Brisik Di Bilik, Ramai Di Publik


KEHADIRAN media sosial sebagai bagian dari kemajuan sekaligus perkembangan teknologi informasi dan komunikasi beberapa tahun terakhir merupakan sebuah realitas yang tak bisa ditolak. Keberadaannya sudah menjadi kebutuhan baru masyarakat dunia setelah sebelumnya terpesona pada teknologi yang masih dianggap konvensional. Bukan saja sebagai media untuk kepentingan individu masing-masing pemilik akun media sosial, ia juga menjadi media untuk kepentingan yang berkaitan dengan urusan publik. 

Bila kita menengok sejenak ke belakang, pada sekian tahun silam, keberadaan media sosial masih dianggap tak memberi manfaat apa-apa, bahkan masih dianggap sebagai media kesenangan semata. Di samping itu, pada saat itu masih dianggap sebagai media dokumentasi untuk berbagai hal yang sifatnya personal namun layak dipublikasi. Sehingga kala itu kita bisa menyaksikan tulisan, foto dan video yang berisi tentang perjalanan traveling yang konotasinya benar-benar urusan personal. 

Era semacam itu memang tidak seluruhnya selesai. Namun kini perkembangannya semakin berbeda dan menggeliat. Siapapun bisa men-share berbagai hal, baik yang berkaitan dengan urusan individu maupun yang berkaitan dengan urusan publik. Melalui berbagai media sosial seperti YouTube, Instagram, Facebook, WhatsApp dan sebagainya siapapun bisa menyampaikan berbagai hal terkait dengan urusan publik. Misalnya, tak sedikit warga atau masyarakat yang menyampaikan kritik kepada kebijakan pemerintah di berbagai levelnya melalui media sosial. 

Percakapan masyarakat di ruang publik dalam beragam tema dan konteks pun semakin tak terbendung. Berbagai hal diperbincangkan dengan begitu cepat dan nyaris tanpa kendali. Hadirnya media sosial membuat seorang warga biasa akan dengan mudah menjadi terkenal. Hanya dengan konten yang lucu dan unik yang dishare ke berbagai akun media sosialnya, ia pun langsung atau seketika terkenal dan menjadi perbincangan masyarakat luas. Naifnya, tak sedikit pejabat publik yang tulus bekerja untuk masyarakat malah tenggelam begitu saja gegara tak begitu aktif di media sosial. 

Pada saat yang sama, mereka yang kerap ingkar janji namun bermain di media sosial begitu cepat dikenal bahkan dipercaya untuk memimpin kembali. Padahal pada saat mereka memimpin yang dilakukan hanya mengemas pencitraan dengan berbagai startegi manipulasi untuk mendapatkan dukungan masyarakat luas. Proses semacam ini tentu bukan saja menjadi ajang membohongi masyarakat tapi juga diri sendiri atau orang terdekat para pejabat itu. Hal ini tidak saja berlaku di medan politik, tapi juga di medan lain yang dikenal memiliki tarikan uang tak sedikit.

Hal lain yang cukup menarik ketika konten media sosial menjadi rujukan publik dalam mendalami dan memahami sebuah isu yang ramai diperbincangkan di publik. Sebabnya sederhana, selain sederhana dan bisa diakses secara gratis, konten media sosial juga kerap lebih kreatif dan menyentuh kepentingan publik. Kritik seorang komedian atau komika kepada kebijakan pemerintah di level tertentu, misalnya, dengan begitu mudah diperoleh dan dipahami oleh masyarakat awam. Dengan visualisasi dan tulisan apa adanya, suatu isu direspon secara cerdas sehingga menjadi perbincangan publik. 

Bahkan pada level selanjutnya sebagai dampak ikutannya, media massa pun tertarik untuk mengangkat kembali isu semacam itu. Di sini penggiat media sosial mampu menghadirkan energi sekaligus menjadi magnet kalangan media massa seperti surat kabar dan majalah, televisi (TV) untuk mendalami isu tertentu. Walau tak semua konten media sosial berkaitan dengan kepentingan publik, namun kemampuannya dalam menghadirkan konten kreatif menyebabkan media sosial berada pada satu posisi yang tak bisa dianggap remeh dan sepele lagi. Bahkan pada level tertentu, kalangan media massa perlu menjajaki media sosial sebagai bagian tak terpisahkan dari industri media yang ditekuninya selama ini. 

Kehadiran media sosial tidak selalu menjadi hambatan bagi peran dan urgensi media massa, justru media sosial bisa menjadi media baru yang perlu digarap. Pemanfaat media sosial sebagai "lidah" atau sekadar "patner" pemberitaan bisa digeliuti secara serius. Pemanfaatan media sosial sebagai bagian tak terpisahkan dari fungsi dan peran media dalam rangka pencerahan sekaligus pencerdasan publik perlu diinisiasi secara matang, sehingga kehadiran media sosial bukan sekadar sebagai suara brisik di berbagai bilik yang konotasi personal (privat) tapi juga menjadi perbincangan ramai di ranah publik yang lebih luas. 

Beberapa dekade ke belakang media sosial banyak dikuasai oleh Facebook. Akan tetapi, beberapa tahun ini ada banyak ragam media sosial yang menawarkan fitur berbeda. Katakanlah seperti TikTok yang banyak menjadi perhatian khusus untuk mereka yang menyukai lip sync. LinkedIn, media sosial yang diminati oleh para pekerja, dan Twitch, media sosial untuk gamers. Prediksinya tren media sosial 2022 dan selanjutnya akan membuat media sosial yang bersifat niche atau spesifik semakin banyak diminati dan bermunculan. 

Apapun itu, kehadiran media sosial memang memberi dampak dalam banyak aspek kehidupan kita. Satu sisi ia berdampak negatif manakala dimaknai atau diisi dengan hal-hal yang negatif. Sebaliknya, bila dimaknai dan diisi dengan hal-hal yang positif maka ia menjadi media yang positif. Bukan saja untuk kepentingan personal yang bersifat hiburan, tapi juga bisa ditransformasi secara produktif menjadi media publikasi tentang banyak hal yang lebih menarik dan bermanfaat. Di atas segalanya, terima kasih kepada Mas Raswidi Hendra Suwarsa yang telah mengizinkan saya menggunakan diksinya untuk menjadi judul tulisan kali ini. (*)


* Oleh: Syamsudin Kadir, Penulis Buku "Lubang Politik" dan Pengurus DPP Rumah Produktif Indonesia 




Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sejarah Perkembangan Pendidikan Luar Sekolah

Langkah dan Teknik Konseling Kelompok