Berkata Benar itu Berat dan Pahit
SEORANG teman pernah memberi nasehat kepada saya begini, "Mengingatkan orang lain pada kebenaran, agar taat azas, supaya berpijak pada hukum dan aturan yang berlaku itu memang berat dan pahit. Bahkan mungkin sangat berat dan pahit." Ya, apa yang teman saya sampaikan benar adanya. Kadang kritik, nasehat dan memberi peringatan pada kebenaran itu dianggap sok suci, difitnah antipati, dinilai tak paham dan kampungan, bahkan dihukumi sebagai orang bodoh. Saya sendiri merasakan atau mengalami hal semacam itu. Bukan sekali, tapi berkali-kali.
Sekadar contoh, saya sering kali mengingatkan politisi, pejabat, dan sebagainya lewat komunikasi langsung, lewat media sosial, dan lewat tulisan di berbagai surat kabar. Saya juga share pendapat tentang berbagai tindakan mereka yang diduga bisa melanggar hukum dan berdampak buruk bagi diri mereka selanjutnya. Saya malah memperoleh apa yang saya sampaikan di awal tadi. Malah ada yang bilang saya gila dan sakit jiwa. Astaghfirullah...
Kadang dada ini nyesak. Bukan karena sakit, tapi karena selalu terngiang betapa niat dan tujuan baik tak selalu dianggap baik. Padahal saya hampir jarang menyebut nama orang dalam merespon kasus dugaan maupun bila masuk kategori pelanggaran hukum. Kecuali pada kasus hukum yang sudah jelas disebut oleh berbagai pihak berwenang dan media massa. Secara umum saya hanya menyebut kasus, bukan menyebut nama. Sebab saya tahu juga dampak hukumnya. Ini memang berkilah, namun begitulah cara paling sederhana mengingatkan orang agar taat hukum yang aman dari delik hukum.
Ada banyak orang yang saya kenal, mereka adalah orang-orang hebat. Ada politisi, pejabat dan tokoh berpengaruh. Intinya mereka orang yang secara pengetahuan sudah mumpuni. Mereka bahkan paham hukum, paham agama dan paham segala hal. Secara sosial mereka dikenal sebagai tokoh penting, punya karir yang tergolong bagus, dan punya pengalaman pendidikan yang bisa dibilang cukup berkelas. Singkatnya, mereka punya nama besar di ruang publik, terutama di jalur profesi mereka masing-masing. Saya pun termasuk yang haru dan bangga kepada mereka.
Kadang ada beberapa teman yang menegur saya. Ada juga para pendukung mereka atau para pejabat itu yang menyampaikan berbagai ungkapan begini, "Mas, jangan terlalu kencang!", "Pak, jangan terus-terusan menasehati pejabat anu!", "Bro, jangan sok sucilah. Kaya engga pernah korupsi saja!", "Jangan fitnah ini itu!". Dan masih banyak ungkapan lainnya yang bila tulis bakal tidak cukup pada satu halaman. Saya kadang berpikir demikian juga. Saya merasa apa yang saya lakukan malah kurang baik bagi hubungan baik saya dengan mereka.
Namun nurani saya selalu terpanggil dan bersuara begini, "Lebih mengingatkan terus menerus, agar para pejabat yang saya kenal itu tidak terjebak kasus hukum, daripada mendiamkan malah nantinya tersangkut benaran. Mungkin sebelum kena Operasi Tangkap Tangan alias OTT penegak hukum mereka bakal marah pada saya. Atau membenci dan menghina saya. Tapi pas nanti mereka kena OTT, baru berterima kasih karena ternyata selama ini saya yang orang kampung dan masih bodoh ini sudah mengingatkan."
Jujur saja, ada beberapa politisi dan pejabat yang pernah saya ingatkan perihal kasus tertentu. Tapi saya malah dianggap sok tahu, sok suci dan ungkapan yang intinya merendahkan. Bahkan ada politisi dan pejabat yang memutuskan hubungan pertemanan dengan akun facebook saya. Memblokir nomor WhatsApp saya. Intinya seperti menghindar dan antipati. Bahkan kadang melecehkan dan merendahkan saya. Begitulah nasib saya yang berasal atau asli kampung Cereng di Desa Golo Sengang, Kecamatan Sano Nggoang, Kabupaten Manggarai Barat-NTT. Kampung saya pun dari dulu hingga kini masih belum tersentuh listrik PLN, air PDAM dan jalan raya beraspal.
Padahal saya benar-benar tidak ada kepentingan apa-apa. Tidak ada tujuan buruk juga. Benar-benar demi kebaikan semua orang yang memang rerata saya kenal. Sekadar mengingatkan sesama, terutama mereka yang punya jabatan penting, agar tidak terkait kasus hukum. Sebab dampak buruknya panjang dan banyak. Bukan saja malu tapi juga membuat orang terdekat dan keluarga menanggung rasa malu. Apalah lagi di era media sosial seperti saat ini, siapapun yang pernah dekat dengan mereka yang tersangkut hukum bakal dinilai tersangkut juga.
Begitulah faktanya. Berkata benar itu benar-benar berat dan pahit. Niat baik dan tujuan baik kadang dianggap sebagai tindakan bodoh, wujud kepengecutan dan laku sok suci. Apa yang saya sampaikan ini bukan sekadar cerita orang luar di sana, tapi benar-benar saya alami. Saya sering membuat tulisan pendek ke orang-orang yang saya kenal, terutama politisi dan pejabat. Biasanya bila saya sudah mencium ada tingkah yang melenceng, saya sampaikan nasehat dalam bentuk tulisan pendek.
Untung dulu ada pejabat yang saya kirimkan surat khusus. Karena saya tahu orangnya baik dan kebijakannya cukup dirasakan oleh masyarakat. Namun ada isu yang bersumber dari "angin lewat" bahwa yang bersangkutan bermain anggaran kurang dari Rp 100 juta. Saya pun membuat surat khusus. Intinya, sekadar mengingatkan agar hati-hati. Sebagai yunior saya tentu sangat manusiawi mengingatkan senior saya agar tidak bermain-main dengan anggaran secara nakal. Belakangan saya tahu bahwa surat saya dia baca. Bahkan menyampaikan terima kasih.
Eh ternyata benar, 6 bulan, bahkan belum sampai 6 bulan setelah surat itu, sang pejabat sudah kena kasus hukum. Penangkapannya pun tragis dan benar-benar saya kaget. Ternyata isu yang saya dengar beberapa bulan silam nyata adanya. Surat yang saya buat itu maksudnya agar sang pejabat lebih hati-hati. Jangan tergiur dengan bisikan orang terdekat yang terasa manis padahal sedang menjebak tanpa sadar. Mungkin mereka yang akrab dengan sang pejabat ingin mendapat pundi tertentu dengan banyak memuji sang pejabat. Ujungnya malah kena getahnya. Intinya, pembisik yang busuk bakal menyimpan tujuan busuk, walaupun terlihat baik atau pura-pura baik.
Itu baru satu pengalaman. Sebetulnya masih banyak pengalaman saya perihal kritik, masehat dan mengingatkan mereka yang menjabat pada lembaga atau institusi penting. Bukan untuk menakut-nakuti, tapi sekadar mengingatkan orang-orang yang kebanyakan saya kenal. Saya sangat tak ingin mereka tersangkut kasus hukum. Lagian saya bukan siapa-siapa, bukan penegak hukum juga. Hanya rakyat biasa, yang tak punya jejaring pada kekuasaan dan tidak punya embel-embel kepentingan politik. Saya sekadar mengingatkan agar siapapun, terutama yang saya kenal tidak tersangkut kasus hukum. Semuanya karena rasa cinta pada sesama.
Tulisan ini tidak sedang menyinggung siapapun. Saya sekadar mengungkapkan isi hati dan pengalaman selama ini. Sekali lagi, niat baik dan tujuan baik tak selalu dianggap baik. Kebenaran pun bila dihadapkan pada mereka yang biasa melawannya maka ia bakal dianggap kesalahan. Kelak bila tersangkut kasus hukum, baru menyesalnya tiba. Betapa pentingnya mendengar nasehat orang kampung, seberat apapun itu. Ternyata mendengar peringatan orang bodoh itu juga perlu, sepahit apapun itu. Minimal untuk membangun kesadaran pada diri bahwa tidak semua kritik, nasehat dan peringatan itu wujud kebencian. Bisa jadi kritik, nasehat dan peringatan itu karena kecintaan. Ya bisa jadi karena dan dalam cinta. Walau dirasa sangat berat dan pahit. (*)
* Oleh: Syamsudin Kadir, Penulis Buku "Pendidikan Ramadan"
Komentar
Posting Komentar