Inspirasi Literasi Malam Ahad


RAMADHAN menjelang tak lama lagi, beberapa hari lagi. Rasa riang dan gembira sudah menghiasi hidup kita beberapa waktu terkahir. Kita pun terdorong untuk mempersiapkan semuanya, dari iman dan fisik hingga ilmu pengetahuan seputar ramadhan mulia. Ramadhan merupakan bulan yang benar-benar kita rindukan. Bahkan dalam pandangan Ary Ginanjar Agustian, Founder ESQ, ramadhan adalah saat tepat untuk re-charge kecerdasan emosional dan spiritual kita. 


Terkait hal tersebut saya sangat bersyukur karena mendapat kesempatan untuk menghadiri acara Bincang Buku Bareng Penulis pada Sabtu, 26 Maret 2022 pada pukul 19.30 sampai selesai. Pada acara yang mengangkat tema "Amazing Ramadhan dan Tausiyah Sambut Ramadhan" ini menghadirkan Mas Dinar Rafikhalif (Penulis Buku "Amazing Ramadhan", Nugroho Putu (Penulis Buku "Mungkin Kita Hanya"), Ustadz Ibnu Said Al-Boney, Lc., Menik Qomariyatin (Presiden Dewan Santuy Nasional), dan Rahayu Hestiningsih (Penggiat Literasi). 


Pada kesempatan ini secara khusus saya mencatat poin yang disampaikan Mas Dinar, hal yang sebetulnya sudah beliau ungkapkan dalam bukunya yang dikupas pada pertemuan kali ini. Pertama, ramadhan adalah wasilah terbaik untuk berdoa. Doa adalah senjata pengubah takdir. Ya, doa adalah senjata paling ampuh mengubah takdir kita. Namun doa tidak cukup, ia mesti disertai dengan keyakinan dan optimisme dari dalam diri untuk berubah ke arah yang lebih baik. "Ramadhan adalah wasilah terbaik untuk berdoa. Doa adalah kunci senjata pengubah takdir", ungkapnya. 


Hal ini sebetulnya sudah digariskan sejak lama oleh Allah seperti yang Ia firmankan pada surat ar-Ra'du ayat 11, "... Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap suatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya dan tidak ada pelindung bagi mereka selain Dia." 


Kedua, Allah itu Maha Pemaaf (Al-Afwu) dan Maha Pengampun (al-Gafhur). Karena itu, tibanya Ramadan adalah momentum terbaik untuk memohon kepada Allah akan diampuninya seluruh dosa dan salah kita bahkan Ia memaafkan semuanya. Sifat ghafurnya Allah bermakna Allah mengampuni kita, sementara sifat afwunya Allah memaafkan kita dan menutup seluruhnya, sehingga tidak menjadi aib dalam hidup kita. Kita bukan saja ingin mendapat ghafurnya Allah tapi juga afwunya. Sehingga dosa dan salah kita benar-benar diampuni, bersih dan tak berbekas lagi. 


Ketiga, pentingnya mengisi ramadhan dengan amal terbaik. Selain ibadah shaum, tarawih, tilawah al-Qur'an, zikir dan sebagainya yang sudah rutin dilakukan selama sekian tahun yang sudah lewat, ramadhan juga adalah momentum untuk beramal atau berbakti pada kedua orangtua kita. Bukan saja karena mereka yang melahirkan kita tapi juga karena mereka adalah manusia yang paling berjasa pada hidup kita. "Yang lebih utama melebihi beribu ulama adalah orangtua", ungkapnya. 


Pada sesi tanya jawab, saya pun mendapat kesempatan untuk bertanya begini, "Mas, mohon berbagi langkah praktis menulis agar bisa menghasilkan karya tulis selama ramadhan, hingga setelahnya bisa menjadi buku yang layak terbit". Tak menunggu lama, Mas Dinar pun menjawab, menulis tentang pengalaman pribadi itu cukup memudahkan, sebab kita mengalami sendiri. Selanjutnya, tulislah sesuatu yang membuat kita nyaman dan riang, sehingga tidak menjadi beban yang memberatkan. 


Pada kesempatan ini Mas Putu, penulis buku "Mungkin Kita Hanya", berkomentar pendek namun benar-benar bergizi. Menurutnya, menulis itu bagai resonansi kebaikan. Bila lisan kita belum mampu menggerakkan langkah orang untuk melakukan kebaikan maka dengan menulis diharapkan bisa menjadi energi yang menggerakkan. "Mungkin butuh banyak penulis, sehingga resonansi kebaikan semakin menggema", ucapnya. Ya, Indonesia butuh banyak penulis. Kita perlu bertekad kuat dan bertindak praktis agar segera memiliki karya tulis yang terpublikasi. 


Sebetulnya ada banyak hal yang saya peroleh pada acara yang dihadiri oleh penggiat literasi lintas kota di seluruh Indonesia ini. Namun saya masih butuh waktu untuk menangkap secara detail seluruh inspirasi yang saya peroleh. Bagi saya, menulis semacam ini adalah proses belajar paling ril bagaimana seharusnya saya membiasakan diri untuk menulis. Bukan sekadar "numpang nama" di berbagai forum atau komunitas, tapi benar-benar belajar dan langsung praktik. Begitulah inspirasi yang saya peroleh pada malam Ahad kali ini. Semoga ada hati yang tergerak untuk segera menulis, sebab kalau sekadar mengeong tanpa karya tulis itu namanya kucing! (*)

* Oleh: Syamsudin Kadir, Penggiat Komunitas Cereng Menulis, Penulis Buku "Kalo Cinta, Nikah Aja!" dan "Pendidikan Ramadan" 

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sejarah Perkembangan Pendidikan Luar Sekolah

Langkah dan Teknik Konseling Kelompok