Meneguhkan Jawa Barat Sebagai Propinsi yang Rukun dan Damai
Acara ini dibuka secara resmi oleh Kepala Biro Kesejahteraan Rakyat (Karo Kesra) Bidang Pelayanan dan Pengembangan Sosial Sekretariat Daerah Propinsi Jawa Barat Drs. H. Barnas Adjidin M.M., M.M.Pd.. Pada sambutannya Karo Kesra Jawa Barat yang akrab dengan semua kalangan ini menyampaikan beberapa poin penting, pertama, menghadirkan kerukunan merupakan tanggungjawab dan menjadi keniscayaan bersama. Karena itu, saling asah dan saling asuh perlu dipraktikkan dalam kehidupan di tengah masyarakat yang beragam. "Membangun semangat kebersamaan dengan upaya menghadirkan kerukunan sesama perlu ditingkatkan. Hal ini bisa dilakukan dengan saling asah dan saling asuh serta saling menguatkan sesama. Kita juga perlu menyadari bahwa Allah menciptakan kita dengan ciri khusus masing-masing. Tidak semua menjadi laki-laki. Sulit membayangkan bila semuanya menjadi laki-laki," tegasnya.
Kedua, mencapai Jawa Barat juara lahir-batin adalah tanggungjawab bersama. Semua elemen mesti mengambil peran dan kontribusi maksimal. Juara lahir bisa diwujudkan dengan menghadirkan pendidikan, kesehatan dan ekonomi yang memajukan serta bersosialisasi dengan masyarakat yang beragam. Sementara juara batin bisa diwujudkan dengan penguatan moral dan akhlak yang baik di tengah kehidupan masyarakat. "Jawa Barat merupakan propinsi terbesar dengan keanekaragaman agama, budaya, dan warna kulit warganya merupakan miniatur Indonesia. Hal ini mestinya membuat kita semakin bangga dan punya rasa tanggungjawab untuk menjadi teladan kerukunan. Bila itu yang terjadi maka kemajuan di berbagai bidang pasti terwujud," ungkapnya.
Pada momentum hari pertama (Rabu, 10/11) Dr. Ahmad Agus Safei didaulat menjadi narasumber untuk materi pertama "Kerukunan Beragama Di Era Jabar Juara: Konsepsi dan Rencana Aksi". Dari pemaparan akademisi Universitas Sunan Gunung Djati Bandung ini saya mencatat beberapa poin penting, pertama, pentingnya toleransi sebagai kunci dalam menjaga keharmonisan. Toleransi menurutnya menjadi semakin relevan karena kita memang tercipta dengan perbedaan dan ciri khas masing-masing. "Keragaman mesti dirawat tentu dengan tetap menjaga keaslian keyakinan masing-masing. Kita toleran karena kita bisa saling memahami dan memaklumi perbedaan di antara kita. Sebab bila toleransi mati maka konflik terbeli. Bila hal tersebut muncul maka akan terjadi konflik yang lebih besar dan sulit terbendung. Dan itu bukan sesuatu yang kita harapkan," ungkapnya.
Kedua, jadilah teladan atau contoh ril aksi toleransi. Kerukunan hanya akan tercapai bila adanya teladan dan aksi ril dalam kehidupan kita. Kali ini beliau menyebut fenomena masyarakat di Flores-NTT yang bisa jadi inspirasi. Di daerah yang dikenal dengan Komodo dan Rumah Pancasila ini warga masyarakatnya heterogen namun suasananya damai dan bersatu padu. "Di sana warganya sangat damai dan akur. Hak semacam ini sudah mendarah daging dalam kehidupan mereka," ungkapnya.
Ketiga, perlu ada rencana yang lebih strategis dan praktis dalam menghadirkan kerukunan ke depan. Beliau menganjurkan agar dilakukan dialog yang intensif antar berbagai elemen. Dialog dilakukan baik sesama umat beragama maupun antar umat beragama. Bila itu diinisiasi dan dilakukan secara terus menerus maka semuanya bisa saling kenal-mengenal dan memahami posisi masing-masing. "Faktanya ada begitu banyak organisasi di negara kita ini. Di Jawa Barat juga terdiri dari masyarakat yang beragam. Baik agama dan warna kulit maupun budaya dan pandangan politiknya. Kondisi tersebut anugerah Allah yang sangat agung dan perlu kita syukuri. Kunci kerukunan adalah saling kenal dan memahami keberadaan masing-masing," ungkapnya.
Selain Dr. Ahmad Agus Safei, Kepala Kantor Wilayah Kementrian Agama Jawa Barat Dr. H. Adib, M.Ag., Kepala Pembinaan dan Mental (Kabintal) Kodam III/Siliwangi Kolonel Infanteri Yogi Gunawan, H. Gumgum Gumelar, SH., Dr. H. Marzuki Wahid, M.Ag., dan dua akademisi UIN Sunan Gunung Djati Bandung (Dr. Tatang Astarudin M.Si., dan Prof. Dr. Asep Saepul Muhtadi) didaulat menjadi narasumber dengan fokus materi berbeda-beda namun masih berkaitan sesuai dengan tema kegiatan. Semua narasumber menegaskan pentingnya menjaga hubungan baik antar sesama anak bangsa yang multi latar belakang, terutama di Jawa Barat. Komunikasi dan dialog yang intensif dapat dilakukan secara berkala untuk mencapai keakraban yang tulus. Di samping itu, umat beragama perlu menghormati konsep dasar yang khas pada masing-masing agama, sehingga tidak perlu saling mencurigai namun timbul keharmonisan yang terjaga.
Pada sesi tanya-jawab dari hari pertama hingga akhir, saya memanfaatkan untuk menyampaikan beberapa masukan sekaligus pernyataan yang terkait dengan substansi acara yang digelar selama tiga hari ini. Pertama, perlu dilakukan penguatan pemahaman dan praktik keagamaan. Secara khusus, Islam memiliki konsep-konsep yang utuh dan khas seperti konsep ketuhanan, konsep kenabian, konsep ilmu, konsep kitab suci, konsep sejarah, konsep kehidupan dan sebagainya. Semua itu perlu ditanamkan atau diinternalisasi pada umat Islam, sehingga semakin paham pada konsep agamanya dan bertambah kokoh keyakinannya. Intoleransi terjadi karena belum paham dan belum yakin dengan konsep agamanya. Selama ini kerap diopinikan bahwa biang intoleran adalah karena terlalu paham dan yakin dengan agamanya. Padahal justru pemahaman keagamaan yang abu-abu dan ragu-ragu merupakan biang intoleransi.
Kedua, perlu ada internalisasi nilai-nilai Pancasila. Bila sila pertama Pancasila mengakui Tuhan yang bermakna mengakui keberadaan agama, maka mestinya kita tidak alergi dengan upaya setiap umat beragama untuk meyakini agamanya dan menjalankan ajarannya. Sebab dengan menjadi umat beragama yang baik secara otomatis menjadi Pancasilais sejati. Hanya saja nilai-nilai Pancasila bisa terwujud dalam kehidupan masyarakat manakala tidak dipolitisir untuk tujuan dan kepentingan tertentu, tapi benar-benar dipraktikkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Pertanyaan mendasar yang kerap muncul selama ini adalah siapa sosok teladan manusia Indonesia yang berjiwa Pancasila? Pertanyaan ini terlihat sederhana namun cukup sulit menemukan jawabannya. Poinnya adalah Pancasila tak cukup dipidatokan, sebab ia lebih baik dipraktikkan. Pancasila lebih butuh pada keteladanan, bukan sekadar doktrin pemaksaan. Karena itu perlu ada modeling Pancasila sekaligus duta Pancasila. Karena lima sila dan nilai-nilai yang terkandung pada Pancasila itu baik maka sangat mungkin adanya sosok-sosok yang baik sebagai model sekaligus teladan.
Ketiga, penguatan literasi publik. Saya berupaya dan berencana agar seluruh materi pada pertemuan di beberapa forum serupa dan forum ini nantinya dielaborasi kembali dalam bentuk tulisan baru, minimal artikel atau semacam catatan harian, sehingga layak dipublikasi. Baik yang dipublikasi ke media massa dan media online maupun ke media sosial. Termasuk seperti tulisan yang sedang dibaca oleh pembaca saat ini. Selebihnya, bila memungkinkan kelak bunga rampai atau antologi tulisan tersebut dibukukan atau diterbitkan menjadi buku yang bisa dibaca dan dikaji oleh masyarakat luas.
Saya sengaja melakukan ini agar berbagai pertemuan termasuk pertemuan kali ini tidak sekadar seremoni, tapi punya dampak ril dan menjadi inspirasi bagi banyak orang. Minimal berbagai perbincangan di forum tertutup menjadi pemantik dialog atau diskusi lintas elemen umat dan bangsa. Tulisan pendek dan sederhana juga sejatinya bisa menjadi bukti ril dampak baik sebuah pertemuan yang menghadirkan delegasi dari berbagai organisasi. Lebih jauh, diharapkan bisa disosialisasi sehingga menjadi diskursus yang konstruktif dan mampu mencapai kehidupan yang lebih rukun, damai dan harmoni.
Dari pembukaan dan sesi materi hingga penutupan acara ini tentu sangat menarik. Namun tidak cukup di situ, sebab ia perlu ditindaklanjut dalam tataran yang lebih praktis dan terjaga. Saling mengenal dan memahami perbedaan masing-masing elemen atau kelompok adalah modal utama toleransi untuk menggapai kerukunan. Kuncinya adalah keteladanan para pemimpin di berbagai sektor dan tokoh lintas latar belakang. Sebab masyarakat Indonesia sangat patrenialis, yaitu mudah meniru pada perilaku pemimpinnya. Menjadi teladan toleransi dengan tetap menjaga autentitias keyakinan masing-masing dan tanpa mencampuradukkan urusan keyakinan adalah agenda penting dan bersifat kolektif. Mari teguhkan Jawa Barat sebagai rumah bagi semua sekaligus propinsi yang rukun dan damai demi menggapai tujuan bersama: Jawa Barat juara lahir-batin! (*)
* Oleh: Syamsudin Kadir, Kepala Bidang Sosial-Politik DPD BKPRMI Kota Cirebon dan Wakil Sekretaris DPW PUI Jawa Barat. Tulisan ini dimuat pada kolom Wacana halaman 4 Koran Radar Cirebon edisi Kamis 18 November 2021.
Komentar
Posting Komentar