Mari Berliterasi!


LITERASI merupakan salah satu dari banyak tema yang kerap diperbincangkan di berbagai momentum dan forum selama beberapa tahun terakhir. Bukan saja oleh lembaga pemerintah tapi juga oleh lembaga atau organisasi non pemerintah seperti organsiasi kemasyarakatan, kalangan media, perguruan tinggi, organisasi kepemudaan, penggiat literasi, lembaga swadaya masyarakat dan sebagainya. 

Literasi dalam Bahasa Latin adalah literatus, artinya orang yang belajar. Sedangkan dalam Bahasa Inggris adalah literacy, artinya sarana untuk sumber belajar. Dengan demikian, secara bahasa literasi adalah orang yang belajar menggunakan media tertentu sebagai proses belajar untuk tujuan yang positif dan bermanfaat. 

Adapun pengertian literasi ada banyak dan diungkapkan oleh para penggiat atau pemerhati literasi. Elizabeth Sulzby, misalnya, mendefinisikan literasi sebagai kemampuan seseorang dalam berbahasa dan berkomunikasi. Dimana orang tersebut tidak hanya memiliki kemampuan membaca, tapi juga kemampuan menyimak, berbicara serta menulis. 

Menurut Education Development Center (EDC), literasi adalah kemampuan seseorang memaksimalkan potensi dan keterampilan yang ada di dalam dirinya baik baca dan tulis maupun keterampilan lain yang dimilikinya. Sementara menurut Wikipedia, literasi adalah kemampuan dan keterampilan individu dalam membaca, menulis, berbicara, menghitung dan memecahkan masalah pada tingkat keahlian tertentu yang diperlukan dalam kehidupan sehari-hari. 

Menurut Hamidulloh Ibda (Dalam Jurnal Jalabahasa, 2019), literasi mencakup (1) literasi baru yaitu (a) literasi data, (b) literasi teknologi, (c) literasi manusia, dan (2) literasi lama yaitu (a) literasi membaca, (b) literasi menulis dan (c) literasi berhitung. 

Lebih spesifik dari literasi, akhir-akhir ini dikenal juga literasi digital dan literasi media. Literasi digital adalah pengetahuan dan kecakapan untuk menggunakan media digital, alat-alat komunikasi, atau jaringan dalam menemukan, mengevaluasi, menggunakan, membuat informasi, dan memanfaatkannya secara sehat, bijak, cerdas, cermat, tepat dan patuh hukum sesuai kegunaannya dalam rangka membina komunikasi dan interaksi dalam kehidupan sehari-hari. (Vanya Karunia Mulia Putri, Kompas 15 Juni 2021) 

Selain itu, ada juga yang mendefinisikan, bahwa literasi digital adalah kemampuan seseorang untuk mengakses, memahami, membuat, mengkomunikasikan dan mengevaluasi informasi melalui digital. Sementara itu, literasi media adalah kemampuan untuk menggunakan, memahami,  menganalisis dan mengkritisi konten media.  

Secara khusus bila menelisik secara mendalam mengenai literasi digital dan literasi media, maka kita akan menemukan tiga elemen penting di dalamnya yaitu pengetahuan, kompetensi dan lokus personal. Pengetahuan berkaitan dengan konten atau ide, kompetensi berkaitan dengan kapasitas seseorang dalam hal ini penggiat atau pengguna media, dan lokus personal berkaitan dengan keterampilan dalam hal ini penggiat atau pengguna media. 

Mengulas literasi tak bisa dipisahkan dengan tradisi baca sebagai tradisi kunci, selain tulis dan hitung. Hal ini bermakna mengulas literasi berarti berkaitan erat dengan tingkat dan daya baca masyarakat dalam hal ini Indonesia. Menurut riset Centeral Connecticut State Univecity (CCSU) pada 2016, Indonesia menduduki posisi ke-60 dari 61 negara dalam hal minat baca.  Posisi ini persis di bawah Thailand (59) dan di atas Bostwana (61). 

Berdasarkan survei yang dilakukan oleh Program for International Student Assessment (PISA) yang dirilis oleh Organization for Economic Coperation and Development (OECD) pada 2019, Indonesia menempati urutan ke-62 dari 70 negara, atau berada pada posisi 10 negara terbawah dalam hal literasi.  

Berdasarkan data United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO), tingkat literasi Indonesia menempati urutan kedua dari bawah. Bahkan menurut lembaga internasional ini, minat baca masyarakat Indonesia hanya 0,001%. Artinya, dari 1.000 orang Indonesia, hanya 1 orang yang aktif membaca. 

Menurut standar UNESCO, seseorang yang dalam setahun hanya membaca 3 buku itu termasuk sangat lemah berliterasi. Bila kita menelisik daya baca warga ibukota di beberapa kota besar sekaligus ibukota berpadat penduduk di dunia, maka Jakarta termasuk kota yang warganya paling cerewet dalam bermedia sosial. Hal ini seperti riset Semiocast (Prancis) yang menjabarkan bahwa Jakarta (Indonesia) adalah kota terpadat yang warganya paling cerewet di media sosial, mengalahi New York (Amerika Serikat) dan Tokyo (Jepang). 

Mengulas literasi secara detail mendesak kita untuk menjawab beberapa pertanyaan penting, yaitu (1) Berapa media dan buku yang kita baca di setiap: hari, pekan, bulan dan tahunnya?, (2) Berapa artikel yang kita tulis dan publikasi di setiap: hari, pekan, bulan dan tahunnya?, (dan (3) Berapa buku yang kita tulis dan publikasi di setiap: bulan dan tahunnya? Bila kita mau berbenah sekaligus menjawab pertanyaan tersebut secara praktis atau aksi nyata, itu berarti kita sedang atau telah melawan hoax dalam bentuk lain dan menunjang bangsa dan negara kita dalam membangun sekaligus memajukan tradisi literasi.  

Untuk membangun tradisi literasi perlu pemantik atau motivasi dari dalam diri, misalnya, memahami tujuan dan manfaat berliterasi. Paling tidak ada beberapa tujuan dan manfaat berliterasi, yaitu: (1) menambah wawasan dan meningkatkan kemampuan dalam berpikir dan memahami ilmu pengetahuan dan informasi, (2) meningkatkan daya kritis, kreatifitas dan inovasi dalam berpengetahuan, bersikap dan bertindak, (3) meningkatkan kemampuan verbal dan komunikasi, (4) meningkatkan daya fokus dan konsentrasi serta kemampuan membaca, merangkai kalimat dan menebar informasi. 

Berliterasi sendiri memiliki urgensi yang perlu kita sadari. Urgensi berliterasi paling tidak sebagai berikut: (1) menjaga dan meningkatkan kualitas warga negara dari aspek pengetahuan, wawasan dan inovasi dalam menemukan ide atau gagasan positif yang bermanfaat bagi bangsa dan negara, (2) terbentuknya warga negara yang cerdas, berpikir kritis, kreatif-inovatif dan mampu bekerjasama atau berkolaborasi dengan berbagai kalangan dalam memajukan bangsa dan negara, (3) terproduksinya karya literasi dan konten positif sehingga mampu mendominasi media dalam mempublikasi karya sekaligus konten positif dan bermanfaat, (4) menghalangi atau mengurangi berkembangnya berbagai konten negatif (hoax, fake news) sehingga tidak mendominasi media dan menjadi rujukan atau panduan publik atau masyarakat luas.  

Secara praktis literasi itu bisa diwujudkan dengan, misalnya, (1) aktif membaca, menulis dan berdiskusi, (2) sensitif dan responsif atas berbagai isu, (3) bersikap kritis dan aktif melakukan klarifikasi sekaligus investigasi, (4) bekerjasama dan berkolaborasi secara konstruktif  dengan berbagai kalangan, (5) melek teknologi informasi dan komunikasi, (6) melakukan edukasi pada organisasi dan masyarakat, (7) publikasi karya dan berita secara produktif, (8) berupaya untuk menemukan sesuatu yang bermanfaat, (9) menjaga integritas  yang berbasis pada nilai religiusitas, intelektualitas dan humanitas, (10) bersikap elegan: aksi massa, aksi sosial, penulisan artikel, dan sebagainya, (11) menghindari hoax, fake news dan informasi yang tidak bermanfaat.   

Hal yang perlu kita pahami juga adalah mengenai kandungan literasi. Literasi mengandung tiga hal penting yaitu nilai (values), isi (contens), dan publikasi (publication). Artinya, dalam berliterasi mesti kita mesti memperhatikan aspek nilai, isi dan publikasi. Nilai, isi dan publikasi mesti memperhatikan dimensi penting atau tidaknya, menarik atau tidak menariknya, dan relevan atau tidak relevannya hal-hal yang berkaitan dengan literasi.

Sebagai sebuah tradisi intelektual, tradisi literasi akrab dengan cara pandang yang berbasis pada tiga hal yaitu (1) religiusitas, (2) intelektualitas, dan (3) humanitas yang bisa disingkat Re-Intelektualitas. Makna sederhananya, berliterasi harus memperhatikan dimensi religiusitas sebagai sumber nilai, intelektualitas sebagai basis penalaran sekaligus rasionalitas, dan humanitas atau kemanusiaan sebagai basis kemanfaatan atau kemaslahatan.   

Dalam kerangka membangun gerakan literasi, maka beberapa hal perlu diperhatikan, sehingga gerakan literasi lebih sistematis dan terevaluasi dengan baik. Diantaranya, terbentuknya tim dan basis massa sebagai penggerak, memiliki platform gerakan literasi sehingga lebih terarah, tersusunnya program prioritas agar lebih fokus, gerakan mesti diorientasikan pada wujud pengkaryaan seperti produk tertentu, dan terpublikasinya gerakan, aksi dan produk literasi melalui media atau sarana yang tersedia termasuk di media digital.   

Contoh program yang bisa diujicoba dalam rangka membangun gerakan literasi, misalnya, mengadakan sarasehan literasi nasional, aktif melaksanakan workshop dan talkshow literasi-media, melakukan pelatihan penulisan dan jurnalistik, mengadakan pelatihan pemanfaatan-penggunaan media, pemanfaatan berbagai media termasuk media digital secara produktif, penguatan jaringan dan kunjungan media, menulis artikel (opini) dan berita secara rutin, menulis dan menerbitkan buku secara periodik, mengadakan bedah buku dan bedah media, dan sebagainya. 

Maju atau mundur sekaligus berkembang atau tidaknya gerakan literasi di tengah masyarakat bahkan di negara kita Indonesia sangat ditentukan oleh kesungguhan setiap warga negara untuk berperan dan mengambil bagian di dalamnya. Sekecil atau sesederhana apapun kontribusi kita pada upaya menggeliatkan tradisi literasi sejatinya ternilai besar. Sebab tradisi literasi hanya mungkin mengalami daya gedor dan menjadi gelombang besar karena adanya lakon kecil namun masif. Bila seluruh elemen tergerak maka itu pertanda ke depan gerakan literasi Indonesia semakin maju dan berdampak serius bagi kemajuan bangsa dan negara kita. (*)


* Oleh: Syamsudin Kadir, Penggiat Forum Penulis Persatuan Ummat Islam (PUI), Komunitas Cereng Menulis (KCM), dan Rumah Produktif Indonesia (RPI)


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sejarah Perkembangan Pendidikan Luar Sekolah

Langkah dan Teknik Konseling Kelompok