Menumbangkan Rezim Joko Widodo
Pilpres sendiri dinilai sebagai momentum untuk mengevaluasi seluruh perjalanan pemerintahan selama lima bahkan sepuluh tahun terakhir. Bila rezim yang berkuasa dianggap gagal menjalankan mandat maka pada pilpres kali ini adalah momentum terbaik untuk menghukumnya. Sebab, dalam skema politik yang masih mencari bentukan semacam ini, rakyat terutama pemilih hanya memiliki satu instrumen untuk melawan setiap ketidakadilan rezim penguasa, yaitu di tempat pemungutan suara atau TPS. Selebihnya adalah doa di hadapan Allah, Tuhan Yang Maha Kuasa.
Bila menelisik rezim Joko Widodo (Jokowi) dari jarak dekat, maka harus jujur kita katakan bahwa rezim Jokowi merupakan satu rezim yang memiliki catatan hitam yang memalukan. Jokowi dinilai tak menampilkan kepemimpinan yang adil dan tegas, karena terkesan disandera oleh kepentingan oligarki dan agenda politik yang kolutif dan nepotis. Jokowi tidak mencerminkan pemimpin yang peduli dan simpati, karena terjebak pada pusaran politik basa basi dan pencitraan. Jokowi yang terlihat "ndeso" ternyata jauh panggang dari api. Ulasan berikut melengkapi penjelasan terkait buruknya kepemimpinan Jokowi.
Pertama, ingkar janji. Jokowi adalah presiden yang jago menebar janji. Dulu ia pernah mengatakan tidak akan mengakomodasi ketua partai politik dalam kabinet, tapi nyatanya Ketua Umum Golkar (Erlangga Hartarto), Ketua Umum Gerindra (Prabowo Subiyanto), Ketua Umum PAN (Zulkifli Hasan) dan sebagainya diakomodir dan diberi jabatan sebagai menteri untuk bidang yang berbeda. Jokowi juga berjanji tidak akan impor beras, faktanya melakukan impor beras. Bahkan berjanji akan membentuk pengadilan HAM untuk kasus pelanggaran HAM 1998, tapi nyatanya tidak terwujud. Jokowi menjadi terhukum oleh janji dirinya sendiri.
Kedua, minus etika dan moral. Beberapa waktu lalu para guru besar lintas perguruan tinggi mengkritik Jokowi yang terkesan pongah dan ugal-ugalan dalam berucap dan bersikap di tengah situasi politik pemilu terutama pilpres 2024. Jokowi ditengarai berpihak dan mendukung salah satu pasangan calon dimana anaknya Gibran Rakabuming Raka turut menjadi peserta kontestasi. Jokowi terkesan membiarkan pelanggaran etik di Mahkamah Konstitusi dan KPU yang memuluskan pencalonan anaknya Gibran Rakabuming Raka sebagai calon wakil presiden pilpres 2024. Bayangkan, dua lembaga negara yang ditabrak demi melanggengkan politik keluarga Jokowi.
Ketiga, menghidupkan politik dinasti. Jokowi merupakan sosok pemimpin yang sangat telanjang menghidupkan politik dinasti. Hal ini sangat terang saat membiarkan anaknya, Gibran Rakabuming Raka, maju sebagai peserta kontestasi pilpres 2024 ini. Pada saat yang sama ia membiarkan anaknya yang lain, Kaesang, memimpin sebuah partai politik tanpa mengikuti proses kaderisasi partai secara matang. Bila Jokowi seorang teladan kebaikan, mestinya mengingatkan anaknya agar menghormati proses bukan terjebak aksi politik "mentang-mentang" anak presiden. Di sini yang berlaku bukan sekadar norma politik tapi juga etika politik. Namun Jokowi gagal menjalankan itu dengan baik, demi melanggengkan politik keluarga.
Keempat, pro oligarki. Jokowi merupakan model pemimpin yang terlihat merakyat tapi membelakangi rakyat. Ia lebih jago mengakomodir kepentingan oligarki daripada kepentingan rakyat. Hal ini terlihat jelas pada kasus UU Cipta Kerja dan UU IKN. Di sini Jokowi tidak menghiraukan suara kritik dan masukan dari para ahli dan elemen rakyat. Padahal kita tahu betul betapa besar anggaran yang dihabiskan untuk menghadirkan sebuah ibukota baru. Di tengah kondisi ekonomi rakyat yang begitu sulit, Jokowi justru membangun istana rezim yang tidak berdampak baik bagi rakyat dan bagi pembangunan yang berkeadilan.
Keempat, menambah utang negara. Diantara dosa besar Jokowi yang paling memalukan adalah utang negara yang semakin besar. Angkanya sangat fantastis Rp 7.879 triliun, per Maret 2023. Artinya setiap kepala rakyat Indonesia menanggung utang rerata Rp28,7 juta, naik dari posisi terakhir pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang hanya Rp 10 juta per kepala. Utang sebesar itu tidak sebanding dengan pembangunan dan kesejahteraan rakyat di berbagai daerah atau kota di seluruh Indonesia.
Pada banyak kesempatan Jokowi mengatakan pertumbuhan ekonomi baik, namun faktanya angka kemiskinan masih saja besar. Naifnya, gaji pejabat negara dan berbagai BUMN semakin besar, sementara kondisi pendidikan, kesehatan dan ekonomi rakyat jauh dari ideal. Bahkan beberapa BUMN malah rugi alias gagal menjadi darah keuangan negara, ditambah utang yang juga membengkak. Sehingga sangat wajar bila rakyat merasa pemerintahan Jokowi tidak menghasilkan keadilan bagi semua, malah menumpuk sekaligus menimbulkan masalah-masalah baru.
Kita harus akui bahwa pemerintahan Jokowi akan tercatat dalam sejarah sebagai rezim paling doyan utang dengan capaian nominal utang paling besar dalam perjalanan bangsa Indonesia. Kondisi ini tentu tidak boleh dibiarkan begitu saja. Selain terus melakukan suara kritik dan koreksi atas kepemimpinan Jokowi, hal lain yang bisa kita lakukan adalah mengakhiri rezim Jokowi dengan menghukumnya di TPS pada pilpres 14 Februari 2024. Kita sebagai pemilih harus memastikan penyokong utama rezim dan dinasti Jokowi tidak dipilih alias kalah. Itulah yang membuat rezim Jokowi yang terkesan ugal-ugalan ini tumbang. (*)
* Oleh: Syamsudin Kadir, Penulis Buku "Membaca Politik Dari Titik Nol"
Komentar
Posting Komentar