan produk pemikiran Barat yang menyesatkan seperti tercemin dalam bentuk kebebasan, yang dilabelkan dengan gerakan  Women Liberation. Dalam gerakan ini perempuan memiliki hak-hak yang sama dengan laki-laki, yang kadangkala di luar batas kodrat dan harkat perempuan (wanita) itu sendiri. 

Dari pemaparan di atas sangat jelas bagaimana posisi dan substansi dari Feminisme sesungguhnya. Jika demikian, bagaimana posisi dan peran wanita dalam Islam? 

Wanita Dalam Islam

Kehadiran Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam ke dunia dinyatakan oleh Allah sebagai pembawa rahmat bagi semua ummat manusia, termasuk kepada kaum wanita. Derajat wanita sebagai manusia yang mempunyai sifat lemah lembut, yang pada zaman jahiliah dihina dan dimarjinalkan, pun ketika Islam datang terangkat dan diposisikan secara adil dan layak demi kepentingan dan kebahagiaan mereka di dunia maupun di akhirat. 

Sejarah membuktikan bahwa sejak kehadiran Islam itulah, sebenarnya dimulai gerakan-gerakan kemerdekaan dan emansipasi wanita yang diawali oleh Nabi sendiri yang telah mempelopori kemerdekaan dan emansipasi wantia itu dimulai dari keluarganya sendiri, istri dan putrinya, sanak keluarga kemudian diteruskan kepada keluarga-keluarga para sahabat. 

Pada masa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, sering terjadi perselisihan antara ummat Islam dengan ummat agama lain, dimana wanita menjadi pendamping kaum laki-laki dalam membantu rakyat yang terkena musibah atau luka. Bahkan kaum wanita justru dapat memberikan dorongan keberanian luar biasa kepada kaum laki-laki untuk maju terus ke medan perang melawan musuh. Siti Khadijah, istri Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam adalah wanita pertama yang memberikan keberanian dan semangat kepada Rasululah tatkala beliau merasa sangat takut dan gemetar tubuhnya dikala bertemu dengan Malaikat Jibril di Gua Hira ketika menerima wahyu pertama. 

Setelah putra-putranya wafat, maka kasih sayang Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dicurahkan sepenuhnya untuk putrinya, Fatimah. Diajarinya Fatimah ilmu pengetahaun sehingga tumbuh sebagai wanita bijaksana dan mempunyai kelebihan-kelebihan. Setelah Fatimah menikah dengan Ali bin Abi Thalib, lahirlah Hasan, Husein dan Mukhsin. Mukhsin meninggal sewaktu kecil, sedangkan Hasan dan Husein tumbuh dalam didikan Fatimah dengan sempurna sehingga menjadi pemimpin ummat. Fatimah sendiri sering dijadikan contoh oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam ketika memberi nasehat kepada para sahabat-sahabatnya, untuk istri dan anak  yang perempuan. Beliau mengatakan, "Contohlah Fatimah!"  

Dari generasi awal, termasuk Fatimah, kita dapat mengambil tauladan bagaimana wanita berperilaku, bagaimana mengurus suami dan bergaul dengan suami, bagaimana mengurus anak-anak dan anggota keluarganya, bagaimana bertindak-tanduk, bagaimana harus belajar, apa saja yang mereka ketahui, bagaimana mengatur rumah tangga, bagaimana bertugas di luar rumah, bagaimana membawa diri di waktu bersama keluarga dan sewaktu berada di antara orang banyak dan lainnya yang ada hubungannya dengan masalah-masalah kehidupan. 

Sungguh indah dialog yang terjadi antara Asma binti Sakan dengan Rasulullah berikut ini. Asma berkata, "Wahai Rasulullah, bukankah Engkau diutus oleh Allah untuk kaum pria dan juga wanita. Mengapa sejumlah syariat lebih berpihak kepada kaum pria? Mereka diwajibkan jihad, kami tidak. Malah, kami mengurus harta dan anak mereka dikala mereka sedang berjihad. Mereka diwajibkan melaksanakan shalat Jum'at, kami tidak. Mereka diperintahkan mengantar jenazah, sedangkan kami tidak." Rasulullah shallallahu 'alaihi wassalam tertegun atas pertanyaan wanita ini sambil berkata kepada para sahabatnya, "Perhatikan! Betapa bagusnya pertanyaan wanita ini." Beliau melanjutkan, "Wahai Asma'! Sampaikan jawaban kami kepada seluruh wanita di belakangmu, yaitu apabila kalian bertanggung jawab dalam berumah tangga dan taat kepada suami, kalian dapatkan semua pahala kaum pria itu." (Diterjemahkan secara bebas, HR. Ibnu Abdil Bar).

Dalam al-Qur'an, wanita ditempatkan dalam beberapa posisi, yaitu wanita sebagai pendamping pria, karena mereka adalah manusia yang satu. Allah berfirman, "Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir." (Qs. Ar-Rum: 21). 

Kemudian, "Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal." (Qs. Al-Hujuraat: 13), dan "Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan istrinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak, dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu." (Qs. An-Nisa: 1). 

Pada ayat lain Allah berfirman, "Dialah yang menciptakan kamu dari diri yang satu dan dari padanya Dia menciptakan isterinya, agar Dia merasa senang kepadanya. Maka setelah dicampurinya, istrinya itu mengandung kandungan yang ringan, dan teruslah Dia merasa ringan (Beberapa waktu). kemudian tatkala Dia merasa berat, keduanya (suami-isteri) bermohon kepada Allah, Tuhannya seraya berkata: "Sesungguhnya jika Engkau memberi Kami anak yang saleh, tentulah Kami terraasuk orang-orang yang bersyukur". (Qs. Al-Araaf: 189) . Kemudian, "Allah menjadikan bagi kamu isteri-isteri dari jenis kamu sendiri dan menjadikan bagimu dari istri-istri kamu itu, anak-anak dan cucu-cucu, dan memberimu rezki dari yang baik-baik. Maka Mengapakah mereka beriman kepada yang bathil dan mengingkari nikmat Allah?" (Qs. An-Nahl: 72)

Selain itu, nabi tercinta Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pernah bersabda, "Bahwasannya para wanita itu saudara kandung para pria." (HR. Ahmad, Abu Daud, dan Tirmizi). Tidak itu saja, keimanan wanita sama dengan pria, bahkan wanita dapat dispensasi tidak shalat saat datang bulan (Qs. Al-Burruj: 10, Qs. Al-Ahzab: 58, Qs. Muhammad: 19). Balasan di dunia dan akhirat pun antara laki-laki dan perempuan adalah sama standarnya, kualitas ketakwaan (Qs. Al-Mukmin: 40, Qs. an-Nahl: 97).

Demikianlah Islam menempatkan wanita pada posisi yang terhormat. Sehingga, apapun peranannya baik sebagai anak, remaja, dewasa, ibu rumah tangga, kaum profesional maupun yang lainnya, mereka tetap terhormat. Islam sendiri sudah menyediakan konsep yang utuh tentang wanita dalam kehidupannya, baik dalam skala individu, rumah tangga maupun sosialnya. Kata kuncinya sederhana: pelajari, pahami dan amalkan serta tebarkan ajaran Islam secara utuh dalam seluruh ruang kehidupan. Insyaa Allah bila saja kita semakin giat melakukan hal tersebut maka Islam pun semakin menemukan konteksnya dalam kehidupan sosial umat dan bangsa kita. Sehingga kita pun semakin punya kebanggaan dan percaya diri untuk mengatakan: Indahnya Islam di Indonesia!  (*)


* Oleh: Syamsudin Kadir, Wakil Sekretaris Umum DPW PUI Jawa Barat  dan Penekun Kebijakan Publik di Pascasarjana Universitas Majalengka-Jawa Barat 



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sejarah Perkembangan Pendidikan Luar Sekolah

Langkah dan Teknik Konseling Kelompok