Pua adalah Ayah Hebat
Kepedulian Pua pada anak-anak dan cucu-cucu sekaligus keluarga besarnya dapat dipahami dari tiga hal. Pertama, perhatian dan peduli pendidikan anak. Sejak kecil hingga meninggal dunia, Pua selalu memberi perhatian dan peduli kepada pendidikan anak-anaknya. Baik saat masih kecil maupun pada masa dewasa. Hal ini terlihat dari pendidikan anak-anaknya. Bahkan juga prestasi anak-anaknya kala menempuh pendidikan.
Tiga anaknya menempuh pendidikan tinggi, seperti saya, Siti Nurfa Jamila dan Siti Harmiyati. Lalu dua anaknya lulus Madrasah Aliyah dan SMA seperti Ahmad Kahir dan Rafiq Jumlalik. Sisanya Siti Marwia, Siti Mardia, Siti Murti, dan Siti Nurfi Isa, hanya menempuh pendidikan dasar atau SD. Hal itu disebabkan oleh kondisi ekonomi waktu itu yang belum memungkinkan untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang selanjutnya.
“Saya dulu ingin semuanya bisa melanjutkan pendidikan sampai kuliah. Tapi kondisi ekonomi kita di kampung, terutama sawah belum memungkinkan. Di tambah lagi saat itu, keluarga kita sering sakit,” ungkap Pua suatu ketika.
Hal itu diakui oleh Ine, bahwa memang saat itu kondisi ekonomi keluarga sangat memperihatinkan. Hasil kebun dan sawah hanya cukup untuk kebutuhan makan sehari-hari. Kondisi kesehatan keluarga dan warga kampung saat itu sangat memperihatinkan. Semua keluarga besar Cereng mengalami sakit muntah-muntah dan demam. Seingat saya, itu era 1990-an hingga saya lulus SD tahun 1996.
“Saat itu banyak yang sakit. Kondisi ekonomi kita juga sangat sulit. Padahal ingin sekali kalian semuanya bisa kuliah,” ungkap Ine ketika berkunjung ke Cirebon, Jawa Barat.
Saya sendiri merasakan kondisi kesulitan ekonomi saat itu. Ya medio 1990-1996. Saya beberapa kali menemani Pua untuk mengambil ubi dan jagung oleh keluarga di Naga dan Mbala. Saya juga beberapa kali mengikuti Ine pergi mengambil jatah ubi dan jagung yang disediakan oleh keluarga di Ceremba, hingga beras di Leheng.
Walau pun kelak dijalani dengan sistem barter, namun tradisi saling membantu dan tolong menolong sesama keluarga seperti ini merupakan tradisi kebaikan yang harus dijaga dengan baik. Hal ini pulalah yang membuat saya hingga saat ini selalu menjaga hubungan baik dengan keluarga besar di beberapa kampung tersebut. Silaturahim dengan keluarga besar harus dijaga dengan baik.
Secara khusus, saya merasa mendapatkan perhatian yang luar biasa dari Pua. Bayangkan saja, Pua adalah alumni sekolah katolik dan pernah mengajar di sekolah katolik. Tapi Pua begitu bersemangat untuk melanjutkan pendidikan saya ke pondok pesantren. Kalau bukan karena memiliki pemikiran dan cita-cita yang tinggi, tidak mungkin Pua melakukan itu.
Kedua, menjadi teladan. Keteladanan Pua sebagai kepala keluarga, terutama sebagai seorang ayah dapat dipahami dari berbagai sisi. Misalnya, Pua menjaga shalat lima waktu. Pua juga dalam banyak kesempatan, terutama setelah shalat magrib, terbiasa membaca al-Qur’an. Hal itu sudah Pua lakukan sejak lama.
Bahkan seingat saya, Pua lakukan itu jauh sebelum kelak saya menempuh pendidik di Pondok Pesantren Nurul Hakim di Kediri, Lombok Barat, NTB, medio 1996-2002. Artinya, Pua sudah rutin menjaga shalat lima waktu dan membaca al-Qur’an, bukan karena saya, tapi karena Pua adalah sosok pembelajar sejak kecil yang kelak menjadi teladan bagi kami sekeluarga, terutama kami anak-anaknya.
Ketiga, berpikir futuristik. Pua bukan saja menjadi ayah yang bertanggung jawab pada urusan sandang dan pangan anak-anaknya, tapi juga urusan masa depan anak-anaknya. Selain urusan pendidikan, seperti yang saya sudah ulas sebelumnya, Pua juga memperhatikan jodoh anak-anaknya. Pua selalu memperhatikan dengan siapa anak-anaknya menikah dan bagaimana perjalanan rumah tangga anak-anaknya.
Hal ini ternyata bukan saja dirasakan oleh anak-anaknya, tapi juga oleh cucu, keponakan dan keluarga besarnya. Kehadiran Pua dalam kehidupan keluarga besar pun bukan saja memberi dampak semangat dalam hidup, tapi juga kesungguhan untuk terus belajar dan belajar. Sehingga Pua pun tidak saja dianggap sebagai ayah hebat bagi anak-anaknya, tapi juga motivator hebat bagi cucu sekaligus keluarga besarnya.
Mengingat sosok Pua yang hebat itu, saya menjadi teringat dengan buku berjudul “Jangan Tunda Mencetak Anak Hebat” (2011) karya Rosa Listyandri. Pada buku setebal 202 halaman ini penulis menjelaskan bagaimana langkah orangtua dalam menjalankan perannya sebagai pendidik ideal.
Dalam pemahaman saya, dari 20 sub judul ulasan buku ini, seperti “Mencetak Anak Cerdas”, “Mengalirkan Jiwa Seni”, “Berbagi Ilmu dan Rasa”, “Mencuri Hati Anak”, “Menumbuhkan Mental Juara”, “Menumbuhkan Kecerdasan Bersosial” dan sebagainya, Pua sudah menjalankan semuanya tanpa terkecuali.
Secara nyata, semua itu bermakna bahwa, sebelum munculnya teori modern tentang urgensi dan peran ayah dalam pendidikan anak, seperti yang diulas oleh para pakar pendidikan dan para penulis buku dalam beragam judul, Pua sudah memahami dan menjalaninya sejak lama.
Walau pun anak-anak Pua bukan anak-anak hebat yang ideal, karena memang di luar sana banyak generasi hebat yang mesti diteladani, tapi saya merasakan betapa Pua adalah sosok ayah hebat yang membanggakan dan layak dikenang. Tanpa kehebatan Pua dalam mendidik anak, mungkin saya tidak paham bagaimana cara mendidik anak. Pua memang hebat! (*)
* Oleh: Syamsudin Kadir, Penulis Buku "Prabowo Subianto; Optimisme, Kepemimpinan dan Sepak Terjang"

Komentar
Posting Komentar