Hikmah Di Balik Meninggalnya Para Ulama


VIRUS Corona yang akrab juga disebut dengan Covid-19 selama setahun lebih ini telah menyisahkan banyak duka. Selain para tenaga kesehatan seperti dokter, perawat, bidan dan sebagainya yang menjadi korban terpapar hingga meninggal, sebagian ulama pun turut terpapar dan meninggal dunia. Nama-nama mereka bisa kita temukan di berbagai pemberitaan media massa termasuk media online. Bahkan di berbagai group media sosial pun sehar-hari kita mendapatkan informasi seputar itu. 

Sebagai manusia biasa kita tentu turut bersedih. Walau mereka bukan keluarga kita dan tidak pernah bersua dengan kita, kita tetap dirundung kesedihan tak terkira bila mendengar kabar mereka meninggal dunia. Secara khusus, para ulama yang meninggal sudah ratusan orang. Mereka berasal dari berbagai kota dan aktif di berbagai organsiasi dan lembaga pendidikan, lembaga dakwah dan sebagainya. Kepergian mereka pun benar-benar duka yang mendalam dan menyedihkan bagi keluarga juga kita. 

Perhal kondisi ini kita patut untuk merenungi secara mendalam sebuah hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, kala beliau bersabda, “Sesungguhnya Allah tidak menggangkat ilmu dengan sekali cabutan dari para hamba-Nya, akan tetapi Allah mengangkat ilmu dengan mewafatkan para ulama. Ketika tidak tersisa lagi seorang ulama pun, manusia merujuk kepada orang-orang bodoh. Mereka bertanya, maka mereka (orang-orang bodoh) itu berfatwa tanpa ilmu, mereka sesat dan menyesatkan.“ (HR. Bukhari dan Muslim)

Al-Imam An-Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim menjelaskan makna hadits di atas sebagai berikut, “Hadits ini menjelaskan bahwa maksud diangkatnya ilmu yaitu sebagaimana pada hadits-hadits sebelumnya secara mutlak. Bukanlah menghapuskannya dari dada para penghapalnya, akan tetapi maknanya adalah wafatnya para pemilik ilmu tersebut. Manusia kemudian menjadikan orang-orang bodoh untuk memutuskan hukum sesuatu dengan kebodohan mereka. Akhirnya mereka pun sesat dan menyesatkan orang lain”.

Ketika ilmu pengetahuan tentang ajaran agama diangkat Allah dari muka bumi, maka ini pertanda usia bumi tidak lama lagi. Satu persatu ulama diwafatkan adalah pertanda keping-keping bumi mulai dirontokkan. 

Beberapa penafsir al-Qur’an dari kalangan sahabat Nabi dan Tabi’in, mengatakan bahwa yang dimaksud dalam ayat berikut ini adalah kehancuran bumi dengan diwafatkan para ulama, “Dan Apakah mereka tidak melihat bahwa Sesungguhnya Kami mendatangi daerah-daerah (orang-orang kafir), lalu Kami kurangi daerah-daerah itu (sedikit demi sedikit) dari tepi-tepinya? Dan Allah menetapkan hukum (menurut kehendak-Nya), tidak ada yang dapat menolak ketetapan-Nya; dan Dia-lah yang Maha cepat hisab-Nya.” (QS. Al-Ra’d: 41).

Tafsiran tersebut semakna dengan sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam yang diriwayatkan al-Imam al-Bukhari, “Termasuk tanda-tanda hari kiamat adalah diangkatnya ilmu dan teguhnya kebodohan”.

Ketika ilmu diangkat, kebodohan merajalela, maka dari situlah kehancuran bermula. Karena manusia tidak lagi menjalani kehidupan berdasarkan ajaran agamanya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wallam bersabda,  “Zaman saling berdekatan, ilmu dihilangkan, berbagai fitnah bermunculan, kebakhilan dilemparkan (ke dalam hati), dan pembunuhan semakin banyak”. (HR. Muslim)

Benar, bahwa wafatnya ulama adalah bermakna kebocoran dalam agama, sebagaimana dalam hadits yang disebutkan di atas. Bahkan kebocoran ini tidak bisa ditambal sepanjang masa, sebagaimana diungkapkan seorang sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wallam, Abdullah bin Mas’ud, “Meninggalnya seorang ulama adalah kebocoran di dalam Islam dan tidak bisa ditutup meskipun malam dan siang datang silih berganti”.

Namun, apakah dengan melampiaskan duka cita dan kesedihan tanpa memikirkan solusinya adalah bukti kita bersedih atas wafatnya ulama dengan kesedihan yang sesuai dengan aturan agama? Pertanyaan sederhana, namun perlu perenungan mendalam dalam diri kita semua, sehingga menjawabnya bukan seperti jawaban ujian semesteran, tapi benar-benar menjawab dengan seksama juga solutif. 

Abdullah bin Mas’ud memberikan solusinya, “Wajib atas kalian untuk menuntut ilmu, sebelum ilmu tersebut diangkat/dihilangkan. Hilangnya ilmu adalah dengan wafatnya para periwayatnya/ulama. Demi Dzat yang jiwaku ada di tangan-Nya, sungguh orang-orang yang terbunuh di jalan Allah sebagai syuhada, mereka sangat menginginkan agar Allah membangkitkan mereka dengan kedudukan seperti kedudukannya para ulama, karena mereka melihat begitu besarnya kemuliaan para ulama. Sungguh tidak ada seorang pun yang dilahirkan dalam keadaan sudah berilmu. Ilmu itu tidak lain didapat dengan cara belajar .”

Pesannya jelas, bahwa duka dan kesedihan yang benar itu adalah dengan cara menyiapkan diri kita atau generasi setelah kita untuk juga menjadi pengemban warisan ulama, pelanjut estafet mempertahankan keberlangsungan transfer ilmu agama. Kita harus menyiapkan generasi selanjutnya agar jangan terjadi kekosongan ulama. Hal inilah yang dimaksud Ali bin Abi Thalib, sebagaimana dikutip Imam al-Ghazali dalam kitab Ihya, “Jika satu ulama wafat, maka ada sebuah lubang dalam Islam yang tak dapat ditambal kecuali oleh generasi penerusnya.” 

Kita harus mengambil ilmu sebelum ia pergi seluruhnya. Selagi masih ada ulama-ulama lain yang tersisa, kita harus manfaatkan waktu sebaik-baiknya untuk belajar kepada mereka. Hal ini sebagaimana disabdakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam,  “Ambillah (pelajarilah) ilmu sebelum ilmu pergi!” Sahabat bertanya, “Wahai Nabiyullah, bagaimana mungkin ilmu bisa pergi (hilang)?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab, “Perginya ilmu adalah dengan perginya (wafatnya) orang-orang yang membawa ilmu (ulama). 

Mudah-mudahan meninggalnya para ulama terutama karena Covid-19 pada masa pandemi ini tidak membuat kita terlarut dalam kedukaan dan kesedihan yang mendalam. Duka dan sedih memang manusiawi, namun hal itu akan menjadi bermanfaat dan produktif manakala kita mengambil hikmahnya lalu mengambil langkah konkret yaitu menyiapkan generasi terbaik yang berkapasitas ulama sekaligus pemimpin bangsa di masa yang akan datang. (*)


* Oleh: Syamsudin Kadir, Penulis Buku “Kalo Cinta, Nikah Aja” dan “Indahnya Islam Di Indonesia” 


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Langkah dan Teknik Konseling Kelompok

Sejarah Perkembangan Pendidikan Luar Sekolah