Corak Tafsir Raudhah al-'Irfan Fi Ma'rifah al-Quran Karya Kiai Sanusi
Walaupun awalnya mendapat penolakan sebagian tokoh, namun tafsir karya Kiai Sanusi akhirnya mendapat apresiasi dan penghormatan juga. Corak tafsir salah satu pendiri Persatuan Ummat Islam (PUI) ini adalah kecenderungan yang khas dimilikinya, yang kemudian menjadi pandangan atau trand mark ulama kharismatik ini dalam tafsirnya sekaligus warna pemikirannya terhadap ayat-ayat al-Quran.
Jika dicermati dengan seksama atas tafsir ini, maka corak penafsiran yang digunakan oleh Kiai Sanusi dalam tafsir Raudhatul Irfan fi Marifati al-Quran ini bersifat umum. Artinya penafsiran yang diberikan tidak didominasi oleh suatu warna atau pemikiran tertentu, semua menggunakan pemahaman ayat secara netral tanpa membawa pesan khusus, seperti aqidah, fiqih, dan tasawuf. Tetapi menjelaskan ayat-ayat tentang hukum-hukum fiqih dijelaskan jika terjadi kasus-kasus fiqhiyyah seperti shalat, zakat, puasa, dan haji. Begitu juga dengan ayat-ayat muamalah, teologi, tasawuf, dan lain-lain.
Contoh Tafsir Bahasa Sunda “Raudhatul ‘Irfan fi Ma’rifat al-Qur’an”, Surat Qaf ayat 16,
وَلَقَدْ خَلَقْنَا ٱلْإِنسَٰنَ وَنَعْلَمُ مَا تُوَسْوِسُ بِهِۦ نَفْسُهُۥ ۖ وَنَحْنُ أَقْرَبُ إِلَيْهِ مِنْ حَبْلِ ٱلْوَرِيدِ
Artina:
“Jeung nyata geus ngadamel aing kamanusa jeung aing uninga kana perkera anu di harewoskeun eta perkara kuhatena, jeung aing teh leuwih deukeut kamanusa tibatan urat beuheungna.
Katerangan: Anu ngajadikeun manusa serta uninga kana kareunteus hatena Allah leuwih deukeut kalawan rahmatna timbang urat beuheungna.
Terjemahan Bahasa Indonesia, artinya: “Dan sungguh, Allah sudah menciptakan manusia dan Allah mengetahui perkara yang dibisikkan oleh hatinya dan Allah lebih dekat kepada manusia daripada urat lehernya.”
Keterangan: Allah yang menjadikan manusia dan mengetahui yang dibisikkan hatinya, karena rahmat Allah lebih dekat daripada urat nadinya.
Bila membaca secara jujur tafsir “Raudhatul ‘Irfan fi Marifat al-Quran” maka kita sebetulnya akan mendapatkan pengetahuan yang sangat berharga. Kiai Sanusi telah melakukan pendekatan dakwah yang sangat relevan dan kekinian, yang tentu saja tidak bertentangan dengan konsep inti ajaran Islam. Substansi dari isi tafsirnya pun benar-benar sesuai dengan apa yang sudah dilakukan oleh para ulama tafsir era klasik juga modern.
Bahkan upaya beliau dalam menghadirkan tafsir berbahasa Sunda menjadi embrio bagi perkembangan Islam kelak di Tatar Sunda. Sebab kehadirannya dalam mendakwahkan Islam menggunakan pendekatan kultural dan menyesuaikan dengan kadar pengetahuan masyarakat kala itu yang sangat kental dengan budaya dan bahasa Sunda.
Faktanya, sejak saat perkembangan Islam semakin meningkat, bahkan kelak Jawa Barat menjadi propinsi berpenduduk terbesar di Indonesia. Dan kabar baiknya lagi, Jawa Barat pulalah tempat dimana jumlah umat Islam terbesar di Indonesia. Kini, perkembangan Persatuan Ummat Islam (PUI) di berbagai tempat pun cukup menggeliat, bukan saja di Jawa Barat tapi juga di luar pulau Jawa seperti Sumatra, Kalimantan, Sulawesi dan Nusa Tenggara atau wilayah timur Indonesia.
Penolakan sebagian kalangan pada Kiai Sanusi dengan karya tafsirnya kala itu, tak jauh berbeda dengan sebagian tokoh era ini yang dulu sempat antipati atau menolak bahkan mengharamkan media masa, media online dan media sosial untuk berdakwah atau menyebarkan agama dengan dalih agama sebagai hal yang suci dan media sebagai sesuatu yang subhat bahkan haram. Namun belakangan tersadarkan betapa strategi dakwah dan penggunaan media dakwah yang kekinian, termasuk media massa, media online dan media sosial, malah lebih efektif dan memberi dampak positif bagi syiar Islam di Indonesia.
Apa yang dilakoni oleh Kiai Sanusi mengandung pesan berharga, misalnya, pertama, menjadi pioner dan inovator kebaikan pasti bakal mendapatkan penolakan, berhadapan dengan realitas atau lingkungan yang stagnan. Baik karena pemikiran yang stagnan maupun karena kelemahan dalam memandang masa depan. Karena itu, kedua, butuh pengetahuan dan argumentasi yang kuat juga kesabaran yang tak sedikit dalam berdakwah serta untuk menghadapi kemungkinan adanya berbagai tantanga. Singkatnya, inovasi, kreatifitas, kesungguhan, daya juang, kesabaran, argumentasi dan menjadi teladan yang baik menjadi modal penting yang mesti dimiliki agar kebaikan atau upaya dakwah di era ini bisa diterima dengan baik pula oleh masyarakat luas.
Bila dulu Kiai Sanusi hadir dengan kitab tafsir-nya, maka kini kita bisa menghadirkan berbagai inovasi baru agar penerimaan masyarakat pada dakwah Islam semakin mudah dan nyaman juga menerimanya. Kiai Sanusi pun bukan saja dikenal sebagai pendiri PUI, tapi juga sosok ulama yang sukses menghadirkan tafsir khas Sunda, bahkan terkategori sebagai ulama pelopor yang sukses melahirkan tafsir Sunda. Sebuah lakon yang sangat berharga dan layak dikenang sepanjang sejarah sebagai salah satu tokoh kontributor terbaik bagi perkembangan dan kemajuan Islam di Tatar Sunda bahkan bumi nusantara. (*)
* Oleh: H. Iman Budiman, M.Ag., Ketua Umum DPW PUI Jawa Barat
Komentar
Posting Komentar