AKSI MODERASI PROF. DIN SYAMSUDDIN DAN OCEHAN SAMPAH KELOMPOK BERNALAR TUMPUL


Sekelompok orang yang mengaku alumni Institut Teknologi Bandung (ITB) melaporkan Prof. Din Syamsuddin (Prof. Din) kepada Komite Aparatur Sipil Negara (KASN). Kelompok yang menamakan diri sebagai Gerakan Anti Radikalisme (GAR) ITB tersebut dengan beberapa bukti yang sangat konyol melaporkan dan belum melakukan proses klarifikasi kepada Prof. Din yang kini masih aktif sebagai salah satu Majelis Wali Amanat ITB dari unsur wakil masyarakat. Dari segi nama kelompok pelapor saja sudah aneh. Selain tidak terkenal juga terlihat bias kepentingan politik. Memangnya ITB mau mengurusi hal-hal yang remeh temeh alias isu sampah yang sengaja diproduksi pada musim tertentu? 

Pelaporan ini secara tidak langsung GAR ITB menuduh alumni Pondok Pesantren Modern Darusalam Gontor dan Mantan Ketua Umum PP. Muhammadiyah tersebut terlibat dalam aksi atau tindakan radikal. Atau anti Pancasila, anti NKRI, anti UUD 1945 dan sebagainya. Kalau masih memiliki saldo akal sehat dan tak terjebak aksi politik praktis, mestinya GAR mengawali dengan klarifikasi sebagai wujud penguatan masyarakat beradab. Tapi tentu ini sesuatu yang mustahil dilakukan. Sebab kelompok ini juga telah dan bertujuan melakukan aksi radikal yang sebenarnya. Apa itu? Menuduh Prof. Din sebagai tokoh yang melakukan tindakan radikal. Itu sebentuk tindakan radikal yang sangat nyata. Karena itu GAR lebih tepat diberi label panjang sebagai Gerakan Asongan Rusuh. 

Sekadar informasi, Prof. Din yang bernama lengkap Prof. Dr. Drs. K.H. Muhammad Sirajuddin Syamsuddin, M.A., atau dikenal dengan Din Syamsuddin itu adalah seorang tokoh Muhammadiyah yang jenial. Beliau adalah seorang tokoh langka yang telah lama mendirikan lembaga bernama Center for Dialogue and Cooperation Among Civilizations (CDCC). CDCC merupakan lembaga yang dihuni oleh tokoh lintas latar belakang dan kerap berdiskusi dengan menghadirkan tokoh lintas agama. Lembaga ini kerap menghadirkan gagasan perdamaian termasuk bergerak dalam resolusi konflik yang terjadi di belahan dunia. Kalau menebar perdamaian itu merupakan bentuk aksi radikal maka juru damai atau tokoh dunia yang mendapatkan nobel perdamaian di belahan bumi ini adalah radikal.  

Prof. Din adalah tokoh yang sangat moderat yang dimiliki Indonesia bahkan dunia Islam. Beliau sosok cendekiawan yang memiliki basis keilmuan yang matang, wawasan luas dan lebih paham perihal isu-isu radikalisme juga ekstremisme. Beliau akademisi sekaligus guru besar di Unibersitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Muhammadiyah tak keliru bila pernah mendaulatinya sebagai Ketua Umum. Beliau menjabat sebagai Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah periode 2005-2010 dan 2010-2015. Pada periode kepemimpinan beliaulah narasi moderasi Islam begitu kencang disuarakan. Bahkan Islam Berkemajuan yang kini menjadi tagline Muhammadiyah dielaborasi secara konseptual pada era kepemimpinan beliau. 

Sikap kritis tokoh kelahiran Sumbawa-NTB pada 31 Agustus 1958 dalam mengkritisi jalannya pemerintahan beberapa tahun terakhir merupakan wujud nyata betapa beliau sangat mencintai negeri ini. Beliau tidak ingin berjalannya pemerintahan malah keluar dari relnya. Negara tak boleh pincang gegara elite salah urus negara. Negara tidak boleh ribut gegara politisi sibuk berbagi kue kekuasaan lalu melupakan mandat rakyat. Jangan sampai kepentingan bangsa dan negara yang lebih besar malah ditepikan gegera mereka yang mendapat mandat malah sibuk memperkaya diri dan kelompok. 

Sebagai seorang cendekiawan Prof. Din bukan saja punya tanggung jawab moral dan intelektual tapi juga kewajiban hakiki sebagai warga negara bagi penentuan maju atau mundurnya bangsa dan negera ini. Tokoh seperti Prof. Din yang memiliki pengalaman dalam berbagai organisasi layak didengar oleh siapapun. Terutama oleh mereka yang sedang menjabat pada lembaga negara. Mereka tak boleh abai pada kritik. Sebab pada saat mereka abai pada kritik itu pertanda mereka menepikan denyut nadi dan suara terdalam masyarakat luas. Bahkan kritik adalah ciri penting masyarakat dan bangsa yang beradab. 

Kritik yang disampaikan oleh Prof. Din dalam banyak aspek permasalahan bangsa pun masih dalam koridor yang absah bukan provokasi dan bukan antipati pada negara. Para pejabat negara, berbagai tokoh dan siapapun yang waras pasti menghormati sikap Prof. Din. Dan faktanya tokoh-tokoh nasional bahkan tokoh dunia pun menempatkan Prof. Din sebagai sosok yang moderat, penuh ide dan mencintai Indonesia lebih dari yang dimiliki kebanyakan orang. Sekadar contoh, Prof. Mahfud MD yang menjabat sebagai Menkoplhukam pun mengapresiasi sikap Prof. Din selama ini. "Prof. Din Syamsuddin adalah tokoh yang saya kagumi. Kritikannya selama ini masih dalam koridor dan layak didengar", ungkap Mahfud. 

Bila GAR masih memiliki saldo nalar dan intelektualitas, maka tak mungkin melakukan "penghakiman" secara dangkal pada Prof. Din. Meragukan kecintaan Prof. Din pada Indonesia sama saja dengan meragukan kecintaan Muhammadiyah bagi Indonesia. Memang GAR sudah melakukan apa bagi kemajuan Indonesia? Muhammadiyah, dimana Prof. Din pernah memimpin sudah membangun 180-an lebih kampus, ratusan rumah sakit dan klinik, ribuan sekolah dan sebagainya. Langkah dan tindakan ril Muhammadiyah dalam membenahi sektor ekonomi, pendidikan, kesehatan dan kebudayaan sudah tak bisa dihitung. Termasuk dalam penanggulangan bencana non-alam: Covid-19. 

Lalu, mengapa GAR seperti kekanak-kanakan dan tak memahami ciri khas demokrasi yang sudah diajarkan sejak anak-anak? Saya malah ragu bila GAR ini alumni ITB. Organisasi tanpa bentuk semacam ini memang kerap dipakai oleh kepentingan tertentu demi mencapai tujuan tertentu. Selain tidak punya rekam jejak pada advokasi publik dan peran sosial yang ril, GAR juga terkesan hanya numpang pamer pada nama ITB. ITB kampus besar, namun didompleng namanya oleh sekelompok orang yang malas baca hingga terlihat nalarnya tumpul. Bila saya alumni ITB, saya sangat malu bahkan marah bila nama almamater saya dipakai oleh sekelompok orang demi agenda politik rendahan. Kampus negeri malah dilecehkan oleh kelompok yang tak punya jasa apa-apa bagi negeri. Naif dan menjijikkan! 

Saya menduga kelompok semacam itu bukan alumni ITB yang kepanjangannya Institut Teknologi Bandung, tapi sekelompok orang yang masih ITB yang kepanjangannya Institusi Tanpa Bentuk. Mereka ini semacam kelompok yang tak laku dan tak bisa manggung di pentas politik negara termasuk di berbagai level kelembagaan di ITB. Mereka pun mencari panggung yang kira-kira bisa dimanfaatkan. Selain memakai label ITB mereka juga memanfaatkan ketokohan Prof. Din untuk mendompleng kelompok mereka. Intinya, mencari panggung dan ingin menjadi tema berita. Namanya gila panggung pasti melakukan apa saja, termasuk dengan menggunakan pola norak dan konyol.  

Selebihnya, kelompok semacam ini terlalu percaya diri tapi naif bila berhadap-hadapan dengan Prof. Din. Sebab Prof. Din ini bukan tokoh kemarin sore, beliau sudah lama bergulat pada isu-isu nasional juga internasional. Beliau bukan dibentuk oleh organisasi Institusi Tanpa Bentuk, tapi dilahirkan dari rahim ormas Islam terkaya dan terbesar di dunia, Muhammadiyah. Beliau juga bukan tokoh moderat yang sekadar label stempel, tapi beliau adalah moderat dari pikiran, ide dan tindakan. Untuk kelompok GAR yang kekanak-kanakan dan tidak jelas rahim organisasinya, silahkan ke laut saja. Mandi yang rajin sembari baca buku di pinggir pantai, agar memiliki saldo nalar yang lebih waras dan tidak terlihat bebal. Kalau tidak mau juga, silahkan terus mencari panggung agar akal dan nalar semakin tumpul. (*)


* Oleh: Syamsudin Kadir, Penulis buku "Membaca Politik Dari Titik Nol" 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sejarah Perkembangan Pendidikan Luar Sekolah

Langkah dan Teknik Konseling Kelompok