Menabung dan Menulis untuk Biaya Pendidikan Keluarga


SAYA orang asli kampung yang jauh dari hiruk pikuk kota. Tepatnya di Cereng, Desa Golo Sengang, Kecamatan Sano Nggoang, Kabupaten Manggarai Barat-NTT. Dari kampung ke pusat kota di daerah tempat saya berasal pun sering dilalui dengan berjalan kaki sekian jam. Bukan saja karena jalan raya beraspal masih susah dicari, tapi juga transportasi yang tersedia masih tergolong belum layak. 

Sehingga semangat merantau untuk melanjutkan pendidikan ke luar kota adalah bagian tak terpisahkan dari anak-anak muda kampung saya, termasuk saya. Hampir semuanya hanya bermodalkan nekad. Benar-benar nekad untuk merantau jauh dengan bekal seadanya. Walau begitu, semangat belajar tetap berkobar tinggi. Dan, selalu terngiang untuk meraih impian tertinggi seperti yang selalu dimotivasi oleh keluarga besar di kampung.  

Setelah selesai pada pendidikan sebelumnya, kini saya lagi menabung untuk membiayai pendidikan atau melanjutkan pendidikan saya dan istri juga anak-anak. Mencicil  memang lama dan berat, tapi itu lebih baik. Agar saya semakin merasakan sendiri bagaimana pahitnya mencari uang dan menyelesaikan pendidikan dengan biaya sendiri. Bahkan itu bakal menjadi energi untuk terus belajar.  

Sejak lama saya tidak merokok dan jarang membeli jajan yang benar-benar tak mendesak. Saya berupaya untuk tidak membebani diri saya dengan sesuatu yang merusak kesehatan dan isi dompet. Bila ada uang lebih baik digunakan untuk membeli buku beragam tema. Biar di kesempatan luang bisa membaca dan mendalami buku-buku yang saya beli. Sebagiannya lagi untuk ditabung, ya mencicil. 

Sebagai penambah kas tabungan, saya harus berani mengurangi jatah makan dan jajan yang tak benar-benar butuh atau perlu. Makan pun cukup dengan lauk seadanya. Tahu, tempe dan garam itu sudah cukup. Bila ada kecap dan tomat, itu sebuah bonus yang berkesan. Toh tetap kenyang dan kuat. Bahkan lebih sehat. Daripada memaksakan makanan mewah tapi setiap pekan ke dokter. 

Hal ini dilakukan sebagai ikhtiar menambah kas tabungan saya. Baik untuk pendidikan sendiri maupun pendidikan anak juga kebutuhan keluarga kecil saya. Apalah lagi pada masa pandemi Covid-19 seperti saat ini, saya mesti benar-benar menjaga makanan dan minuman. Tak boleh ada peluang bagi virus untuk masuk. Dan tentu saja mesti hemat sehingga cicilan pendidikan tetap prioritas. 

Saya juga berupaya untuk menulis buku dan artikel dalam beragam tema. Honornya lumayan. Saya juga menjadi ghost writer untuk beberapa tokoh, di samping menjadi penyunting dan editor untuk sejumlah naskah buku dan naskah karya ilmiah lainnya dari beberapa tokoh lintas latar belakang. Jasa penulisan naskah dan edit tak seberapa, tapi halal. Bahkan tak sedikit tokoh yang menghilang tanpa jejak setelah naskah tuntas saya garap. Nasib! 

Bagi saya, pendidikan adalah kunci dan agenda penting dalam kehidupan keluarga kecil saya. Saya, istri dan anak-anak saya harus melanjutkan pendidikan. Mesti menggapai level warga negara yang cerdas, tentu dengan biaya sendiri, tanpa meminta pada negara. Sebab pemerintah atas nama negara sudah memiliki utang yang begitu banyak. Bunganya juga sangat besar. Saya mesti tahu diri dan tak boleh menjadi bagian dari beban negara. 

Saya merantau sejak lulus Sekolah Dasar (SD) pada tahun 1996. Kala itu saya merantau ke Lombok-NTB untuk pendidikan MTs dan Madrasah Aliyah, hingga lulus 2002. Lalu merantau lagi untuk kuliah di Surabaya, Bandung, Jakarta dan Cirebon. Ya, sejak 2010 hingga saat ini saya berdomisili di Cirebon-Jawa Barat bersama istri dan anak-anak saya. Selain memajukan tradisi literasi di keluarga, juga penguatan jejaring di berbagai kota. 

Saya berkomitmen dan bertekad kuat bahwa saya, istri dan anak-anak mesti melanjutkan pendidikan hingga doktoral. Hal ini untuk mengamini impian orangtua yang kini telah tiada dan untuk menggapai cita-cita yang sudah saya rencanakan sejak lama. Saya sangat optimis bahwa bila sudah ada tekad, insyaa Allah semuanya bakal lancar.  Sebab Allah Maha Kaya dan Kuasa serta bakal memberi jalan terbaik. Semoga Ia menguatkan dan memberi jalan keluar. Aamiin! (*)


* Oleh: Syamsudin Kadir, Pengurus Pusat Rumah Produktif Indonesia dan Wakil Sekretaris Umum DPW PUI Jawa Barat 


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sejarah Perkembangan Pendidikan Luar Sekolah

Langkah dan Teknik Konseling Kelompok