Biarkan Anak Demonstrasi Di Toko Buku
Anak berusia 22 bulan ini termasuk anak yang aktif ke toko buku. Ia juga mencintai buku. Bukan saja buku penulis lain, tapi juga buku saya. Dia, selain suka melafalkan huruf abjad dan hijaiyah, ia juga suka pada buku. Belakangan, selain menghafal surat pendek, ia juga suka membuka buku. Bahkan mendengar cerita pada buku dari kakak-kakaknya.
Rupanya apa yang disukai oleh si bungsu merupakan warisan dari ketiga kakaknya: Azka Syakira, Bukhari Muhtadin dan Aisyah Humaira. Ketiganya adalah sosok yang aktif ke toko buku dan giat membaca buku. Mereka lebih suka membaca buku daripada beli jajan ini itu. Salah satu kakaknya, Tsamarah Walidah, meninggal dunia beberapa waktu setelah lahir.
Di tengah gempuran media sosial yang tak terkendali, saya dan keluarga kecil saya sudah bersepakat bahwa toko buku adalah rumah kedua. Membaca buku sudah menjadi rutinitas dan kebutuhan. Setiap hari harus ada buku yang dibaca. Pokoknya buku, buku dan buku. Di rumah tak ada TV, yang ada adalah buku. Jajan terbaik adalah ke toko buku dan buku.
Alhamdulillah anak-anakpun semakin mendapatkan semacam energi dan keyakinan bahwa buku adalah pintu ilmu. Membaca buku artinya kesediaan diri untuk membaca dan merasakan nikmatnya isi buku yang dibaca. Mereka pun kerap meminta jalan keluar hanya untuk kepentingan toko buku. Bila tak cukup membeli buku, minimal tahu buku baru terbit.
Satu hal yang tak kalah pentingnya, anak-anak sudah tak peduli dengan media sosial. Bukan tak kenal, hanya saja tidak mau terjebak pada media sosial yang tak sedikit konten tak bermutu. Sesekali, sesuai jadwal yang sudah disepakati, mereka hanya menonton YouTube. Itupun kontennya sudah diatur dan disesuaikan. Termasuk yang didownload.
Pada beberapa kesempatan kolega saya menyampaikan bahwa saya tidak adil dan tidak kekinian. Saya bilang, saya yang sering mengisi acara di TV saja tidak menonton TV. Karena TV sekarang banyak berita korupsi pejabat, perceraian artis, pemerkosaan, perselingkuhan dan berbagai hal yang tak bermutu. Bahkan dapat menjadi racun yang membahayakan.
Saya berpandangan, bila hal semacam itu terus-terusan ditonton justru membuat otak jadi tegang. Waktu berlalu begitu saja tanpa aktivitas yang bermanfaat. Setiap detik harus diisi dengan kegiatan produktif dan berdampak baik. Maka mesti ada alternatif yaitu toko buku dan membaca buku. Ini adalah tradisi yang dapat melahirkan generasi emas.
Membangun tradisi berpikir kritis harus dimulai dari keluarga. Instrumen utamanya adalah membaca buku. Anak-anak pun jadi kaya perspektif dan selektif pada informasi apapun dari luar sana. Hal ini menjadi bekal penting bagi anak-anak. Bila di keluarga dibangun tradisi literasi, terutama baca-tulis, maka anak semakin matang dan kompetitif. (*)
* Oleh: Syamsudin Kadir, Penulis Buku "Melahirkan Generasi Unggul"
Komentar
Posting Komentar