Memaknai Kembali Idul Fitri


Alhamdulillah, Ramadan baru saja berlalu. Kini kita sudah memasuki bulan Syawal 1444 H. Kita mengawali Syawal tahun ini dengan shalat Idul Fitri dan rangkaian aktivitas kebaikan yang menyertainya seperti menderma pada sesama. Pada umumnya, pada momentum ini kita begitu riang menyambung silaturahim dengan keluarga, tetangga dan kolega. Saling memaafkan dan berbagi tawa, senyuman juga canda adalah aktivitas yang mengisi hari-hari kita di momentum kali ini. 

Memasuki Syawal adalah awal mula kita merayakan hari raya lebaran atau Idul Fitri. Makna dan hakikat Idul Fitri sendiri paling tidak mengandung tiga arti penting. Pertama, kembali suci atau fitri. Yaitu hari asal kejadian manusia bagaikan manusia yang lahir ke dunia ini dalam keadaan suci dan bersih, tanpa membawa dosa apapun. Karena melaksanakan shaum dengan iman dan penuh perhitungan (ihtisaban) selama bulan Ramadan. Tapi syaratnya tentu terjaga yaitu menjalankan ibadah shaum itu sendiri. 

Kedua, kewajiban berbuka. Merayakan Idul Fitri (tanggal 1 Syawal) merupakan hari diwajibkan berbuka dengan makan, minum dan bergembira bagi umat Islam (yaum ukli wa syurbi wa jahbati lil muslimin) karena pada hari diharamkan untuk berpuasa pada 1 Syawal. Pada umumnya di momentum lebaran ini kita bergembira riang, terutama ketika bersua dengan keluarga besar yang selama ini jarang bersua dengan kita. 

Ketiga, hari kemenangan. Idul Fitri juga merupakan hari kemenangan bagi segenap umat Islam, karena mereka telah berjuang dengan sungguh-sungguh (berjihad)  melawan kezaliman, hawa nafsunya selama satu bulan penuh. Maka pada saat Idul Fitri, kita merayakan kemenangan tersebut dengan penuh rasa syukur, haru, kegembiraan dan suka-cita dengan saling memaafkan antar sesama. 

Dalam konteks menjaga sekaligus memaknai fitri, kita memiliki sikap unggul. Pertama, Ihsan. Ihsan adalah lawan dari sikap kejelekan (isa'ah), yaitu seorang manusia mencurahkan kebaikan dan menahan diri untuk tidak dengki, tidak khianat, tidak sombong  kepada orang lain, karena perilaku ihsan merasa diawasi dan diperhatikan oleh Allah. Ihsan mengharuskan kita untuk melakukan sesuatu kebaikan tanpa mengharap balasan apapun dari manusia, kecuali harapan kepada Allah semata. 

Ihsan juga ditandai dengan perasaan dipantau oleh Allah. Kita merasa bahwa seluruh gerak gerik kita pasti dalam jangkauan Allah, walau pun kita berdiam diri dalam sebuah benteng besar dan kokoh. Mereka yang selama ini bergaya hidup mewah dari hasil korupsi mestinya segera mengembalikan hasil korupsinya kepada negara untuk kepentingan seluruh warga negara. Mereka mesti mengembalikan sesuatu yang bukan haknya tanpa mesti ditetapkan atau diburu oleh penegak hukum. 

Kedua, bersyukur. Bersyukur yaitu berterima kasih, senang memperoleh nikmat yang telah diberikan Allah kepada kita, baik dengan lisan, hati maupun perbuatan. Nikmat berupa rezeki yang telah diberikan Allah kepada kita selamanya kita tidak akan mampu menghitungnya. Sebagai wujud rasa syukur, kita mesti bekerja keras untuk melakukan pemulihan amal dalam berbagai sisinya. Dan tanda syukur yang paling penting adalah tidak mencuri kekayaan negara demi kepentingan hidup mewah diri dan keluarga sebagai dampak dari sifat dan sikap serakah.  

Allah adalah Zat yang Maha di atas segalanya. Dalam kondisi penuh dosa dan maksiat hamba-Nya, Ia masih memiliki sifat "Pengampun" sebagai bagian dari tanda kemuliaan-Nya. Shaum Ramadan adalah ibadah yang memungkinkan seluruh dosa dan maksiat kita mendapat ampunan dari-Nya. Sehingga hadirnya kita di Idul Fitri sejatinya bukan saja karena sebuah jawaban dari doa dan taubat kita kepada-Nya tapi juga dari dampak shaum itu sendiri. Shaum yang benar-benar terlaksana karena iman dan penuh pengharapan akan penerimaan juga ampunan dari-Nya. 

Idul Fitri adalah momentum terbaik bagi kita untuk berserah diri atas kelemahan diri kita dengan langkah penghambaan tanpa menyekutukan-Nya. Kita mesti berbenah diri dengan memastikan pelaksanaan ibadah kita benar-benar sesuai dengan syariat-Nya, bukan mengada-ada. Merayakan Idul Fitri pun bukan sekadar seremoni, tapi benar-benar menyentuh substansinya yaitu pembersihan jiwa dan raga dari seluruh dosa kepada Allah dan perbuatan tercela kepada sesama. 

Secara khusus, kepada mereka yang masih korupsi mestinya kembali fitri dengan merasa malu atas perbuatan mereka selama ini. Mereka telah melakukan tindakan zalim pada negara yang akhirnya berdampak pada laju ekonomi negara yang tersendat. Bila mereka benar-benar kembali ke fitri maka satu-satunya sikap yang dipilih adalah menyerahkan diri ke penegak hukum. Pada saat yang sama, mereka juga harus mengembalikan hasil korupsi kepada negara; bukan malah sibuk berpesta ria dan bukan membiarkan keluarga mereka pamer hasil korupsi di berbagai akun media sosial. Itulah pemaknaan sederhana atas Idul Fitri setelah kita melaksanakan shaum Ramadan yang membawa kita semua pada maqom taqwa sekaligus fitri sejati. (*)


Oleh: Syamsudin Kadir, Penulis Buku "Literasi Ramadan". 



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sejarah Perkembangan Pendidikan Luar Sekolah

Langkah dan Teknik Konseling Kelompok