Honor Artikel, Cetak Buku dan Pembaca Non Muslim


MENULIS adalah salah satu tradisi literasi yang tergolong lama di pentas sejarah umat manusia. Peradaban manapun di dunia ini sangat akrab dengan tradisi ini. Bahkan kita bisa membaca sejarah peradaban manusia karena membaca karya tulis atau buku-buku sebagai produk literasi. Lebih jauh lagi, keyakinan pada agama tertentu sedikit-banyak dipengaruhi oleh sumber bacaan tertentu. Maka menjaga tradisi ini sejatinya menjaga keberlangsungan peradaban umat manusia, juga keyakinan manusia. 

Berkaitan dengan hal tersebut saya menjadi teringat dengan kebiasaan saya sendiri sejak lama yaitu menulis. Walau tidak berprofesi sebagai penulis, saya tetap berupaya untuk menulis. Bila dulu era mahasiswa begitu aktif menulis makalah ketika menjadi peserta atau narasumber di berbagai forum, maka kini menulis artikel untuk berbagai koran dan media online. Bahkan belakangan terdorong juga untuk menulis buku beragam tema. Sebuah lakon sederhana dan benar-benar saya nikmati prosesnya. Semoga ke depan tak ada hambatan berarti yang membuat saya berhenti menulis. 

Menulis sekaligus menerbitkan buku sendiri tentu tak bisa dipisahkan dari tantangan dan hambatan tertentu. Seingat saya, ada satu buku saya yang biaya cetaknya ditanggung seorang tokoh, judul bukunya "Kalo Cinta, Nikah Aja!". Itu full 100%. Lalu satu buku saya yang lainnya biaya cetaknya dibantu oleh seorang tokoh lain lagi, judulnya "Indahnya Islam Di Indonesia". Itu pun setengah biaya alias 50 % biaya cetak. Terus buku "Politik Cinta", dibantu oleh dua orang tokoh ditambah dengan uang saya sendiri. Apapun itu, bagi saya jasa beberapa tokoh sangat besar dan bermanfaat.  

Selebihnya, puluhan lagi saya cetak atau terbitkan pakai uang saya sendiri. Ya benar-benar uang dari kantong sendiri, bukan dari APBN atau APBD. Uang cetaknya berasal dari uang honor tulisan di berbagai koran yang saya tabung, uang dari hasil mengurangi jatah makan, dan uang dari hasil tidak membeli baju atau pakian baru. Selain itu, diambil dari sisa belanja sayuran di pasar yang sengaja ditabung di kencleng. Termasuk uang dari amplop yang saya peroleh ketika diundang menjadi narasumber di berbagai acara di dalam dan luar kota. Mungkin terlihat kampungan, tak mengapa. 

Saya ingin meyakinkan diri saya bahwa menulis itu kerja serius dan butuh kesungguhan juga kerja keras. Tidak boleh berhenti menulis gegara kondisi tak mendukung atau belum bersahabat. Menulis itu butuh kesabaran dan kesyukuran yang tak bertepi gegara kondisi tertentu. Menulis adalah kerja keabadian, begitu sebuah ungkapan motivasi mengingatkan saya. Percaya diri, optimisme dan ketelatenan mesti tetap terjaga dan memang mesti dijaga dengan baik. 

Mengapa demikian? Karena fokus saya adalah menulis baik artikel di berbagai koran dan media online serta menerbitkan buku. Minimal semua tulisan saya yang pernah dimuat di berbagai koran dan media online diterbitkan menjadi buku. Bukan untuk gagah-gagahan tapi untuk mengenang apa yang pernah saya respon dan alami, termasuk mendokumentasi ide-ide sederhana tentang banyak hal. Di samping itu, tentu untuk mengasah nalar agar tak tersumbat oleh virus kebodohan dan kedunguan. 

Saya senang sekali bila artikel dan buku-buku saya dibaca pembaca. Bila artikel dibaca oleh mereka yang membaca koran dan blog saya, maka buku saya dibaca oleh mereka yang memesan atau mendapat hadiah dari saya secara langsung. Bagi saya mereka adalah sosok berjasa dalam lakon saya selama ini untuk menulis atau berkarya. Bahkan yang menarik ternyata pembaca buku saya yang paling aktif adalah non muslim. Baik dari Umat Katolik dan Hindu maupun Budha. Dan, hingga kini masih bertanya tentang buku terbaru saya. 

Bahkan dulu ada dua pastor yang membeli semua buku saya sekitar belasan judul. Tidak tanya atau menawar perihal berapa harga dan tidak minta gratisan. Tapi langsung bayar lunas dengan ongkos kirimnya. Lalu ada juga aktivis gereja yang ikut berkomentar di beberapa buku saya. Padahal setahu saya mereka sangat sibuk. Tapi mereka sempat membaca naskah dan memberi komentar singkat dan padat pada buku saya sebelum terbit atau naik cetak. Entah apa yang membuat mereka tertarik dengan buku saya. Benar-benar pengalaman yang sulit saya lupakan. 

Bukan itu saja. Bahkan ada pastor terkenal yang bersedia hadir secara full pada acara bedah dan launching buku saya di sebuah kota pada 2 November 2019 silam. Beliau juga pernah memberi komentar pada buku saya dan mengapresiasi dengan memesan buku-buku saya yang lainnya. Suatu saat beliau meminta saya untuk menulis tentang hubungan antar umat beragama dan potensi daerah. Pengalamannya hidup di Eropa membuatnya menjadi berbeda dan unik. Dan masih banyak lagi. 

Saya salut pada non muslim yang menghargai produk literasi, termasuk karya saya yang tak seberapa selama ini. Bayangkan, mereka tidak meminta gratis buku saya tapi membelinya.  Padahal awalnya saya ragu untuk mengirim buku, tapi mereka benar-benar ingin membaca buku saya. Saya pun mengirim ke alamat mereka, setelahnya mentransfer sejumlah uang. Mereka rerata memiliki perpustakaan buku di rumah dan suka membaca buku dari berbagai penulis beragam latar belakang. Mereka tak banyak bicara, langsung eksekusi. 

Saya semakin percaya alasan mengapa non muslim banyak mengalami perubahan pesat dan maju dalam banyak hal. Diantara penyebabnya adalah mereka rajin membaca karya tulis termasuk buku, lalu mereka juga sangat menghargai produk literasi dari siapapun. Tak melihat latar sosial, suku dan warna kulitnya. Sangat wajar bila mereka maju di banyak bidang kehidupan. Benar-benar bikin saya cemburu dan mestinya terpantik untuk membunuh kemalasan dalam diri. 

Kondisi semacam itu merupakan sebuah pelajaran berharga yang sangat penting untuk diperdalam. Dan, pada sisi tertentu membuat saya tersadarkan bahwa masih banyak orang yang peduli pada tradisi dan produk literasi, pada saat saya atau mungkin banyak orang di sekitar saya atau mungkin di luar sana yang masih enggan dan ragu-ragu serta malu-malu dan tidak mau tahu. Singkatnya, saya mesti berbenah diri dan meningkatkan kualitas tulisan atau karya. Saya tidak boleh berdiam diri atau sekadar menonton setiap nilai positif di sekitar kehidupan saya. Singkatnya, kalau sekadar mengeong, kucing pun bisa! (*)


* Oleh: Syamsudin Kadir, Penulis Buku "Salesman Toyota Jadi Walikota" 


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sejarah Perkembangan Pendidikan Luar Sekolah

Langkah dan Teknik Konseling Kelompok