Membangun Keluarga Pembaca Buku


HIRUK pikuk di luar rumah sejatinya hanyalah selingan kecil bagi kehidupan kita. Sementara di dalam rumah adalah aspek pertama dan utama dalam kehidupan kita. Sebab tanggungjawab besar kita dalam berbagai aspeknya sangat ditentukan oleh kualitas kita di lingkungan keluarga atau rumah. Sebagai orangtua, kita perlu memastikan diri kita sebagai orangtua pembelajar. Orangtua yang terus menerus belajar meningkatkan kualitas diri agar mampu dan sukses menjalankan peran secara maksimal dalam berbagai aspeknya, terutama dalam melakoni kehidupan rumah tangga. Baik dalam menggapai hak maupun dalam menunaikan kewajiban kita.

Dengan demikian, anak-anak kita juga punya pemahaman yang sama bahwa mereka mesti menjadi anak-anak pembelajar. Yaitu anak-anak yang terus menerus belajar tentang banyak hal, termasuk untuk membaca berbagai judul buku. Sekadar memantik, Fauzil Adzim dalam bukunya “Saat Berharga Untuk Anak Kita” (2009) mengutip sebuah pepatah populer, “Historia vitae magistra”, sejarah atau pengalaman adalah guru terbaik kehidupan.

Membaca adalah salah satu jalan terbaik untuk membaca sejarah kebaikan masa lalu dari orang-orang terdahulu, tak terkecuali kebaikan orangtua kita atau kakek dan nenek dari anak-anak kita. Sebagai orangtua, kita layak mewariskan lakon sejarah terbaik bagi anak-anak kita. Termasuk dalam mewariskan tradisi membaca buku. Agar mereka mampu mengambil inspirasi kebaikan dari para pelakon sejarah. “Everyone is a leader now!”, setiap orang adalah pemimpin. Maknanya, setiap kita juga mesti belajar menjadi pemimpin. Dengan begitu kita juga secara otomatis terus membangun tradisi belajar kepada siapapun yang memiliki ilmu. Termasuk dengan cara banyak membaca buku. Sebab itu adalah tradisi para pemimpin di masa lampau.

Membaca buku sendiri tak mesti berlama-lama. Dalam waktu yang singkat sekalipun pun tak mengapa, asal rutin atau disiplin. Misalnya rutin 10 menit sehari. Kalau selama 10 menit itu biasanya kita bisa membaca 3 sampai 5 halaman. Kalau konsisten dengan waktu segitu nanti bakal ada peningkatan. Selain waktu yang dibutuhkan juga jumlah halaman yang diselesaikannya. Bahkan kalau sudah menjadi tradisi yang terjaga dan disiplin kita akan bisa membaca 1 atau 2 buku per hari. Atau paling tidak 10 halaman buku per hari. 

Untuk memantik dan menjaga semangat membaca, bacalah buku-buku yang paling disukai. Teknisnya, silakan baca judul atau daftar isi bukunya. Baca juga pengantar buku sekaligus komentar pembaca atas buku tersebut yang biasanya terdapat di cover belakang buku. Atau bisa juga di bagian dalam pada halaman kumpulan komentar atau testimoni pembaca atau tokoh. Membaca buku sendiri tidak mesti di perpustakaan buku milik pemerintah daerah saja. Tak mesti di toko buku yang namanya terkenal di mana-mana. Tapi bisa juga di toko buku yang terdekat dengan rumah kita. Membaca buku di perpustakaan kampus terdekat juga termasuk pilihan bagus.

Atau kita bisa juga memaksimalkan ruang tamu atau salah satu ruang di rumah kita sebagai perpustakaan mini tempat menyimpan berbagai macam buku. Di samping berbagai majalah dan koran yang mungkin isinya sangat positif dan informatif sesuai kebutuhan kita dalam mendidik diri juga anak-anak kita. Untuk meningkatkan kuantitas atau jumlah buku maka kita perlu menyediakan dana khusus untuk itu. Misalnya 10 % dari pendapatan per bulan digunakan untuk membeli buku. Sisanya untuk kebutuhan harian keluarga dan kebutuhan mendadak yang bersifat darurat, serta mungkin juga untuk mencicil pembayaran utang atau hal lain yang sangat penting.

Kalau saja setiap bulan kita bisa membeli buku sebanyak 5 eksamplar buku maka dalam setahun kita sudah bisa menampung 60 eksamplar buku. Kalau 5 tahun berarti kita sudah bisa menampung 300 eksamplar buku untuk perpustakaan buku di rumah. Lebih teknis silakan tentukan saja sesuai kemampuan masing-masing. Kalau tak mampu membeli buku yang mahal-mahal, belilah buku-buku yang harganya murah. Datanglah ke tempat pameran atau bazar buku murah di tempat terdekat. Biasanya di bazar buku akan dipamerkan ribuan judul buku. Harganya masih terjangkau atau tergolong murah. Bahkan ada yang masih seharga Rp 5.000. Buku-bukunya juga masih berkualitas dan bisa dinikmati dengan asyik. 

Ya, tradisi membaca memang butuh pembiasaan sekaligus keteladanan dari kita sebagai orangtua. Anak-anak biasanya sangat terpengaruh oleh orangtuanya. Dalam hal ini tak terkecuali dalam hal tradisi membaca buku, lebih khusus lagi membaca buku di lingkungan keluarga. Penjelasan di atas telah diafirmasi oleh Kihadjar Dewantara sebagaimana yang dikutip oleh Dea Tantyo dalam buku “Leiden is Lidden” (2017), jadikan setiap tempat sebagai sekolah dan jadikan setiap orang sebagai guru.

Jadi, jadikan rumah sebagai sekolah tempat kita dan anak-anak kita belajar berbagai ilmu melakui buku-buku yang layak. Di sini, orangtua menjadi guru utama dan pertama bagi anak-anak. Orangtua perlu menyadari ini, agar tak terjebak dalam penyakit yang disebut oleh penulis buku “Mewujudkan Indonesia Adil dan Beradab” (2015) dan buku “Pendidikan Islam” (2018), Adian Husaini, dengan “Sekolaisme”, yaitu suatu pemahaman bahwa seluruh pendidikan anak terletak di sekolah dan semuanya menjadi tanggungjawab guru.

Padahal menurut lulusan ISTAC-IIUM, penulis puluhan buku dan ratusan artikel di berbagai media massa dan media online ini, pusat pendidikan anak adalah pendidikan keluarga, dan orangtua adalah pendidikan pertama dan utamanya. Berbagai interaksi dan proses pendidikan serta tradisi baik terjadi di sini. Di sini, model yang mencontohkan semua itu bagi anak adalah kedua orangtuanya.

Kita tentu memahami dan menyepakati apa yang diungkap oleh peneliti INSISTS Jakarta ini. Tentu saja salah satu jenis aktivitas baik yang dicontoh oleh anak pada orangtuanya adalah tradisi membaca buku. Ya membaca buku di lingkungan rumah kita. Kalau tradisi semacam ini sudah menjadi fokus dan aspek yang dianggap penting dalam keluarga maka ini akan menjadi pemantik paling baik dan positif dalam melahirkan orangtua yang berkualitas sekaligus generasi atau anak-anak yang berkualitas pula.

Mari para orang tua hebat, mari bangun tradisi membaca buku di rumah kita bersama anak-anak kita. Mari biasakan untuk membaca buku setiap hari di rumah atau lingkungan keluarga kita. Kalau hal ini sudah menjadi habit, maka anak-anak kita bakal meneladani kita dengan baik. Sebab kita sebagai orangtua bukan saja mengajak mereka tapi juga mencontohkan atau menjadi teladan terbaik bagi mereka dalam tradisi membaca buku. Begitulah cara paling sederhana yang bisa kita tempuh dalam membangun keluarga pembaca buku. (*)


Oleh: Syamsudin Kadir, Penggiat Forum Penulis Persatuan Ummat Islam (PUI), Komunitas Cereng Menulis (KCM) dan Rumah Produktif Indonesia (RPI) 


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sejarah Perkembangan Pendidikan Luar Sekolah

Langkah dan Teknik Konseling Kelompok