Wahai Kader PUI, Jadilah Penulis Pejuang!
Pada suatu kesempatan saya diundang untuk menjadi narasumber Pelatihan Kepenulisan oleh sebuah organisasi mahasiswa ekstra kampus di Bima-NTB, yaitu Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI). Acara yang diselenggarakan secara online ini bertema "Biarkan Kata Bicara!" dengan dua materi pendalaman yaitu "Menuangkan Ide Menjadi Tulisan" dan "Teknik dan Praktik Menulis Opini". Dua materi ini sebetulnya bisa dibaca sendiri oleh peserta atau oleh siapapun di media online. Kita tinggal mengetik kata kuncinya, seketika tulisan serupa langsung muncul. Memperolehnya pun begitu mudah bahkan sangat mudah!
Untuk itu, melalui tulisan ini saya hanya berbagi semangat dan motivasi kepenulisan. Hitung-hitung sembari menyemangati diri saya sendiri agar semangat menulis masih terjaga. Pertama, menulis itu praktik. Ya, menulis adalah kata kerja yang meniscayakan tindakan atau praktik. Itu menandakan, menulis tak mesti menanti pelatihan dan acara serupanya, sebab pelatihan itu tak berarti apa-apa bila tak ada praktik. Pelatihan kepenulisan diadakan jutaan kali pun, kalau tak mulai praktik maka tak akan pernah ada tulisan. Maka pelatihan menulis yang paling baik adalah langsung praktik.
Kedua, menulis itu mencicil. Sependek apapun tulisan pasti merupakan hasil dari mencicil tulisan. Apalah lagi tulisan dalam bentuk artikel bahkan buku, itu pasti kumpulan tulisan yang dicicil dalam waktu tertentu. Coba perhatikan, satu buku itu terdiri dari sekian halaman sub judul. Per judul terdiri beberapa paragraf kalimat dan beberapa paragraf berawal dari satu paragraf. Kemudian, satu paragraf adalah gabungan kalimat, sementara kalimat utuh terdiri dari beberapa kata. Dan, beberapa kata berasal dari satu kata. Lalu, satu kata terdiri beberapa huruf. Lalu, ini yang perlu diperhatikan: Huruf tertulis karena ditulis, bukan didiamkan saja di dalam hati atau pikiran.
Ketiga, menulis itu mesti dibangun dari dalam diri. Niat dan tekad yang kuat untuk menulis hingga memiliki karya tulis perlu dibangun dengan segala cara. Sebab selama abjad yang kita hafal hanya ada dalam pikiran dan hafalan, sampai kiamat pun tidak akan menjadi tulisan manakala tak ditulis. Cara paling sederhana agar niat dan tekad untuk menulis terus terjaga bahkan semakin menggelora adalah membuat target yang tertulis. Misal, menulis setiap hari minimal 3 paragraf. Terus begitu, hingga nanti menjadi satu tulisan utuh, seperti artikel atau tulisan lainnya.
Keempat, menulis itu senjata perjuangan. Sebagai muslim kita mestinya risih dan tertampar oleh non muslim yang begitu bersemangat untuk menulis, padahal mereka tidak membaca surat al-Alaq 1-5 yang menjadi spirit tradisi literasi dalam Islam tersebut. Pertanyaan mendasar yang mesti kita jawab dengan jujur yaitu, "Mengapa masih meremehkan ayat itu dengan malas menulis atau tidak menekuninya, atau menjadikannya sebagai spirit dalam membangun sekaligus memajukan tradisi literasi?"
Wajar bila konten media selalu didominasi bahkan dikuasi oleh orang lain di luar sana. Karena aktivis muslim sekadar menonton dan tak tergerak hati sekaligus jarinya untuk melakukan jihad literasi. Padahal di era perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang semakin geliat ini hadirnya penulis muslim adalah kebutuhan mendesak. Apalah lagi media ada depan mata bahkan ada di tangan kita, menulis adalah kewajiban yang tak bisa ditawar-tawar lagi. Kalau bukan kita, siapa lagi? Kalau bukan sekarang, kapan lagi?
Ada begitu banyak media koran dan majalah yang menanti tulisan kita. Media online pun sudah tak terhitung jumlahnya. Mereka butuh konten sebagai pemantik daya tarik media mereka. Konten atau tulisan merupakan karya penulis yang mau menulis. Tentu bukan sekadar mau, tapi benar-benar langsung praktik menulis. Dan penulis itu mestinya aktivis muslim seperti kader-kader muda Persatuan Ummat Islam (PUI). Tapi apakah hal semacam itu menggugah kesadaran dan menggerakkan para kader PUI? Saya tidak tahu, mesti dengan cara apa lagi memotivasi kader PUI agar mereka tertarik untuk menggeluti dunia literasi terutama kepenulisan.
Coba perhatikan bagaimana para ulama terdahulu membangun gerakan tradisi literasi. Imam Syafi'i sukses menulis kitab al-Umm dan ar-Risalah, Imam Malik menulis kitab al-Muwatho', Imam Bukhari menulis kitab Shahih Bukhari, Imam Muslim menulis kitab Shahih Muslim, dan sebagainya. Para pejuang muslim setelah mereka atau generasi pelanjut mereka juga menulis berbagai kitab atau buku. Pendiri Ormas PUI yaitu KH. Abdul Halim dan KH. Ahmad Sanusi adalah ulama dan negarawan ulung sekaligus penulis handal. Karyanya banyak dan monumental, dibaca oleh berbagai kalangan beragam latar belakang.
Bukan itu saja, tokoh-tokoh penting negeri ini juga adalah para cendekiawan hebat sekaligus penulis produktif. Bung Karno, Bung Hatta, Pak Agus Salim, Pak Mohammad Natsir dan Buya Hamka adalah pemikir kebangsaan yang jago berpidato juga apik menulis. Karya mereka dibaca dan dikaji di berbagai negara dan dijadikan rujukan untuk beragam pergulatan keumatan dan kenegaraan. Itu menandakan bahwa jembatan paling kuat untuk melanggengkan kokohnya sebuah bangsa adalah tulisan, ya dibangun dari tradisi literasi.
Namun menulis dalam konteks ini bukan sekadar menulis, tapi menulis sesuatu yang berdampak positif dan memotivasi generasi lintas generasi agar terus melakukan aksi-aksi kebaikan bagi kemajuan umat dan bangsa. Menulis pun bukan sekadar memenuhi berbagai halaman file naskah tapi berbagi pikiran-pikiran jenial yang menggerakkan. Menulis pun benar-benar menjadi media sekaligus senjata perjuangan. Bila peluru hanya menembus satu orang, maka tulisan bisa menembus hati dan pikiran jutaan orang bahkan lintas zaman. Untuk itu, bangunlah tradisi kepenulisan dengan totalitas, bukan sekadar sampingan atau sambilan. Singkatnya, jadilah penulis pejuang! (*)
* Oleh: Syamsudin Kadir, Penulis Buku "Persatuan Ummat Islam; Ide, Narasi dan Kontribusi untuk Umat dan Bangsa"
Komentar
Posting Komentar