Refleksi 113 Tahun Mohammad Natsir
MOHAMMAD Natsir, siapa yang tak mengenal nama, sosok, ide dan pemikirannya? Hampir semua kalangan mengenal bahkan mengkaji dan mendiskusikannya di berbagai forum dan momentum. Bukan saja dalam negeri tapi juga di luar negeri. Natsir adalah Perdana Menteri ke-5 Indonesia. Beliau lahir di Alahan Panjang, Sumatra Barat, 17 Juli 1908, meninggal di Jakarta, 6 Februari 1993 pada umur 84 tahun. Beliau adalah putra dari pasangan Mohammad Idris Sutan Saripado dan Khadijah. Kedua orangtuanya adalah sosok yang sederhana namun disiplin juga teguh mendidik anak-anaknya. Pada hari ini 17 Juli 2021, Natsir genap 113 tahun.
Pada masa kecilnya Natsir belajar di HIS Solok dan di sekolah agama Islam yang dipimpin oleh para pengikut Haji Rasul. Selanjutnya pada tahun 1923-1927 Natsir mendapat beasiswa untuk sekolah di MULO, dan kemudian melanjutkan ke AMS Bandung hingga tamat pada tahun 1930. Pada saat di Bandung, Natsir berinteraksi dengan para aktivis pergerakan nasional antara lain Syafruddin Prawiranegara, Mohammad Roem dan Sutan Syahrir. Pada tahun 1932, Natsir berguru pada Ahmad Hassan untuk memperdalam ilmu keagamaannya. Dengan keunggulan ilmu spiritualnya, ia banyak menulis soal-soal agama, kebudayaan, dan pendidikan. Di samping politik dan kenegaraan.
Dalam tulisan Adian Husaini (2010), disebutkan bahwa Natsir adalah seorang ulama soleh, politisi negarawan, wartawan apik, pejuang kemerdekaan Indonesia dan pahlawan nasional. Perihal sosok yang akrab dengan semua kalangan ini, ada sebuah cerita sekaligus pengalaman menarik Guru Besar Cornell Unversity, Amerika Serikat, George McTurnan Kahin. Kala itu ia hampir tidak percaya yang ditemuinya adalah Mohammad Natsir, Menteri Penerangan RI. Bagaimana tidak, penampilan Natsir sangat sederhana, kemejanya bertambalan di beberapa bagian. "Saya menemukan seorang yang sederhana dan rendah hati. Pakaiannya tidak mencerminkan sebagai seorang menteri dari suatu pemerintahan. Kemejanya bertambalan," kenang Kahin dalam buku "Mohammad Natsir, 70 Tahun Kenang-kenangan Kehidupan dan Perjuangan", yang diterbitkan Pustaka Antara Jakarta pada 1978 silam.
Beberapa pekan kemudian, kenang Kahin, staf yang bekerja di kantornya berpatungan membelikannya sehelai baju yang lebih pantas. Mereka katakan, dengan baju itu pemimpin mereka akan kelihatan seperti menteri sesungguhnya. Kahin sendiri berkenalan dengan Natsir melalui Agus Salim di Yogyakarta, 1948. Saat itu Natsir Menteri Penerangan. Sebelum pertemuan, Agus Salim bercerita tentang Natsir, yang sederhana, cerdas, dan penuh kejujuran. "Jika Anda hendak memahami yang terjadi dalam Republik, Anda seharusnya berbicara dengannya".
Selain Natsir, Prof Kahin, yang kala itu melakukan penelitian tentang pergerakan revolusi Indonesia, juga mewawancarai beberapa tokoh, antara lain Soekarno, Mohammad Hatta, Sutan Sjahrir, Agus Salim, dan Ali Sastroamidjojo. Penelitian tersebut dibukukan dengan judul Nationalism and Revolution in Indonesia, diterbitkan Cornell University (1952). Kahin menyebut Pak Nasir sebagai: The last giants among the Indonesia's nationalist and revolutionary political leaders.
Keteladanan Natsir
Menurut wartawan senior Asro Kamal Rokan (2019), kesederhanaan Natsir tidak saja soal kemeja bertambalan, tapi juga soal rumah. Di Jakarta, Natsir tidak punya rumah. Pendiri partai Masyumi ini menumpang di rumah sahabatnya, Prawoto Mangkusasmito di Tanah Abang. Saat sebagai Menteri Penerangan di Jogyakarta, Natsir tinggal di paviliun rumah Agus Salim, yang dipinjamkan Sri Sultan Hamengkubuwono IX. Kembali ke Jakarta, Menteri Penerangan ini mendapat rumah dinas dalam gang di Jalan Jawa, Jakarta. Rumah itu diisi perabot bekas. Anak-anaknya bertanya soal perabotan bekas tersebut, dan Natsir menjawab, "Jangan cari yang tiada, pandai-pandailah mensyukuri nikmat". Hal ini tentu menjadi keteladanan yang berdampak jangka panjang bagi keluarga Natsir yang hingga kini dikenal sangat sederhana.
Natsir pun benar-benar teladan yang autentik sekaligus nyata. Saat menjabat sebagai Perdana Menteri (PM), 1950, Natsir pindah ke rumah dinas di Jl. Pegangsaan. Setelah tidak menjadi PM, sekretarisnya, Maria Ulfa, menyerahkan dana taktis sebagai PM, namun Natsir menyerahkan semua dana itu ke koperasi karyawan, tanpa mengambilnya sedikit pun. Mobil dinas dan sopir pun langsung dikembalikan. Natsir pulang dengan sepeda ontelnya. Siti Muchliesah, putri Natsir, suatu kali mendengarkan perbincangan ayahnya dengan seseorang dari Medan. Orang tersebut menawarkan mobil sedan mewah Chevrolet Impala. Namun, dengan halus Natsir menolaknya.
Natsir adalah sosok tokoh yang cerdas dan memiliki kemampuan komunikasi yang handal. Ia menguasai bahasa Inggris, Belanda, Prancis, Jerman, dan Arab. Hidupnya penuh warna. Selain ulama, penulis produktif, dan politisi handal, Nasir juga suka karya-karya Mozart dan Beethoven. Bersama sahabatnya, Douwes Dekker, Natsir memainkan biola, Dekker bermain gitar. Penggemar novel sastrawan Rusia, Boris Pasternak ini, menjadi Ketua Umum Masyumi pada 1949-1958. Pada pemilihan umum 1955, partai ini meraih tempat kedua dengan jumlah pemilih 7,6 juta (20,9 persen), di bawah Partai Nasional Indonesia, yang diketuai Presiden Soekarno (22,3 persen). Di bawah Masyumi, Nahdlatul Ulama (18,4 persen), dan PKI (16 persen).
Tiga tahun setelah Pemilu, Soekarno membubarkan Masyumi dan Partai Sosialis Indonesia (PSI) tanpa proses pengadilan. Soekarno menuduh tokoh-tokoh Masyumi dan PSI terlibat Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI), gerakan yang menuntut otonomi daerah. Selain menuntut otonomi daerah, karena Sekarno dinilai mengabaikan kesejahteraan rakyat di luar Jawa, gerakan ini juga sebagai reaksi atas semakin kuatnya pengaruh PKI dalam pemerintahan Soekarno.
Sosok Negarawan Sejati
Sebagai pemimpin partai Islam Masyumi, peran besar Natsir dalam menyatukan kembali Indonesia dalam beberapa negara bagian, banyak dilupakan. Natsir yang ketika itu ketua Fraksi Masyumi di parlemen sementara, memperjuangan mosi, yang kemudian dikenal dengan nama Mosi Integral Natsir. Mosi ini muncul sebagai reaksi Natsir atas hasil Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag, Belanda, 1949. KMB menyetujui pembentukan Republik Indonesia Serikat (RIS) dan 16 negara bagian lainnya. Natsir melihat, hasil KMB ini sebagai rencana Belanda untuk menguasai Indonesia kembali.
Di parlemen, Mosi Integral Natsir disepakati pada 2 April 1950. Semua fraksi setuju RIS berserta 16 negara bagian dibubarkan, diganti menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Tugas Natsir berikutnya membujuk para pemimpin RIS dan 16 negara bagian untuk bergabung dalam NKRI. Melalui lobi dan keluwesan diplomasi, Natsir berhasil membujuk para pemimpin tersebut. Wakil Presiden Mohammad Hatta menyebut Mosi Intergral Natsir ini bagaikan proklamasi kedua Indonesia setelah Proklamasi 17 Agustus 1945.
Setelah negara bagian bersatu, Presiden Soekarno mengangkat Natsir sebagai Perdana Menteri pertama Indonesia (1950-1951). Sebagai pemimpin partai Islam dan memperjuangkan nilai-nilai Islam dalam politik, Natsir justru melibatkan pemimpin partai Kristen dan Katolik dalam kabinetnya, selain kalangan sosialis. Natsir menyebutnya sebagai zaken kabinet, kabinet ahli. Mengenai hal ini, Natsir berprinsip negara ini harus diurus bersama. ''Untuk kepentingan bangsa, para politisi tidak bicara kami dan kamu, tetapi kita,'' kata Natsir dalam wawancara dengan Majalah Editor, 1988.
Pada 26 April 1951, Natsir mundur antara lain karena perbedaan tajam dengan Soekarno soal ideologi. Soekarno cenderung nasionalisme sekuler, seperti Turki semasa Mustafa Kemal Ataturk, yang menjadi idola Soekarno. Menyusul gerakan PRRI dan pembubaran Masyumi serta PSI, pemerintah Soekarno menjebloskan Natsir ke penjara tanpa proses pengadilan, di Malang, pada 1962. Setelah pemerintah Soekarno jatuh dan diganti Orde Baru, Natsir dibebaskan. Namun, Masyumi tetap tidak boleh berdiri. Semangat Masyumi menjalar di Partai Muslimin Indonesia (Parmusi).
Pada masa Orde Baru, Natsir tetap dikucilkan. Sebagai ketua Kongres Muslim Sedunia, Sekjen Rabitah al-Alam al-lslami (World Moslem League), dan Presiden The Oxford Centre for Islamic Studies London, Natsir dilarang ke luar negeri mengikuti pertemuan organisasi-organisasi itu. Natsir dicekal, terutama setelah menandatangani Petisi 50 yang mengkritisi Soeharto. Namun demikian, sebagai negarawan, Natsir tetap mengambil peran untuk kebaikan bangsa dan negara. Bahkan ketika Presiden Soeharto menemui kesulitan untuk memulihkan hubungan dengan Malaysia, Natsir mengirim surat kepada sahabatnya PM Malaysia, Tengku Abdurrahman, agar menerima utusan Soeharto dalam memulihkan hubungan kedua negara. Tidak hanya itu. Saat Orde Baru gagal meyakinkan Jepang untuk membantu pendanaan untuk Indonesia, Natsir menyurati sahabatnya, Perdana Menteri Jepang Takeo Fukuda. Dari sini, atas inisiatif Jepang, didirikanlah International Governmental Group for Indonesia (IGGI). "Mr Natsir meyakinkan saya untuk membantu Pemerintah Indonesia," kata Fukuda. Ketika Natsir wafat, 14 Maret 1993, Fukuda mengirim surat kepada keluarga Natsir. Surat itu menyatakan kesedihan mendalam dan sangat kehilangan besar atas wafatnya Natsir, sahabat baiknya.
Natsir adalah contoh terbaik yang menjalankan poilitik beretika dan mendahului kepentingan negara di atas kepentingan kelompok. Dalam perdebatan hangat soal dasar negara di konstituante, Natsir memutuskan menerima Pancasila, yang disebutnya sebagai titik temu dan jalan tengah semua golongan. Di Parlemen, Natsir sering berdebat keras soal-soal yang prinsipil dengan Ketua PKI, DN Aidit, namun setelah itu mereka minum teh dan pulang berboncengan dari Pejambon. "Sebagai pemimpin Masyumi, saya biasa minum teh bersama tokoh-tokoh PKI. Kami memusatkan diri kepada masalah, bukan pada pribadi," kata Natsir kepada Majalah Editor, 23 Juli 1988.
Pada masa Orde Baru, Natsir sangat dihormati di luar negeri. Semasa hidupnya, Natsir telah menerima berbagai penghargaan berkat jasanya. Pada 1957, misalnya, ia menerima bintang Nichan Istikhar (Grand Gordon) dari Raja Tunisia, Lamine Bey, karena jasanya menolong perjuangan kemer dekaan rakyat Afrika Utara. Selain itu, sosok yang oleh Bruce Lawrence, seorang pakar studi Islam, dijuluki sebagai tokoh paling menonjol dalam membantu pembaruan Islam ini mendapat penghargaan dari Arab Saudi. Raja Faisal Arab Saudi memberinya "Faisal Award" pada 1980. Natsir, yang menulis 45 buku (diantaranya Islam Sebagai Dasar Negara, Agama dan Negara Dalam Perspektif Islam, Debat Dasar Negara Islam dan Pancasila, Fikih Dakwah, Capita Selecta, Kebudayaan Islam Dalam Perspektif Sejarah, Dunia Islam Dari Masa Ke Masa, ad-Din au al-Ladiniyyah dan sebagainya), menerima Doktor Honoris Causa dari Universitas Libanon, juga penghargaan dari Universitas Kebangsaan Malaysia, dan Universitas Sain dan Teknologi Malaysia. Bahkan pemikiran dan perjuangan Natsir tidak saja membuatnya diakui sebagai pahlawan nasional di Indonesia tapi juga di Malaysia. Hal itu terlihat dari seminar "Serantau Memperingati 100 tahun Pahlawan Nasional Bapak Mohammad Natsir" yang diadakan oleh LSM Wadah (wadah pencerdasan umat Malaysia) dan Kolej Universiti Islam Antarbangsa Selangor (Kuis), pada 2009 silam.
Di Indonesia, setelah beberapa kali namanya dicoret, karena masih adanya kelompok yang tidak menyukainya, Natsir baru diberi gelar Pahlawan Nasional pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, 10 November 2008, lima belas tahun setelah Natsir wafat. Sebelumnya, Presiden BJ. Habibie memberi Bintang Republik Indonesia Adipradana, 6 November 1998. Penggemar karya-karya Mozart ini pada hari ini 17 Juli 2021 genap 113 tahun. Ia adalah tokoh besar dalam sejarah bangsa ini, teladan kesederhanaan dan berprinsip. Pemikiran, sikap, perjuangan, dan kenegarawannya, mendahulukan kepentingan bangsa-negara dan bukan pendendam. Namun pesan jenialnya "Jangan berhenti tangan mendayung, nanti arus membawa hanyut" dalam buku "Pesan Perjuangan Seorang Bapak; Percakapan Antar Generasi" terbitan Bulan Bintang dan Media Dakwah (1989), yang belakangan diterbitkan oleh Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) dengan judul yang sama, masih terngiang hingga kini. Ia pun benar-benar menjadi teladan bangsa ini dalam berwarga negara, melakukan advokasi masyarakat, melahirkan generasi unggul, menggerakkan organisasi, menghadapi perbedaan, memimpin negara dan melanjutkan sejarah peradabannya. (*)
* Oleh: Syamsudin Kadir, Penulis Buku "Indahnya Islam Di Indonesia" dan "Kalo Cinta, Nikah Aja!"
Komentar
Posting Komentar