Bila Naskah Buku Ditolak Penerbit, Silahkan Lakukan ini!


SALAH satu nikmat yang bisa kita manfaatkan pada era ini adalah teknologi informasi dan komunikasi. Kedua media yang berbasis digital ini akrab dengan kehidupan kita. Kita berada di mana pun, media tersebut akrab dengan kita. Bahkan media tersebut menyatu dalam satu media yang kita bawa atau pegang ke mana-mana. Jangan kan saat ada tamu yang berkunjung atau saat kita sengaja menggunakannya untuk berkomunikasi dan menulis, pada saat kita hendak tidur pun media tersebut masih saja menempel pada tangan kita. Itulah yang namanya Handphone alias HP. 

Lalu, apa hubungannya dengan penolakan dari penerbitan? Begini, saya hubungkan sedikit demi sedikit. Suatu ketika ada beberapa teman saya yang mengeluh naskah bukunya ditolak oleh penerbit buku. Naifnya, ditolak tanpa alasan atau penjelasan apa-apa. Hanya mendapat informasi bahwa naskahnya tidak bisa diterima atau diterbitkan jadi buku di penerbit anu dan anu. Bahkan ada teman lain yang tidak mendapat jawaban apa-apa hingga setahun lebih, juga sampai sekarang. Berapa galaunya mereka. Tapi itu hanya di awal, sebab berikutnya mereka lawan rasa itu, lalu melakukan pembenahan di sana sini. 

Sebagai persiapan sekaligus solusi, saya mengajukan beberapa langkah yang bisa ditempuh. Pertama, berkomunikasi langsung dengan pemilik perusahaan atau Owner penerbitan. Bila perlu langsung bertemu atau silaturahim, sehingga bisa saling kenal dan memahami dunia penerbitan. Hal lain, tentu ini lebih efektif untuk mengenal alur, proses dan manajemen penerbitan. Dari awal naskah masuk redaksi hingga naskah dicetak jadi buku. Kalau kita memahami alur, proses dan manajemennya maka bakal mudah bagi kita untuk mengirimkan naskah dan segala hal yang berkaitan dengannya. 

Kedua, bila penerbitan benar-benar tidak menerima naskah kita, berbaik sangka-lah bahwa penerbit menolak bukan karena naskah kita jelek atau tak bermutu, tapi karena penerbit tertentu hanya menerima tulisan dengan genre tertentu juga. Untuk itu, kita bisa mencoba untuk mengenal penerbit buku yang lainnya. Bisa jadi penerbit lain malah sedang memburu naskah yang kita miliki. Penerbit buku di Indonesia sangat banyak, terutama di empat kota seperti Jakarta, Bandung, Yogyakarta dan Surabaya. Kita bisa mencari informasi penerbit buku di internet. Mudah, bukan? 

Ketiga, bila sudah tak ada lagi yang mau menerbitkan naskah kita, maka lakukan ini. (1) cek naskah buku kita. Mungkin isi, diksi dan ulasan kita banyak yang enggak penting, atau malah membahas sesuatu yang sulit dipahami maksud dan alurnya oleh penerbit. Sebab redaksi penerbit juga manusia. Mereka bisa "stress" karena membaca naskah kita yang ugal-ugalan. (2) perbaiki naskah buku kita. Mintalah bantuan teman dekat yang suka membaca. Mungkin mereka bisa bantu baca dan edit bahkan memberi masukan berharga. Jangan malu bertanya dan minta bantuan kepada mereka yang layak kita percaya. Namanya belajar ya kita juga butuh bimbingan dan arahan dari mereka yang berpengalaman. 

Keempat, bila tetap tak ada penerbit yang menerbitkan, maka terbitkan sendiri naskahnya jadi "buku". Ya, kita bisa menerbitkan naskah kita sendiri jadi "buku". Caranya ada tiga, (1) terbitkan di blog pribadi. Artinya, kita mesti memiliki blog pribadi. Kita bisa bikin di wordpress atau blogspot. Caranya mudah toh? Tinggal buka google, ketik: cara membuat blog. Nanti bakal muncul tuh tulisan seputar cara membuat blog. Blog adalah buku yang bisa dibaca oleh jutaan manusia. (2) publikasi di akun media sosial seperti Facebook. Facebook juga adalah buku yang bisa diakses jutaan manusia. (3) cetak sendiri jadi buku. Simpan naskahnya di file ukuran A5 14 x 21 atau 14,5 x 20,5, huruf garamond ukuran 12, marjin semuanya 2, spasi 1,15. Lalu, desain cover di rentalan komputer dan naskahnya diprint langsung di situ. Jadi tuh buku. Mudah kan? 

Selain itu, tentu kita perlu jawab pertanyaan ini: Bagaimana mungkin penerbit buku menolak naskah buku kita bila kita belum memiliki naskah buku? Maka berprasangka baiklah pada penerbit buku. Mereka bakal menerima naskah kita bila kita memiliki dan bersungguh-sungguh untuk menghasilkan naskah buku. Ditolak ratusan kali pun itu tak soal. Penulis terkenal di banyak negara pun mengalami penolakan berkali-kali. Mereka tetap optimis dan terus berkarya. Kelak karya mereka pun diburu jutaan pembaca di seluruh dunia. Penulis di Indonesia juga begitu, mereka sudah pernah ditolak. Bukan sekali tapi berkali-kali. Lah, kita ditolak berapa kali? 

Ingat, saat ini kita begitu mudah mendapatkan fasilitas untuk menulis. Bahkan HP kita bisa difungsikan dalam banyak hal. Dengan satu media saja kita bisa melakukan banyak hal. Dari membaca rujukan dan sumber ide tulisan, aktivitas menulis hingga publikasi kepada khalayak. Memang pada intinya, menulis itu belajar, belajar yang benar butuh dipaksa. Bila menunggu kita bisa lalu baru mulai menulis, sampai kapan pun kita tidak bakal bisa menghasilkan karya tulis. Jadi, mulai saja dulu, nanti bakal bisa dan terbiasa. Maka paksa-lah diri untuk segera menulis, minimal dari sekaligus tentang hal-hal sederhana di sekitar kita. Tentang kebaikan orangtua, keluarga dan tetangga kita. Atau hal lain yang inspiratif dan layak diekspos ke banyak orang. Selamat mencoba! (*) 


* Oleh: Syamsudin Kadir, Kontributor Buku "Merindui Nurul Hakim" 


Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sejarah Perkembangan Pendidikan Luar Sekolah

Langkah dan Teknik Konseling Kelompok