Menelisik Kembali Nilai-nilai Kepahlawanan Kiai Ahmad Sanusi



PADA Selasa 09 November 2021 (malam) saya menghadiri acara Webinar Pemberian Gelar Pahlawan Nasional yang diselenggarakan oleh DPW Persatuan Ummat Islam (PUI) DKI Jakarta dengan tema “KH. Ahmad Sanusi Tokoh PUI Memperjuangkan Negeri Mengawal BPUPKI Layak Mendapatkan Gelar Pahlawan Nasional Dalam Membersamai Negeri" melalui Zoom Meeting. 

Pada acara yang diselenggarakan pukul 19.30-23.00 WIB yang dimoderatori oleh H. Syaiful Anwar, Lc, MA. (Ketua Umum DPW Pemuda PUI DKI Jakarta) ini beberapa tokoh didaulat menjadi narasumber, yaitu pertama, Dr. Mohammad Iskandar, MS (Ahli Sejarah UI dan Anggota Detimpus PUI) yang menyampaikan materi "Sejarah Perjuangan KH. Ahmad Sanusi Serta Proses Pengajuan KH Ahmad Sanusi Sebagai Pahlawan Nasional"; Kedua, Dr. Hidayat Nurwahid, MA. (Wakil Ketua MPR RI) yang menyampaikan materi "Apresiasi Negara Terhadap Tokoh Pendiri Bangsa"; Ketiga, Dr. Munandi Saleh (Ketua Detimpus PUI) yang menyampaikan materi "Kelayakan KH. Ahmad Sanusi Sebagai Pahlawan Nasional".  

Mengenang dan menelisik Kiai Sanusi dari berbagai sisinya berarti kita mengenang nilai-nilai kepahlawanan yang mengalir deras dalam diri, perjuangan dan perjalanan hidupnya. Dalam konteks itu, berdasarkan materi yang disampaikan narasumber yang saya elaborasi, tercatat beberapa nilai-nilai kepahlawanan yang dilakoni Kiai Sanusi, pertama, pendidik sekaligus ulama yang cerdas. Hal ini bisa dipahami dari konsennya. Bayangkan saja, ia adalah tokoh Sarekat Islam dan pendiri Al-Ittahadiyatul Islamiyah (AII), sebuah organisasi yang bergerak dalam bidang pendidikan, sosial kemasyarakatan dan ekonomi. Pada awal Pemerintahan Jepang, AII dibubarkan dan secara diam-diam beliau mendirikan Persatuan Umat Islam Indonesia (PUII). Selain itu, ia juga pendiri Pondok Pesantren Syamsul Ulum, Gunung Puyuh, Sukabumi-Jawa Barat. 

Di samping itu, sepak terjangnya pemimpin Al Ittihadiyatul Islamiyah (AII) dan dalam menginisiasi terbentuknya PUI yang tidak bisa dianggap sepele. Ya, kelak pada 5 April 1952 Kiai Sanusi menjadi salah satu dari inisiator Fusi Persatuan Ummat Islam (PUI). Selain Kiai Sanusi, pendiri sekaligus pencetus Fusi PUI adalah KH. Abdul Halim (Kiai Abdul Halim) dari Majalengka dan Mr. R. Syamsuddin dari Sukabumi. Kiai Sanusi juga tercatat sebagai salah seorang pemerakarsa berdirinya Sekolah Tinggi Islam (STI) yang kini menjadi Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta.

PUI sendiri ditandai dengan disahkannya perhimpunan Persjarikatan Oelama, pimpinan KH. Abdul Halim, oleh Pemerintah Hindia Belanda berdasarkan GouvernmentBesluit Nomor 43 Tahun 1917, tertanggal 21 Desember 1917 M / 6 Rabiul Awal 1336 H. Dalam Sidang Majelis Syuro, tanggal tersebut disepakati serta ditetapkan sebagai hari lahir PUI dan kemudian dicantumkan dalam Anggaran Dasar PUI Pasal 1 Ayat 2 yang disahkan pada tanggal 28 Desember 2019 M/ 1 Jumadil ula 1441 H.

PUI merupakan fusi dari dua perhimpunan besar yang didirikan oleh tokoh-tokoh tersebut, yakni Persjarikatan Oelama yang berubah nama menjadi Perikatan Oemmat Islam (POI) pimpinan KH. Abdul Halim yang berkedudukan di Majalengka dan Al-Ittihadijatoel Islamijjah (AII) yang berubah nama menjadi Persatuan Oemmat Islam Indonesia (POII) pimpinan KH. Ahmad Sanusi di Sukabumi, pada tanggal 5 April 1952, dengan satu tujuan, yakni menggalang persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia serta untuk mengurangi pertentangan dan perpecahan diantara Ummat Islam. 

PUI terlahir dari kepedulian terhadap nasib bangsa oleh tiga tokohnya yakni KH. Abdul Halim, KH. Ahmad Sanusi, dan Mr. R. Syamsuddin, untuk berjuang melepaskan bangsa Indonesia dari belenggu penjajahan, ketertindasan, kebodohan, kemiskinan, dan politik perpecahan. Ketiganya tidak dapat dipisahkan dari sejarah perjuangan bangsa Indonesia serta memiliki peranan penting dalam menyusun narasi besar lahirnya NKRI sebagai anggota BPUPKI. 

Kedua, cendikiawan unggul, pemikir ulung dan penulis handal. Pemikirannya seputar bentuk negara berupa konsep "Jumhuriyah" (Republik) dan pemimpin "Jumhuriyah" adalah seorang "Imam" (pemimpin) yang dipilih merupakan contoh rilnya. Sehingga seperti yang saya ungkap sebelumnya, tidak bisa dipungkiri bahwa beliau layak disematkan sebagai Bapak Republik. 

Kiai Sanusi juga sosok yang begitu giat dalam membangun tradisi literasi terutama tradisi menulis. Hal ini bisa dipahami dari karya tulisnya dalam beragam tema. Bayangkan saja, dalam pengasingan di Tanah Tinggi, Kiai Sanusi mengisi hari-harinya dengan menulis tentang ilmu-ilmu kegamaan seperti tafsir, fikih, dan tauhid. Beliau bahkan membuat majalah Al-Bidayah al-Islamiyah yang terbit sebulan sekali. Konon Kiai Sanusi menulis ratusan buku dengam fokus pembahasan yang beragam. Kiai Sanusi pun menjadi bisa disematkan sebagai penulis atau penggiat literasi yang produktif, atau Bapak Literasi Indonesia. Bahkan, dapat disematkan sebagai Bapak sekaligus Penulis paling handal di lingkungan PUI dari dulu hingga saat ini, dari bidang tafsir, fikih, tasawuf, dan kalam hingga sosial dan sebagainya. 

Ketiga, tokoh sekaligus pemimpin yang berjiwa negarawan. Ketokohan dan kepemimpinannya sudah tak bisa diragukan lagi. Baik pada level umat maupun bangsa. Pada level dinamika pembentukan negara, Kiai Sanusi pernah menjadi anggota Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada tahun 1945. Badan inilah kelak yang merumuskan berbagai hal yang dibutuhkan dalam membentuk negara. Bila kita menengok sejarah, kala itu, suasana rapat besar BPUPK yang berlangsung maraton dari 13 hingga 16 Juli 1945, sejak pagi hingga tengah malam, berlangsung alot dan panas.

Selaku Ketua Perancang UUD, kala itu Ir. Soekarno (Bung Karno) melaporkan hasil kerjanya kepada Rapat Besar BPUPKI berupa Rancangan Pernyataan Kemerdekaan yang juga merupakan cikal bakal Pembukaan UUD. Betapapun Bung Karno meyakinkan peserta Rapat Besar bahwa hasil kerja Panitia Sembilan yang dia pimpin merupakan kompromi terbaik antara golongan Islam dan Kebangsaan, pro dan kontra tetap tajam.

Di tengah suasana rapat yang makin panas dan menunjukkan tanda-tanda bakal berujung pada jalan buntu dan belum menemukan titik temu, Kiai Sanusi tampil bijak. Seraya menolak voting yang diusulkan Ketua BPUPK, Dr. Radjiman Wedyoningrat. Kala itu, Kiai Sanusi meminta supaya (1) permusyawaratan berjalan tenang, (2) jangan mengambil keputusan dengan tergopoh-gopoh, dan (3) semua peserta rapat berlindung kepada Allah. Interupsi Kiai Sanusi pun berhasil menenangkan rapat besar, dan keesokan harinya, Rancangan Pembukaan UUD diterima dengan suara bulat.

Perihal hubungan agama dengan negara, Kiai Sanusi berpendapat bahwa keduanya merupakan dua badan yang satu dengan yang lainnya tidak dapat dipisahkan. Dalam pandangannya, usaha memajukan agama Islam berarti juga usaha memajukan bangsa dan negara. Agama dalam hal ini Islam sama sekali tidak merintangi negara sebagai sebuah medan amal sekaligus konsisus. Di sini sangat jelas betapa Kiai Sanusi menunjukan kecerdasan dan kemampuannya untuk membangun perspektif yang luwes di tengah keragaman pandangan para tokoh kala itu. 

Di BPUPKI Kiai Sanusi mengusulkan "Jumhuriyah" (Republik) sebagai bentuk negara, dan pemimpin "Jumhuriyah" itu seorang "Imam" (pemimpin) yang dipilih. Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa Kiai Sanusi adalah salah satu tokoh yang menelurkan gagasan bentuk negara "Republik" yang hingga kini masih kokoh diakui sebagai bentuk negara kita. Sehingga tidak bisa dipungkiri bahwa beliau layak disematkan sebagai Bapak Republik. 

Ya, pada masa penjajahan Belanda, antara 1927-1934 Kiai Sanusi menghabiskan usianya dari penjara ke penjara, karena ia difitnah dan dimusuhi oleh penjajah Belanda. Ia dipenjara di Sukabumi dan Cianjur, masing-masing selama selama enam dan tujuh bulan. Pada 1927, atas perintah Gubernur Jenderal A.C.D. deGraeff, ia dipindahkan ke Tanah Tinggi, Batavia. Sejak 1934 hingga runtuhnya kekuasaan Belanda, Kiai Sanusi berstatus sebagai tahanan kota. Artinya, Kiai Sanusi adalah sosok pejuang sekaligus petarung sejati yang memang menjadi incaran atau musuh penjajah.   

Kiai Sanusi telah melakoni peran penting dan tugas sejarah yang sangat berharga bagi eksistensi dan keberlanjutan PUI juga negara kesatuan republik Indonesia (NKRI). Selain sebagai ulama pejuang, pendidik hebat, cendikiawan unggul, pemikir ulung dan penulis handal, Kiai Sanusi juga merupakan pemimpin umat dan negarawan sejati. Dari pemikiran dan lakon sejarah sosok yang lahir pada 18 September 1888 (133 tahun) ini mengandung nilai-nilai kepahlawanan yang sangat layak kita adaptasi dan lanjutkan di era ini dan ke depan. Selebihnya, seperti yang diungkap oleh semua narasumber pada acara Webinar, sejatinya Bapak Republik sekaligus pendiri PUI asal Sukabumi ini sangat layak disematkan sebagai Pahlawan Nasional. (*)


* Oleh: Syamsudin Kadir, Wakil Sekretaris Umum DPW PUI Jawa Barat dan Penekun Kebijakan Publik di Pascasarjana Universitas Majalengka


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Langkah dan Teknik Konseling Kelompok

Sejarah Perkembangan Pendidikan Luar Sekolah