Pengalaman Kecil Melawan Gejala Covid-19
PADA Desember 2020 dan Januari 2021 lalu saya bertemu dengan seorang pejabat di sebuah tempat di Jakarta. Kala itu sang pejabat ditemani oleh empat orang timnya. Berikutnya, pada Maret 2021 saya ke Banten. Saat itu saya bertemu dengan seorang akademisi sebuah kampus ternama di Jakarta. Kala itu sang dosen ditemani oleh beberapa kolega dan sopirnya. Ketika itu, laju tularan Covid-19 di Jakarta dan Banten sudah meningkat. Sebagai upaya menghindar agar tak terpapar, saya benar-benar menjaga jarak, mencuci tangan, dan selalu meminum air hangat. Pokoknya, disiplin menjaga protokol kesehatan.
Sekembali dari tiga acara yang berbeda waktu itu, saya mengalami gejala-gejala yang agak berbeda dari biasanya. Saya pun mengalami gejala-gejala terpapar Covid-19 seperti yang belakangan dialami oleh banyak orang. Badan panas dan berkeringat, demam dan menggigil, batuk berserak, hidung tersumbat, nafas tersengal-sengal, dada nyesak, engga mau dengar suara apapun dan bawaannya emosional alias marah-marah. Seakan-akan apa yang dilakukan oleh istri dan anak-anak saya keliru semuanya. Tensi darah saya pun kerap naik, bahkan pernah sampai 150/90.
Awalnya membuat saya down dan cemas ditambah panik tak kepalang. Pikiran saya ke mana-mana, tidak fokus. Apalah lagi laju angka positif Covid-19 semakin meningkat, saya semakin tidak tenang. Sebab saya baru kali ini merasakan apa yang saya rasakan. saya belum pernah merasakan sebelumnya. Saya pun sempat menyuruh anak dan istri duduk di dekat. Saya seperti mau pamitan alias meninggal. Saya pun menyampaikan beberapa pesan sambil menangis, terutama agar mereka menjaga ibadah dan sebagainya. Data dan pasword berbagai data penting di laptop saya sampaikan pada istri. Anak-anak dan istripun ikutan tercengang dan menangis. Suasananya seperti terbawa duka dan sedih tak berbilang.
Di sela-sela itu, tepatnya setelah beberapa waktu, hati saya selalu terdorong untuk membaca ayat-ayat al-Quran. Tepatnya surat al-Kahfi dan surat al-Mulk. Entah dari mana, hati saya selalu terngiang dengan dua surat itu. Saya pun memaksa diri untuk mengikutinya, lalu membacanya berkali-kali. Selanjutnya, saya membaca beberapa tulisan seputar perihal penyembuhan untuk berbagai macam penyakit, apapun jenisnya. Termasuk perihal virus yang berbahaya bagi kesehatan, diantaranya virus corona dan sebagainya. Saya membaca berbagai surat atau ayat dalam al-Quran dan hadits seputar virus, bencana, penyakit, azab, dan sebagainya.
Ternyata diantara kunci atau obat mujarabnya adalah bertaubat, memohon ampunan dan berdoa dengan sungguh-sungguh kepada Allah. Ya, memohon pertolongan dan bantuan serta kesembuhan sembari tawakal kepada Allah. Saya pun mendawamkan diri untuk berwudhu dan shalat malam, lalu membaca surat-surat tertentu dalam al-Quran yang membangkitkan optimisme saya agar bebas dari apa yang saya alami kala itu. Hal ini saya lakukan juga pada saat pagi hari. Saya rutin berwudhu dan shalat dhuha. Setelah shalat malam dan dhuha saya menyempatkan untuk merenung atas berbagai dosa dan khilaf saya selama ini. Intinya, saya fokus untuk bertaubat, memohon ampun dan berdoa kepada Allah.
Pada saat yang sama saya tetap berikhtiar dengan langkah-langkah manusiawi seperti pada umumnya. Saya minum jahe dan kunyit pakai air panas campur madu yang secara rutin disediakan oleh istri saya. Kebetulan istri saya begitu telaten memasak jahe dan kunyit, lalu membuatnya jadi minuman yang menyegarkan. Saya pun rutin minum selama beberapa hari. Intinya tak ada hari tanpa minum jahe dan kunyit yang dicampur dengan madu. Sehingga rasanya benar-benar enak dan menyegarkan. Membuat tenggorokan tidak batuk, flu atau pilek hilang, dan badan terasa hangat dan segar.
Lalu saya rutinkan diri untuk menjemur setiap pagi sekitar jam 8 atau jam 9, lamanya sekitar 15 sampai 30 menit. Saya juga rutin berolahraga atau lari-lari kecil agar keringat saya keluar. Saya lakukan ini di dalam kamar rumah, ruang tamu dan depan rumah. Bahkan beberapa kali saya pergi ke sawah tetangga di kompleks perumahan, untuk menjemur diri dan berolahraga sekitar 15 sampai 30 menit bahkan lebih. Walau kala itu badan saya agak melemah, nafsu makan menurun dan enggan minum air putih, saya tetap memaksa diri untuk makan minimal bubur, sayur-sayuran dan air putih hangat bahkan agak panas.
Selain itu, saya banyak makan buah-buahan terutama pir, apel, pisang dan pepaya, yang saya beli langsung di pasar. Saya juga rutin meminum air kelapa muda, kadang dua dan tiga kali sehari. Istri dan anak-anak saya juga saya ajak supaya minum air kelapa. Saya meminumnya tanpa dicampur gula, langsung diminum saja. Tiap jam juga saya berkumur-kumur air garam (bukan yang beryodium) pakai air hangat selama 1 menit sebanyak 3 sampai 5 kali. Airnya tidak saya minum, tapi langsung dibuang. Tenggorokan pun tak gatal lagi, batuk juga menghilang dan tak datang lagi.
Saya juga berupaya untuk menambah waktu tidur atau istirahat. Bila biasanya hanya 3 sampai 5 jam dalam sehari, kini saya mesti tidur sekitar 6 sampai 8 jam sehari. Bila malam saya tidur 5 sampai 6 jam, maka siangnya saya tidur 1 sampai 2 jam. Intinya saya memilih tidur yang cukup untuk setiap harinya. Saya sadar betul bahwa sumber energi atau imun saya adalah ibadah, makan dan minum yang teratur serta menambah waktu istirahat. Di samping makan makanan yang sehat atau yang bergizi, juga menjaga diri dari kerumunan banyak orang.
Setelah mengalami gejala-gejala di atas selama sekitar 14 hari, kondisi saya semakin membaik. Nafsu makan sudah membaik, sesak nafas dan dada sudah menghilang, suhu badan kembali normal dan emosi sudah mulai terkendali. Diantara yang masih saya alami ketika itu adalah batuk dan flu, lalu badan sesekali demam. Namun kondisinya tidak separah pada awal gejala muncul. Belakangan malah sudah normal alias sehat lagi seperti sedia kala lagi.
Saya merasakan sendiri betapa gejala-gejala semacam itu benar-benar membuat saya panik. Kala itu anak-anak dan istri saya minta untuk agak menjauh dari saya, minimal berjarak 1 meter. Mereka cukup menyedikan makan dan minum, lalu mengambil jarak. Sesekali mereka memijit kepala, punggung, tangan dan kaki saya. Alhamdulillah saya akhirnya sembuh alias tak mengalami gejala-gejala lagi. Anak-anak dan istri pun tak ada yang mengalami hal serupa. Walau hingga kini tak mengalami gejala lagi, saya tetap berupaya untuk menjaga imunitas dan menjauh dari kemungkinan tertular.
Melawan gejala-gejala Covid-19 memang butuh ketenangan, langkah jenial, dan ikhtiar yang maksimal. Jangan menghabiskan tenaga dan waktu untuk khawatir yang berlebihan. Sebab hal tersebut malah mengurangi prioritas kita untuk menjaga kesehatan. Pada kondisi begini yang dibutuhkan adalah membangun pikiran positif dan menyebarkannya kepada banyak orang. Makanya saya memaksa diri menulis setiap hari. Bahkan beberapa buku pun sudah diterbitkan seperti "Melahirkan Generasi Unggul", "Menjadi Pendidik Hebat", "Pendidikan Ramadan", "Plan Your Success", "Membaca Politik Dari Titik Nol", "Politik Cinta", "Indahnya Islam Di Indonesia", dan "Kalo Cinta, Nikah Aja!". Di samping mengedit belasan buku penulis dan beberapa tokoh yang kini sudah terbit.
Selain itu, jangan terjebak pada kepanilan yang berlebihan. Langkah jenial yang mesti dilakukan pada kondisi begini adalah berdoa, bertawakal dan ikhtiar yang maksimal. Termasuk meyakini bahwa yang berkuasa menyembuhkan semua rasa sakit dan yang mengangkat berbagai virus atau gangguan berbahaya adalah Allah. Adapun obat, vaksin dan serupanya hanyalah media perantara. Tenaga kesehatan seperti dokter, apoteker, perawat dan serupanya hanya membantu. Sumber utama dan potensi imunitas itu ada pada diri kita sendiri. Begitu pengalaman saya, lalu bagaimana pengalaman Anda? (*)
* Oleh: Syamsudin Kadir, Penulis Buku "Badai Covid-19 Pasti Berlalu", "Kalo Cinta, Nikah Aja!" dan "Indahnya Islam Di Indonesia".
Komentar
Posting Komentar