Anies Baswedan Pemimpin Perubahan
Perubahan di berbagai negara dalam beragam skala selalu terjadi dengan instrumen penentu yaitu tokoh atau pemimpin (leader), ide atau gagasan, massa dan momentum. Pertama, tokoh atau pemimpin. Dalam konteks pilpres 2024 di Indonesia munculnya Anies Baswedan, yang akrab disapa Bang Anies, merupakan tokoh kultural yang secara kultural pula diposisikan sebagai pemimpin perubahan. Ia bukan pengusaha, bukan pula pejabat atau penguasa yang sedang menggunakan seluruh instrumen kekuasaan untuk menjalankan apapun demi kepentingan pribadi dan keluarganya. Ia warga biasa yang mendapat dukungan dan sokongan untuk memimpin perubahan. Ia semakin menemukan otentisitasnya ketika masyarakat di berbagai tempat sudah tidak percaya lagi pada rezim Joko Widodo.
Kedua, ide atau gagasan. Perubahan selalu merupakan ejawantah dari berbagai gagasan yang terus bergemuruh baik saat penguasa disiplin menjalankan mandat rakyat maupun saat ugal-ugalan dalam menjalankan mandat rakyat. Gagasan bukan sekadar apa dan bagaimana gagasan dijalankan tapi juga bagaimana seharusnya gagasan itu menjadi instrumen penguasa dalam menjalankan mandat. Bila gagasan yang bernyawa menjaga konstitusi dan pemenuhan janji politik diingkari maka gagasan pun hadir begitu rupa sebagai alternatif. Penguasa yang serakah dan terjebak pada KKN maka gagasan anti KKN, dalam konteks saat ini gagasan perubahan, menjadi relevan. Perubahan adalah proses apik menjalankan gagasan-gagasan yang dimiliki.
Ketiga, massa. Massa adalah sekumpulan elemen yang berada di banyak tempat dan berasal dari beragam latar belakang namun memiliki kepentingan yang sama atau serupa. Dalam konteks Indonesia belakangan ini kepentingan itu adalah perubahan itu sendiri. Kondisi ekonomi masyarakat yang mengkhawatirkan, penegakan hukum yang tumpul ke atas dan tajam ke bawah, kemiskinan yang dimobilisasi dalam bentuk pembagian bansos yang tidak tepat sasaran, utang negara yang meninggi namun tidak diiringi kesejahteraan masyarakat yang merata, dan penguasa yang terkesan bermain bahkan menabrak konstitusi demi kepentingan politik sesaat merupakan biang yang menggerakkan nurani massa untuk melakukan perlawanan. Bila nurani berbicara maka massa bakal menjadi gelombang besar yang tak bisa dilawan oleh siapapun, termasuk penguasa yang menghegemoni.
Keempat, momentum. Dalam banyak sejarah berbagai negara di dunia, perubahan tidak saja menyangkut tokoh, ide dan massa yang begitu solid, tapi juga momentum. Rezim Orde Baru adalah salah satu rezim yang sangat kuat dan tangguh dalam perjalanan sejarah kekuasaan di Indonesia. Namun keberanian berbagai elemen masyarakat untuk melawan selama sekian dekade membuat rezim yang akrab dengan mantra "pembangunan" itu runtuh juga. Soeharto sebagai simbol kepemimpinan Orde Baru pun benar-benar jatuh pada 20 Mei 1998 dan tidak bisa berkutik kembali.
Kondisi yang tak menentu saat itu benar-benar membuat masyarakat diliputi penderitaan, bukan saja pada aspek ekonomi bahkan pada aspek pendidikan dan sosial. Kerawanan sosial yang diliputi rasa takut pun menggerakkan nurani kaum akademisi untuk bersuara lantang bahkan memimpin perlawanan. Ya, setelah bersabar selama sekian waktu, berbagai kalangan lintas latar belakang melakukan perlawanan dan tak memberi satu kata pun pada Soeharto untuk menyampaikan hak jawab. Sebab mereka paham betul bahwa rezim yang pongah bila pun diberi waktu tetap saja tidak akan mampu memberi jawaban kecuali sekadar membela diri.
Akhir-akhir ini gejala pra reformasi sudah mulai terasa. Penguasa yang ugal-ugalan, penegak hukum yang tak adil, kesejahteraan yang hanya manis di janji politik, lapangan kerja yang nihil, dan berbagai praktik KKN yang terkesan dipelihara serta pengelolaan usaha milik negara dipenuhi intrik politik sebagai aksi politik balas budi, telah memantik kesadaran kolektif anak bangsa untuk menyampaikan koreksi dan intrupsi. Beberapa hari belakangan ini misalnya kita menyaksikan beberapa perguruan tinggi seperti UGM, UII, UI, UNPAD, Unad, Unhas, UMY, Unisba dan perguruan tinggi lainnya, termasuk organisasi mahasiswa lintas perguruan tinggi dan beragam organisasi, melakukan koreksi atas kepemimpinan Joko Widodo yang telah jauh dari kepantasan, menabrak konstitusi dan menepi dari nalar sehat.
Hadirnya Bang Anies pada momentum ini merupakan angin segar sekaligus kabar gembira bagi seluruh masyarakat dan tumpah darah Indonesia. Ia hadir di tengah kondisi bangsa yang diliputi berbagai masalah yang semakin rumit dan tak terkendali. Biangnya adalah pemimpin yang ugal-ugalan, di samping utang negara yang terus meningkat, termasuk program pemerintah yang asal-asalan. Ia pun muncul di tengah kegelisahan dan kemarahan masyarakat pada rezim yang dinilai sudah tidak pro rakyat lagi. Di sini ia hadir sebagai penyuluh api perubahan bagi semua, bukan saja bagi pendukung tapi juga bagi mereka yang selama ini kerap dianaktirikan secara ekonomi, politik dan sosial oleh rezim penguasa yang serakah dan nihil kenegarawanan.
Pengalaman Bang Anies dalam memimpin Jakarta periode 2017-2022 dan kompetensinya dalam aspek ide, rekam jejak dan karya juga jejaring telah membuatnya mendapat dukungan masyarakat untuk maju dan menangkan pilpres 14 Februari 2024. Ia muncul di tengah harapan masyarakat akan terjadinya perubahan di segala lini kehidupan masyarakat dan bangsa. Berpasangan dengan Muhaimin Iskandar (Cak Imin) Bang Anies menyatu dalam pasangan nomor urut 01 (pasangan AMIN) yang diusung Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan Partai Nasdem serta dukungan Partai Ummat juga elemen masyarakat beragam latar belakang. Bang Anies pun dipercaya untuk memimpin perubahan wujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia! (*)
* Oleh: Syamsudin Kadir, Penulis 60-an Buku dan Editor Ratusan Buku
Komentar
Posting Komentar