Pua dan Tradisi Literasi Keluarga


SALAH satu tema besar yang menjadi diskursus bangsa kita adalah tradisi literasi. Tradisi literasi pada dasarnya menyangkut berbagai hal, tapi literasi yang paling mendasar sekaligus akrab di telinga kita adalah baca dan tulis. Tentu bukan saja sebagai sebuah aktivitas, tapi aktivitas baca dan tulis yang punya dampak positif dan bermanfaat. 

Walau bukan satu-satunya literasi, namun kita harus akui bahwa tradisi baca - tulis adalah literasi dasar dan kunci literasi itu sendiri. Dengan demikian, berbagai kalangan selalu mendengungkan pentingnya menjaga tradisi baca - tulis. Baik oleh pemerintah dan lembaga pendidikan maupun oleh para penggiat literasi termasuk para penulis di berbagai kota. 

Konteks Pua dan Keluarga 

Namanya Bapak Abdul Tahami. Beliau adalah ayah saya dan delapan saudara kandung saya lainnya. Saya dan keluarga besar akrab menyapanya dengan "Pua". Pua adalah panggilan akrab untuk sosok ayah di keluarga besar saya. Walaupun sapaan seperti ini sudah mulai jarang terdengar, namun mengenangnya membuat saya semakin mengingat banyak hal. 

Dua hal yang sangat akrab dengan Pua adalah tradisi baca dan tradisi tulis. Pertama, tradisi baca. Pua adalah salah satu tokoh yang sejak menempuh pendidikan dari sekolah dasar hingga sekolah menengah pertama susah terbiasa dengan aktivitas membaca. Bahkan kelak ketika menempuh sekolah menengah atas (SMA) beliau sudah aktif membaca. 

Suatu ketika, saat saya pulang libur ke kampung halaman di Cereng, Manggarai Barat, NTT, saya duduk di kursi yang berada di ruang tamu rumah. Di situ sudah ada Pua, yang sedang membaca buku. Artinya, Pua bukan saja aktif membaca buku sejak SD sampai SMA, tapi juga saat sudah tua, termasuk saat menjadi guru di SDK Naga tahun 1971-1975. 

Kedua, tradisi tulis. Pua adalah sosok yang akrab dengan dunia kepenulisan. Hal itu bisa dipahami dari buku-buku catatan yang ada di lemari beliau sejak dulu hingga kelak meninggal dunia pada Oktober 2020 lalu. Dalam berbagai kegiatan, Pua selalu mencatat. Baik yang berkaitan dengan kegiatan sebagai kepala keluarga maupun sebagai kepala desa. 

Pua juga selalu mencatat tentang urusan sederhana seperti daftar belanja, kegiatan pernikahan, kegiatan syukuran dan pembicaraan ringan bila ada tamu yang berkunjung ke rumah. Bahkan beliau tak selalu menulis di buku, sebab bungkus rokok, kertas bekas undangan dan kardus bekas pun beliau manfaatkan untuk menjadi media menulis. 

Tradisi baca - tulis yang digiatkan oleh Pua diwariskan kepada semua anaknya, bahkan cucu-cucunya. Semuanya adalah pembaca buku. Walau tak seaktif Pua, tapi kalau melihat buku biasanya langsung dilahap habis. Untuk yang ini terutama Kakak Ahmad Kahir. Untuk menulis, saya satu-satunya yang mengikuti jejak Pua. Keluarga kami pun cukup literat. (*)


* Oleh: Syamsudin Kadir, Penulis Buku "Si Gila Literasi" 


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Langkah dan Teknik Konseling Kelompok

Anatomi dan Klasifikasi Ayat-Ayat Al-Qur’an