Belajar Meneladani Akhlak Baik Ine pada Pua


MENGENANG seorang Ibu adalah lakon yang menarik dan tak ada habisnya. Bukan saja karena Ibu adalah manusia paling berjasa pada kehidupan kita tapi juga keteladanan Ibu dalam segala hal. Mungkin ada saja kekurangan dan kelemahan yang dilakoni seorang Ibu dalam menjalankan peran dan tanggungjawabnya, namun apa yang ditorehkan adalah kenangan indah yang layak kita kenang kini dan nanti. Abadi, selamanya. Tak heran bila agama, dalam hal Islam, menempatkan Ibu sebagai sosok yang sangat istimewa dalam perjalanan seorang manusia.  

Dalam bahasa Manggarai, termasuk Cereng (sebuah kampung di Desa Golo Sengang, Kecamatan Sano Nggoang, Kabupaten Manggarai Barat-NTT), Ibu diartikan sebagai atau dengan Ine. Dalam bahasa Bima-NTB, Ibu diartikan dengan Ina. Ine dan Ina punya padanan yang mirip. Secara khusus di Manggarai, terutama Manggarai Barat Ine merupakan panggilan paling populer untuk seorang Ibu oleh anak-anaknya. Panggilan Ine sudah terjadi sejak lama, dilakoni secara turun temurun dari para leluhur dulu hingga kini.  

Saya sendiri memanggil Ibu dengan panggilan Ine. Begitu juga kakak dan adik saya dalam keluarga kecil, dari saya dan 8 saudara lainnya. Dari dulu hingga kini saya selalu menyapa Ibu dengan Ine. Menyapa ibu dengan Ine terasa lebih menyentuh. Mungkin ini terlihat sepele namun ada semacam energi yang muncul bila saya menyapa Ibu dengan Ine. Selain karena sudah terbiasa sejak kecil juga karena panggilan Ine ini jugalah dulu Bapak atau akrab saya sapa Pua menisbatkan Ine untuk anak-anaknya dengan sapaan "Inemu" atau Ibumu atau "Ine Gemi" atau "Ibu kalian". 

Ine sendiri sudah meninggal pada Februari 2014 silam karena sakit. Cukup lama Ine menderita sakit. Bahkan tergolong komplikasi, sebab ada banyak jenis sakit yang dideritanya. Dari yang ringan hingga berat. Sempat berobat dan sembuh untuk beberapa kali, namun dalam kesempatan lain sakitnya tiba-tiba muncul lagi. Sehingga Ine pun benar-benar terganggu. Ada banyak waktu, tenaga dan pikiran yang Ine korbankan gegara sakit yang diderita, namun Allah ternyata lebih cinta pada Ine. 

Kini salah satu yang satu hal yang menarik untuk diteladani dari banyak keteladanan Ine adalah akhlak baiknya pada pasangan hidupnya atau pada Pua. Salah satu akhlak terbaik dari Ine yang masih terngiang dalam benak saya adalah selalu memanggil Pua dengan "Ite". Selama Ine hidup, terutama sepengetahuan dan seingat saya beliau nyaris tak pernah memanggil Pua dengan "Hau". Paling sederhana dengan menisbatkan pada anak-anaknya, misalnya, Pua de Dir, Pua de Ju, Pua de Harmi dan sebagainya. 

Lalu, bagaimana dengan kita anak-anaknya? Apakah kita mampu mewarisi akhlak Ine yang telah memberi kita teladan terbaik? Apa yang Ine lakoni adalah akhlak baik dan berharga. Ia adalah warisan berharga dan mulia yang layak kita wariskan. Bila kita warisi maka itu bakal menjadi salah satu jariyah yang pahalanya bakal sampai juga ke Ine. Sebab mewarisi akhlak baik adalah salah satu amal baik dan dianjurkan oleh agama, dalam hal ini Islam.  

Lebih praktis, panggillah pasangan kita dengan panggilan terbaik. Kalau dengan "Hau" itu terlihat kurang baik. Apalah lagi anaknya Ine kepada suami masing-masing, panggillah suaminya dengan panggilan terbaik. Bisa dengan "Bapede Nono", "Pua de Inuk", dan sebagainya. Begitu juga pada istri masing-masing, panggillah dengan panggilan terbaik dan disukai. Jangan memanggil istri dengan panggilan "Hau", panggillah dengan panggilan yang menyenangkan. Hal ini terlihat sepele dan sederhana namun punya manfaat, termasuk meneladani akhlaknya Ine pada Pua yang perlu kita wariskan, selamanya! (*)


* Oleh: Syamsudin Kadir, Anak ke-4 dari 9 bersaudara 


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Langkah dan Teknik Konseling Kelompok

Sejarah Perkembangan Pendidikan Luar Sekolah