Pilpres 2024 dan Etika Kekuasaan


Pemilihan Umum Presiden (pilpres) terbesar dalam sejarah perjalanan politik Indonesia berlangsung pada Rabu 14 Februari 2024. Pilpres kali ini diikuti oleh tiga pasangan calon yaitu (1) Anies Baswedan - Muhaimin Iskandar (pasangan AMIN), (2) Prabowo Subiyanto - Gibran Rakabuming Raka, dan (3) Ganjar Pranowo - Mahfud MD. Tiga paslon ini akan memperebutkan oleh sekira 204 juta pemilih dari sekitar 280 juta penduduk Indonesia. Paslon terpilih kelak bakal menanggung beban tanggung jawab besar dalam menjalankan pembangunan nasional untuk bangsa dan negara yang lebih maju. 

Salah satu tema yang mengemuka dalam dinamika politik terutama berkaitan dengan pilpres 2024 adalah pelanggaran etik. Kasus pertama adalah pelanggaran etik yang dilakukan oleh ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman. Karena itu, Mahkamah Kehormatan MK (MKMK) pimpinan Prof. Jimly Asshiddiqie pun memutuskan untuk memberhentikan paman Gibran itu dari posisinya sebagai ketua MK. Kasus kedua adalah pelanggaran etik yang dilakukan oleh ketua KPU dan enam komisioner lainnya karena menerima pendaftaran Gibran sebagai calon wakil presiden tanpa mengindahkan aturan. 


Kedua kasus ini mendapat respon bahkan tentangan dari berbagai kalangan, terutama kalangan perguruan tinggi. Bahkan belakangan ini ratusan guru besar dari berbagai perguruan tinggi menyampaikan kritik dan nasehat pada presiden Joko Widodo untuk kembali pada jalan yang benar, terutama etika dan moral politik. Berbagai organisasi mahasiswa lintas perguruan tinggi dan daerah juga menyampaikan keresahan mereka pada rezim Jokowi yang dinilai telah merusak fatsun politik kenegarawanan. Dalam konteks pilpres 2024, Jokowi dinilai berpihak dan kehilangan sikap kenegarawanan.  

Dalam pandangan Prof. Frans Magnis Suseno, seorang agamawan dan pemikir kebangsaan, mengatakan bahwa presiden Jokowi mestinya menjaga stabilitas politik nasional dengan memperhatikan ucapan dan sikapnya di tengah pra kontestasi pilpres. Menurut ilmuan kelahiran Jerman ini, sebagai kepala negara sekaligus kepala pemerintahan, Jokowi mesti menjaga etika politik dan sikap kenegarawanannya. Ia tidak boleh berucap dan bersikap yang menimbulkan keresahan publik yang berdampak pada terganggunya stabilitas nasional yang mengarah pada kerusuhan massal. 

Para guru besar dari berbagai perguruan tinggi pun sudah mengingatkan agar Jokowi menahan dari dari pernyataan dan sikap politik yang menimbulkan ketidakpercayaan masyarakat luas pada presiden sebagai kepala negara sekaligus kepala pemerintahan. Bagi para guru besar, Jokowi sering mengucapkan pernyataan blunder dan menimbulkan keresahan bahkan ketidakpercayaan masyarakat pada pemerintah. Namun pada kenyataannya, Jokowi tetap kerap melakukan blunder dan terkesan enggan mendengar alias menutup telinga dari berbagai kritik. Bahkan kritik dari akademisi dan mahasiswa dituduh sebagai tindakan partisan dan politis. Sebuah tuduhan yang justru menimbulkan keresahan baru di tengah masyarakat luas.   

Pada Ahad 11 Februari 2024, saya sempat membaca status Facebook seorang akademisi IAIN Syeikh Nurjati Cirebon, Dr. Didi Junaedi. Pada status Facebooknya beliau menginformasikan sebuah buku karya Prof. Syafi'i Ma'arif yang berjudul "Mencari Autentisitas dalam Dinamika Zaman". Saya sendiri merasa tertarik dan penasaran dengan informasi dari sosok akademisi yang aktif menulis buku dan artikel tersebut. Bagaimana pun, tokoh Muhammadiyah yang akrab disapa Buya Syafi'i itu adalah tokoh kebanggaan yang memiliki konsen pada isu-isu kepemimpinan, moralitas dan dinamika kebangsaan. Sehingga perspektifnya layak dibaca dan dijadikan panduan dalam memandang setiap dinamika kebangsaan dalam beragam isunya. 

Pada halaman 111 buku tersebut terdapat tulisan berjudul "Etika Qur'ani dalam Berpolitik", sebuah ulasan yang relevan dengan kondisi politik belakangan ini. Sehingga kita terutama para elite dan politisi semakin tersadarkan dan berbenah diri dari berbagai ucap dan tindak tanduk yang tak pantas. Di sini saya kutipkan potongan ulasan beliau pada buku tersebut. "Sistem kekuasaan yang terlepas dalam bingkai moral cenderung merusak dan menghalalkan segala cara, sebab nafsu manusia untuk berkuasa  atau mempertahankan kekuasaan nyaris tanpa batas. Apabila perlu, seorang penguasa akan berbuat apa saja, terpuji atau tercela, demi kekuasaan."

Buya Syafi'i menegaskan betapa pentingnya etika dan moral dalam kekuasaan. Kekuasaan yang terlepas dari moralitas pada umumnya cenderung merusak dan menghalalkan segala cara. Menurutnya, bila manusia mengikuti nafsunya maka ia bakal berupaya untuk mempertahankan kekuasaannya dengan segala cara. Hukum dan lembaga hukum pun bakal ditabraknya demi melanggengkan kekuasaan atau kepentingan politik sesaat. Bahkan demi kepentingan politik keluarga ia rela melawan dan merongrong konstitusi dan menjebak para penyelenggara kontestasi untuk kepentingan politik tertentu. 

Dalam politik yang menabrak etika dan hukum, pada umumnya penguasa menepikan nurani yang terdalam. Penguasa semacam ini selalu bertindak dan melangkah dalam bingkai kepentingan kekuasaan diri dan keluarganya. Bagi penguasa yang menepikan etika dan moral menempatkan sekaligus memposisikan orang berdasarkan kepentingannya saja. Ia berkawan pada saat ia membutuhkannya. Bila tak membutuhkan, ia pun rela menjadikan kawan sebagai musuh atau lawan. Hal ini sesuai dengan adigium mashur, "Dalam politik tak ada kawan dan lawan abadi, yang abadi hanyalah kepentingan". 

Penguasa yang menepikan etika dan moral pasti berkawan dengan siapapun sesuai kepentingannya saja. Bila menguntungkan, maka ia berkawan. Namun bila merugikan, maka ia bakal tak berkawan bahkan melupakan mereka yang menjadi pengusungnya demi kepentingan keluarganya. "Kekuasaan yang terlepas dari kendali moral tidak punya kawan dan lawan abadi. Semuanya sangat tergantung pada terjamin tidaknya kepentingan. Seseorang akan menjadi kawan apabila kepentingan kita tidak diganggunya. Apabila terganggu, seseorang itu mendadak akan menjadi musuh," ungkap Buya Syafi'i pada halaman 111 buku tersebut. 

Apa yang diungkap oleh mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah tersebut sangat sesuai dengan fenomena kekuasaan akhir-akhir ini. Menurut para guru besar dan mahasiswa lintas organisasi, presiden Jokowi telah melakukan pembiaran bahkan terkesan turut melakukan pelanggaran etik yang berbahaya bagi kebutuhan bangsa. Jokowi dinilai bukan saja menepikan etika kekuasaan tapi sudah melakukan aksi nepotis yang bertentangan dengan konstitusi dan beberapa UU yang berlaku. Sehingga tak sedikit yang menyuarakan pemakzulan, karena Jokowi dianggap sudah melampaui batas.  

Dalam rangka menjaga stabilitas nasional dan berlangsungnya pilpres 2024 yang jujur dan adil, maka presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan perlu memastikan diri dan birokrasi tidak berpihak alias netral pada pilpres 2024. Presiden dan pejabat pemerintah mesti menjaga etika dan moral jabatan dalam menjalankan mandat rakyat dan tidak meruntuhkan martabatnya dengan aksi politik yang memalukan. Berbagai kasus "intimidasi" yang dilakukan pejabat tertentu demi kepentingan politik kekuasaan yang terjadi di banyak tempat agar dihentikan dan tidak terjadi lagi. Bila tidak maka akan menimbulkan keresahan dan konflik nasional, sehingga tenun kebangsaan bakal ambruk dan tak berbentuk lagi. (*)


Oleh: Syamsudin Kadir, Penulis Buku "Pemuda Negarawan" 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Langkah dan Teknik Konseling Kelompok

Sejarah Perkembangan Pendidikan Luar Sekolah