104 Tahun PUI Memimpin Umat dan Membangun Bangsa


PADA 21 Desember 2021, dalam hitungan masehi Persatuan Ummat Islam (PUI) genap berusia 104 tahun. PUI lahir pada 21 Desember 1917. Usia 104 tahun merupakan perjalanan panjang dengan tantangan yang tak sedikit. Pengalaman PUI dalam melayani umat dan merespon berbagai dinamika kemasyarakatan pun cukup banyak. Usia demikian adalah usia yang sangat matang untuk penguatan infrastruktur dan pembenahan dalam berbagai sisinya. Baik yang bersifat organisatoris dan sumber daya manusia (SDM) maupun yang bersifat peran dan kontribusi sosial-kemasyarakatan. Sehingga kontribusi PUI untuk memajukan dirinya juga umat dan bangsa tak bisa dianggap sebelah mata. 

Seabad lebih sudah terlewat dengan seluruh cerita dan lakonnya; suka dan dukanya, sunyi dan hiruk pikuknya. Pada abad kedua ini PUI perlu fokus pada banyak hal, pertama, membenahi aset wakaf dan aset lainnya baik secara hukum maupun secara pemberdayaan atau pengelolaannya. Masih terkait itu, PUI perlu lebih profesional mengelola amal usaha seperti perguruan tinggi, sekolah, pesantren dan sebagainya. Pengelolaan berbagai lembaga pendidikan PUI mesti terintegrasi sehingga mampu menjadi mesin kaderisasi dan pergerakan PUI itu sendiri. 


Kedua, penguatan kaderisasi dan regenerasi struktur. Hal ini menjadi relevan terutama ketika PUI ingin menjadi organisasi tiga besar di Indonesia dan nomor satu di Jawa Barat. Termasuk bila PUI hendak mendapatkan apresiasi, simpatisan dan dukungan dari masyarakat luas, maka aspek kaderisasi sebagai kunci bagi hadirnya sumber daya manusia unggulan menjadi prioritas PUI abad kedua ini. Apalah lagi jumlah masyarakat muslim yang belum masuk dalam keanggotaan ormas Islam di Indonesia masih tergolong besar, maka hal ini menjadi peluang bagi PUI untuk hadir di tengah masyarakat secara nyata sekaligus lebih menarik dan simpatik lagi. 

Ketiga, pelayanan masyarakat dalam bidang sosial dan ekonomi serta keagamaan perlu ditingkatkan kualitas dan segementasinya. Selain menata secara masal lembaga pendidikan, hal lain yang tak kalah pentingnya adalah mengelola Lembaga Amil Zakat atau LAZ PUI secara profesional. Seluruh anggota PUI mesti menjadikan LAZ PUI sebagai pusat pengumpulan zakat, infak dan sedekahnya. Sehingga kekuatan finansial dari sisi ini bisa terhitung dan pengelolaannya semakin transparan serta bermanfaat bagi eksistensi dan ekspansi PUI di level masyarakat.  

Pemberdayaan ekonomi jamaah PUI perlu diwujudkan dalam aksi yang lebih praktis, misalnya, lebih serius melakukan pengkaderan dan pembinaan untuk para entrepreneur atau pengusaha PUI. Silaturahim dan workshop para pengusaha dan calon pengusaha PUI perlu diaktifkan kembali. Di samping itu, majelis ta'lim dan pengajian internal PUI perlu ditata dengan rapih lagi. Segmentasinya juga mesti diperluas sehingga bisa diakses oleh masyarakat luas. Selain sebagai sumber ekonomi, aspek ini juga menjadi sumber moral dan massa ril yang tak bisa dianggap sepele. 

Keempat, hal penting lain yang perlu mendapat perhatian dan layak digarap PUI adalah tradisi literasi yang sudah menjadi tradisi pendiri PUI, baik literasi ilmu pengetahuan maupun literasi politik. Literasi ilmu pengetahuan telah dilakoni oleh KH. Abdul Halim dan KH. Ahmad Sanusi dengan hadirnya berbagai kitab dan buku, di samping majalah. Mr. R. Syamsuddin mewarisi literasi politik yang ditandai dengan pengalamannya saat memimpin Sukabumi. Ketiganya adalah pemimpin umat sekaligus pemimpin republik yang sukses.  

KH. Abdul Halim dan KH. Ahmad Sanusi juga merupakan penulis jenial dan produktif. Keduanya menulis kitab, buku dan artikel di berbagai majalah dalam beragam fokus juga tema pembahasan. Secara khusus untuk kitab, masing-masing menulis tentang aqidah, akhlak, fiqih, tafsir dan masih banyak lagi. Di samping itu juga menulis buku tentang tema-tema sosial dan tergolong kekinian, termasuk tentang kebangsaan dan kenegaraan. Bila kita membaca karya mereka maka kita akan tercengang dan haru-bangga betapa keduanya adalah sosok intelektual yang kaya pengetahuan sehingga menjadi rujukan masyarakat luas dalam berbagai urusan. 

Semangat literasi terutama menulis dari kedua tokoh tersebut merupakan warisan paling berharga yang perlu kita jaga dengan baik. Teknisnya, bukan saja mendokumentasi berbagai karya tulis para pendiri, tapi juga mewarisi tradisi literasi mereka di era ini. Apalah lagi pada era perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang semakin tak terbendung ini, menulis adalah sebuah keniscayaan. Para tokoh PUI perlu menghiasi berbagai media online dengan tulisan bernasnya, termasuk merespon berbagai isu keumatan dan kebangsaan dengan tulisan-tulisan yang layak dibaca sekaligus dijadikan rujukan oleh berbagai kalangan.   

Kelima, mewarisi politik santun para pendiri PUI. Tradisi berpolitik yang santun dan berkelas juga telah dipertontonkan oleh tiga pendiri PUI pada pentas politik lokal dan nasional di negeri ini. Selain memimpin umat di level kultural juga mendapat amanah di struktur pemerintahan di level daerah atau lokal. Bahkan kelak mereka pun mendapat amanah atau kepercayaan umat dan masyarakat umumnya untuk duduk di kursi perlemen, dalam hal ini di Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), sebuah lembaga penting dalam merumuskan berbagai hal untuk sebuah negara baru bernama Indonesia. BPUPKI dibentuk oleh pemerintah Jepang pada 1 Maret 1945 dan diresmikan pada 29 April 1945. Dalam bahasa Jepang, BPUPKI dikenal dengan sebutan Dokuritsu Junbi Chosakai.

Keenam, secara khusus kaderisasi ulama yang kelak mampu memimpin dan mendidik umat perlu mendapat prioritas PUI ke depan. KH. Abdul Halim dan KH. Ahmad Sanusi adalah ulama kharismatik dan disegani oleh berbagai kalangan. Bahkan pada masa penjajahan keduanya membuat Belanda terkagum-kagum, walaupun pada saat yang sama keduanya dimata-matai oleh Belanda bahkan KH. Ahmad Sanusi pun dipenjara. Ciri khas yang sangat melekat pada kedua pendiri PUI tersebut adalah ulama dan santri. Keduanya mesti dipertahankan sebagai ikon yang tak bisa dipisahkan dari PUI itu sendiri.  

Menjadi intelektual yang peduli realitas sosial adalah warisan yang sangat ril para tokoh pendiri PUI. Menjadi pemimpin umat dan masyarakat luas juga adalah warisan lain yang tidak bisa dianggap sepele. Baik secara kultural maupun struktural mereka sukses mentahbiskan diri sebagai pemimpin umat dan menjadi soko guru bangsa. Sehingga sangat wajar bila tema HUT PUI ke-104 tahun ini adalah "Memimpin Umat, Membangun Bangsa", ia merupakan upaya mewarisi apa yang sudah dilakoni oleh para pendiri dan pendahulu lainnya. Selamat mengisi abad kedua dengan peran dan kontribusi terbaik terhadap kepentingan umat dan bangsa kepada keluarga besar PUI di seluruh Indonesia dan dunia! (*)


*Oleh: Syamsudin Kadir, Penulis Buku "Persatuan Ummat Islam; Ide, Narasi dan Kontribusi untuk Umat dan Bangsa". Tulisan ini bisa dibaca pada buku "Persatuan Ummat Islam; Ide, Narasi dan Kontribusi untuk Umat dan Bangsa", karya H. Iman Budiman, M.Ag. dan Syamsudin Kadir (terbit Desember 2021). 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Langkah dan Teknik Konseling Kelompok

Sejarah Perkembangan Pendidikan Luar Sekolah