Tradisi Literasi Mati Suri, Siapa Peduli?


LITERASI dimaknai tidak sekadar sebagai suatu kemampuan untuk membaca dan menulis. Namun, sebagai suatu kemampuan untuk memaknai segala bentuk informasi secara kritis sehingga menghasilkan suatu pemahaman terhadap ilmu pengetahuan dan teknologi yang selalu berkembang dalam kehidupan keseharian kita. Makna literasi seperti ini sejatinya ialah pemahaman yang sangat modern, yakni term literasi menjadi sangat luas searas dengan kebutuhan kehidupan kekinian. Namun demikian, tradisi baca-tulis adalah elemen utama dan kunci dalam tradisi literasi. 

Beberapa kali saya menjadi pemantik pelatihan kepenulisan di organisasi kepemudaan dan mahasiswa non muslim, saya memperhatikan mereka begitu giat dan tekun dalam membangun tradisi literasi. Bukan saja geliat dalam membaca berbagai buku, tapi juga membedahnya hingga tuntas. Mereka mendalami pemikiran tokoh-tokoh mereka. Setelah itu, mereka membuat tulisan atau semacam ulasan tentang para tokoh dan pemikiran tokohnya. Mereka punya ketertarikan untuk mendalami dan mempublikasikannya sebagai upaya pewarisan. 

Belakangan, mereka juga menyusun agenda agar tulisan mereka dimuat di berbagai media massa nasional dan lokal, di samping media online internal organisasi dan eksternal organisasi. Bahkan tak sedikit yang diorbit menjadi jurnalis untuk berbagai media. Mereka juga sangat serius menerbitkan berbagai buku dalam beragam tema. Ada yang langsung menulis buku, ada juga yang berbentuk antologi atau bunga rampai artikel di berbagai media. Sehingga semangat berliterasi di kalangan mereka sangat terasa.  

Saya kadang risih, gelisah dan malu sendiri. Semangat mereka benar-benar menampar saya. Ya menampar jiwa dan akal dungu saya yang masih terjebak oleh penyakit malas atau enggan dengan alasan sibuk, tak ada waktu dan alasan basi lainnya. Termasuk perihal apa yang saya lakukan selama ini seperti menulis dan sebagainya. Saya merasakan tidak ada apa-apanya bila dibandingkan dengan apa yang mereka lakukan. Saya kadang bertanya, mengapa mereka begitu giat dan semangat membangun tradisi literasi? 

Uniknya, mereka mau mengajak saya untuk menjadi narasumber atau sekadar menjadi pemantik diskusi. Materinya juga sederhana: kepenulisan, teknik menulis artikel, menembus media cetak, dan sebagainya. Belakangan saya pun terdorong untuk mengecek tradisi literasi terutama kepenulisan di KAMMI, HMI, IMM, HIMA PUI, dan HIMA Persis. Saya sengaja hadir pada forum ilmiah yang mereka adakan, terutama yang diadakan di zoom meeting dan serupanya. Ternyata dugaan saya benar: sangat kering, nihil dan sangat menyedihkan. Belum ada geliat memajukan tradisi literasi. Mungkin ada beberapa orang yang terjun atau menggeluti, namun tidak diwadahi oleh organisasinya. 

Entah siapa yang salah, apa biangnya dan apa yang mesti dilakukan sebagai obat awal untuk mengobati situasi sakit semacam ini. Sebuah kenyataan yang benar-benar membuat diri ini semakin resah dan malu. Kalaulah biangnya adalah kemajuan media online, toh yang menulis juga masih orang lain, bukan aktivis muslim. Atau paling tidak kontennya masih didominasi bahkan lebih menarik konten orang luar sana. Penyakit yang menimpa pun semakin parah: malas baca, malas menulis dan malas publikasi. Sehingga konten media massa termasuk media online yang diisi oleh mereka di luar sana. Bukan oleh aktivis muslim tapi oleh non muslim.  

Pertanyaannya, ke mana penulis ormas Islam yang mestinya terpanggil untuk menulis?  Ke mana pula anak-anak muda di berbagai organisasi kepemudaan sekaligus organisasi mahasiswa berbasis Islam? Apakah mereka menganggap tradisi ini sebagai tradisi yang tak penting bahkan tak dihiraukan alias mengacuhkannya? Lalu, tulisan seperti apa yang dibaca oleh generasi berikutnya bila penulis muslim semakin kehilangan jejak dan mati suri bahkan tak punya ruh untuk menghidupinya? Sampai kapan umat Islam masih meremehkan tradisi ini padahal ini adalah tradisi para ulama lintas generasi? 

Kalau kita membaca sejarah terutama tentang Ormas Islam di Indonesia, rerata punya panggilan jiwa di dunia literasi. Selain temanya beragam, karya mereka pun bergizi dan dibaca oleh banyak kalangan lintas generasi. Berbagai pemikiran, sepak terjang dan perjuangan mereka dapat dibaca di berbagai karya tulis seperti buku, artikel dan sebagainya. Termasuk diantaranya pendiri Persatuan Ummat Islam (PUI) yaitu KH. Abdul Halim dan KH. Ahmad Sanusi. Itulah warisan yang sangat berharga dan tak boleh dianggap remeh atau dikesampingkan. Lalu, bila tradisi literasi era ini belum geliat bahkan masih terkesan mati suri, siapa yang peduli? (*)


* Oleh: Syamsudin Kadir, Inisiator Forum Penulis Persatuan Ummat Islam (PUI) dan Pengurus Pusat Rumah Produktif Indonesia (RPI) 


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sejarah Perkembangan Pendidikan Luar Sekolah

Langkah dan Teknik Konseling Kelompok