Lima Kaidah Pokok dalam Fiqih
SEBAGAI umat Islam, kita mengakui bahwa banyak masalah baru yang
tidak terdapat penyelesaiannya di dalam al-Qur’an dan as-Sunnah, sehingga para
pakar hukum Islam harus berijtihad untuk memecahkannya. Meskipun demikian,
perlu diingat bahwa mereka itu dalam berijtihad tidaklah secara acak, tetapi
selalu berpegang kepada dasar-dasar umum yang terdapat dalam sumber dan dasar
pokok tersebut sehingga hukum-hukum yang mereka rumuskan melalui ijtihad itu
tidak boleh menyimpang dari dasar-dasar umum tersebut.
Untuk
menjawab masalah-masalah baru yang belum ada penegasan hukum-hukumnya di dalam
al-Qur’an dan as-Sunnah, maka para pakar hukum Islam (fuqaha) berupaya memecahkan dan mencari hukum-hukumnya dengan
menggunakan ijtihad. Namun ijtihad itu tidak boleh lepas dari al-Qur’an dan
as-Sunnah.
Dikatakan
demikian, karena ijtihad tersebut dilaksanakan dengan cara mengqiaskan kepada
yang sudah ada di dalam al-Qur’an dan as-Sunnah, menggalinya dari aturan-aturan
umum (al-qawanin al-‘ammah) dan prinsip-prinsip yang universal (al
mabadi’ al-kulliyah) yang terdapat dalam al-Qur’an dan as-Sunnah dan
menyesuaikannya dengan maksud dan tujuan syariat (al-maqashid al-syari’ah) yang juga terkandung dalam al-Qur’an dan
as-Sunnah.
Aturan-aturan
umum dan prinsip-prinsip yang universal itulah yamg disebut dengan al-qawanin
al-fiqhiyyah (kaidah-kaidah fiqh). Dalam pembahasan kaidah-kaidah fiqh
banyak terdapat macam-macam kaidah salah satunya tentang kaidah-kaidah asasi/pokok
(al-Qawaid al-Khamsah).
Dalam
kaidah-kaidah asasi/pokok terdapat 5 macam kaidah. Untuk lebih mengetahui
macam-macam kaidah dalam al-Qawaid al-Khamsah dan beberapa hal terkait dengannya akan dibahas dalam bab selanjutnya.
Pengertian
Kaidah Pokok
Kaidah
pokok semula dinamakan kaidah ushul, yakni kaidah pokok dari segala kaidah
fiqhiyah yang ada. Setiap permasalahan furu’iyah dapat diselesaikan dengan
kalimat kaidah tersebut walaupun seorang mujtahid belum sempat memperhatikan
dasar-dasar hukum secara tafshili.[1]
Kaidah
pokok itu digali dari sumber-sumber hukum baik melalui al-Qur’an dan as-Sunnah
maupun dalil-dalil istinbath. Karena itu, setiap kaidah didasarkan atas
nash-nash pokok yang dapat dinilai sebagai standar hukum fiqih, sehingga sampai
dari nash itu dapat diwakili dari sekian populasi nash-nash hukum.
Lima
Kaidah Pokok, Dasar Hukum dan Aplikasinya
Kaidah
kaidah fiqih yang memiliki
posisi penting dalam diskursus kajian hukum Islam adalah
sebagai berikut :
Pertama, الأ
مور بمقا صد ها, setiap perkara tergantung kepada
niatnya.
Maksud
dari kaidah ini menjelaskan bahwa setiap tindakan seorang mukallaf akan mempunyai beban hukum dan
hasil (natijah) yang berbeda beda
tergantung niat atau maksudnya .
Dasar hukum qaidah ini adalah sabda Nabi Muhammad SAW. riwayat Umar bin Khattab ra.:
Artinya
: “Sesungguhnya segala amal perbuatan
itu tergantung kepada niatnya, dan setiap orang akan mendapatkan apa yang ia
niatkan.
Barang siapa yang hijrahnya karena Alloh dan Rasul-Nya, maka hijrahnya
untuk Alloh dan Rasul-Nya. Dan barang siapa yang hijrahnya karena dunia
atau karena wanita yang ingin dinikahinya, maka hijrahnya untuk apa yang ia
tuju.” (HR. al-Sittah, Enam Ahli Hadits)
Selain
hadits tersebut, terdapat ayat al-Qur’an, misalnya, QS. Al-Nisa’ ayat 100.
Artinya
: “Dan barang siapa yang keluar dari
rumahnya dengan maksud berhijrah kepada Alloh dan Rasul-Nya, kemudian ia menemui kematian,
sesungguhnya ia telah menerima pahala dari Alloh, Alloh Maha Pengampun lagi
Maha Penyayang.”
Kemudian QS. Al-Nisa’ ayat 144,
Artinya
: “Siapa yang mengerjakan hal itu
karena mencari keridoan Alloh (mardhatillah),
akan kami beri pahala yang besar.”
QS. Al-Bayyinah ayat 5,
Artinya
: “Dan mereka tidak disuruh melainkan
supaya beribadah kepada Alloh dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam agama yang lurus.”
Aplikasi kaidah ini dapat ditemukan dalam berbagai kasus.
Misal, seorang yang melaksanakan shalat zuhur, tapi niatnya melaksanakan shalat
ashar, maka shalatnya tidak sah.[2]
Selain itu, termasuk juga
ketika seseorang yang bersumpah untuk tidak berbicara dengan Ahmad, maka
sumpahnya hanya berlaku bagi Ahmad, tidak untuk yang lainnya.
Kedua, ا
لضر ا ر يز ا ل , kemudaratan
harus dihilangkan
Konsep
kaidah ini memberikan pengertian bahwa manusia harus dijauhkan dari idhrar (tindakan menyakiti), baik oleh
dirinya sendiri maupun oleh orang lain, dan tidak semestinya ia menimbulkan
bahaya (menyakiti) pada orang lain.
Dasar
hukum qaidah fiqih ini adalah hadits
Rasululloh SAW, yang bersumber dari Sa,id al-Khudri ra dan yang lainnya yang
berbunyi :
Artinya
: “Tidak boleh memadaratkan diri
sendiri dan orang lain, barang
siapa yang memadaratkan (orang lain), Alloh akan memadaratkannya. Siapa yang menyulitkan (orang
lain), Alloh akan menyulitkannya.”
(HR. Al-Hakim dan lainnya)
Kemudian,
Artinya
: “Di antara kebaikan seseorang muslim
adalah meninggalkan apa-apa
yang tidak bermanfaat baginya.” (HR.Tirmidzi)
Artinya
: “Dan janganlah seorang ibu menderita
kesengsaraan karena anaknya” (Al-Hadits)
Selain itu, juga QS. Al-Baqarah ayat 231,
Artinya
: “Janganlah kamu rujuki mereka untuk
memberi kemadaratan, karena dengan demikian kamu menganiaya mereka.”
Aplikasi kaidah ini, misalnya, tidak boleh membunuh anak
karena alasan ekonomi. Atau dalam kondisi tertentu, misalnya, ketika memakan
makanan karena rukhshoh (keringanan) atas dasar darurat (ad-dharurat), maka
tidak boleh makan sampai berlebihan, tapi sekadarnya saja.
Ketiga, Ø£ لعا د Ø© Ù…Øكمة,
adat
kebiasaan dapat dipertimbangkan menjadi hukum
Menurut
Muhammad al-Zarqa, adat dapat dibagi ke dalam dua kelompok, yaitu : ammah
dan khassah. Adat ammah (adat
umum) maksudnya adalah suatu perbuatan atau prilaku yang berlaku umum di
seluruh negara, sedangkan 'adat khassah (adat khusus) maksudnya
adalah suatu perbuatan atau prilaku yang berlaku umum di sebuah negara. Dengan
demikian , kata Muhammad al-Zarqa.
Baik adat yang umum maupun adat yang khusus apabila tidak ada nash (al-Qur;an
dan Sunnah) yang menentangnya maka adat dapat dijadikan hujah syara’.[3]
Tetapi
apabila adat yang yang umum dan adat yang kusus bertentangan dengan
(al-Qur’an
dan sunnah Rasul) maka perbuatan tersebut tertolak.
Sumber
hukum qaidah fiqih ini adalah hadits Rasululloh SAW.:
Artinya
: “Barang siapa yang mengerjakan suatu
amalan , tampa di dasari perintah kami, maka tertolak.”
( HR. Muslim)
Artinya: “Apa
yang dipandang baik oleh muslim maka baik pula disisi Allah”. (HR. Ahmad
dari Ibnu Mas’ud).
Kemudia hadits Rasululloh SAW. yang
diriwayatkan oleh Imam Ahmad,
Al-Bajjar dan Ibnu Mas’ud.
Artinya
: “Apa apa yang di pandang baik oleh
orang islam, maka
menurut Allopun di golongkan sebagai
perkara baik, dan apa saja yang dipandang buruk oleh orang Islam, maka
menurut Alloh pun
digolongkan sebagai perkara yang buruk.”
Kemudian firman Alloh SWT.,
Artinya
: “Dan dia sekali kali tidak
menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan.”
(QS. Al-Hajj: 78)
Menurut Rachmat Syafei (2007), aplikasi kaidah ini,
misalnya, mereka yang mengajarkan Al-Qur’an dibolehkan menerima gaji, hal itu
antara lain agar Al-Qur’an tetap eksis di kalangan umat Islam.[4]
Keempat, ا
ليقن لا يز ا با لسك , keyakinan
tidak dapat digugurkan oleh keraguan
Kaidah
ini menjelaskan bahwan eksitensi keyakinan tidak akan hilang oleh keraguan.
Keyakinan dapat hilang
apabila didukung oleh dasar hukum (dalil) yang pasti (qath’i).
Diantara
dasar hukum qaidah ini adalah firman
Alloh SWT., (yang artinya),
“Dan kebanyakan mereka
tidak mengikuti kecuali persangkaan saja. Sesungguhnya persangkaan itu
tidak sedikitpun berguna untuk mencapai kebenaran.” (QS. Yunnus
: 36)
Kemudian sabda Rasululloh SAW. yang diriwayatkan oleh
Bukhari/Muslim dari Abdullah bin Zaid (yang artinya),
“Nabi
mendapat pengaduan bahwa seseorang merasa bingung oleh sesuatu dalam shalatnya,
Nabi bersabda; janganlah ia pergi sehingga benar-benar mencium baunya”.
Sabda
Rasululloh yang lain (yang artinya), “Apabila salah seorang diantara
kalian merasa ragu dalam shalatnya, apakah ia telah mengerjakan tiga atau empat
rakaat,maka buanglah keraguan dan peganglah apa yang meyakinkan.”
(HR. Muslim)
Menurut Rachmat Syafei (2007), aplikasi qaidah ini,
misalnya, apabila seseorang sedang melakukan shalat ashar, kemudian dia ragu
apakah sudah empat rakaat atau baru tiga rakaat, maka ambillah yang lebih
yakin, yaitu tiga rakaat. Namun, sebelum salam akhir disunnahkan untuk sujud
sahwi dua kali.[5]
Kelima, ا
Ù„ْÙ…َØ´َÙ‚َÙ‡َ تَجْÙ„ِبُ ا لتَÙŠْسير , kesulitan (
kesempitan ) dapat menarik kemudahan
Kaidah fiqih ini menjelaskan sesuatu
kesusahan mengharuskan adanya kemudahan. Maksudnya, suatu hukum yang mengandung
kesusahan dalam pelaksanaanya atau memadaratkan dalam pelaksanaanya, baik
kepada jiwa, ataupun harta seorang mukalaf, diringankan sehingga tidak
memadaratkan lagi. Keringanan tersebut dalam dalam Islam dekenal dengan istilah
rukhsah.[6]
Hal
itu antara lain karena kemampuan seorang makallah itu terbatas. Kesulitan yang
dianggap bisa meringankan taklif kepada seorang mukallaf, menurut Asy-Asyatibhi
antara lain sebagai berikut :
Pertama, karena khawatir akan
terputusnya ibadah dan khawatir akanadanya kerusakan bagi dirinya, baik jiwa, badan, hartanya,
maupun kedudukannya.
Kedua, ada rasa takut akan terkuranginya
kegiatan-kegiatan sosial yang berhubungan dengan sosial kemasyarakatan. Karena
hubungan tersebut dalam Islam bisa dikatagorikan sebagai ibadah juga.
Sumber
hukum qaidah
fiqih ini adalah beberapa firman
Alloh SWT.,
Artinya
: “Alloh menghendaki kemudahan bagimu,
dan Dia tidak menghendaki kesukaran bagimu.”
( QS. Al-Baqarah: 185 )
Artinya
: “Dan dia tidak
menjadikan untukmu dalam agama suatu kesulitan.” (Qs. Al-Hajj: 78)
Kemudian hadits Rasulullah SAW.:
Artinya
: “Agama itu memudahkan, agama yang
disenangi oleh Alloh adalah agama yang benar dan mudah.” (HR. Bukhari)
Aplikasi kaidah, misalnya, bolehnya buka puasa ketika
berpergian atau ketika sakit.
Kedudukan
dan Kegunaan Kaidah Pokok
Kedudukan kaidah pokok dalam dinamika dan pemikiran fiqih
tentu saja penting dan strategis. Sebab, konteks hukum tentu saja menemukan
berbagai masalah kekinian yang semakin rumit dan kompleks. Sehingga
penyelesaian bahkan untuk menemukan kedudukan hukum suatu kasus, misalnya,
membutuhkan konsepsi yang bersifat aplikatif namun tidak bertentangan prinsip
dan nilai dasar sumber pokok hukum berupa al-Qur’an dan as-Sunnah. Itulah yang
menjadi argumentasi mengapa kaidah pokok dalam fiqih menjadi penting dan
strategis.
Menurut Jaih Mubarok (2002), kedudukan kaidah pokok dalam
fiqih dapat dibedakan menjadi dua, yaitu dalil pelengkap dan dalil mandiri.
Yang dimaksud dalil pelengkap adalah bahwa kaidah fiqih digunakan sebagai
sebagai dalil setelah menggunakan dua dalil pokok, yaitu al-Qur’an dan
al-Sunnah. Sedangkan yang dimaksud dengan dalil mandiri adalah bahwa kaidah
fiqih digunakan sebagai dalil hukum yang berdiri sendiri, tanpa menggunakan dua
dalil pokok.[7]
Menurut Ali Ahmad Hasan An-Nadwi (1994), kegunaan kaidah
fiqih bagi peminat hukum Islam adalah:
Pertama, mempermudah dalam menguasai materi hukum, karena
telah dijadikan patokan yang mencakup banyak persoalan.
Kedua, kaidah membantu menjaga dan menguasai
persoalan-persoalan yang banyak diperdebatkan, karena kaidah dapat
mengelompokkan persoalan-persoalan berdasarkan ‘illat yang dikandungnya.
Ketiga, mendidik orang yang berbakat fiqih dalam
melakukan analogi (ilhaq) dan takhrij un tuk mengetahui permasalahan-permasalahan
baru.
Keempat, mempermudah orang yang berbakat fiqih dalam
mengikuti (memahami) bagian-bagian hukum dengan mengeluarkannya dari tema yang
berbeda-beda serta meringkasnya dalam satu topik tertentu.
Kelima, meringkas persoalan-persoalan dalam satu ikatan
menunjukkan bahwa hukum dibentuk untuk menegakkan maslahat yang saling
berdekatan atau menegakkan maslahat yang lebih besar.
Keenam, pengetahuan tentang kaidah merupakan kemestian
karena kaidah mempermudah cara memahami furu’ yang bermacam-macam.[8]
Sedangkan menurut Ade Dedi Rohayana (2008), tujuan kaidah
fiqhiyah adalah:
Pertama, untuk memelihara dan menghimpun berbagai masalah
yang sama, juga sebagai barometer dalam mengidentifikasi berbagai hukum yang
masuk dalam ruang lingkupnya.
Kedua, untuk menunjukkan bahwa hukum-hukum yang sana
‘illatnya meskipun berbeda-beda merupakan satu jenis ‘illat dan maslahat.
Ketiga, untuk mempermudah fuqaha dalam menetapkan hukum
perbuatan seorang mukalaf.
Secara sederhana, kegunaan kaidah fiqih adalah sebagai
pengikat (ringkasan) terhadap berbagai persoalan fiqih. Menguasai satu kaidah
berarti telah menguasai berbagai persoalan fiqih. Oleh karena itu, memahami
kaidah fiqih dapat memudahkan siapapun dalam menguasai persoalan fiqih.[9]
Kesimpulan
Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan, pertama, kaidah pokok
semula dinamakan kaidah ushul, yakni kaidah pokok dari segala kaidah fiqhiyah
yang ada. Setiap permasalahan furu’iyah dapat diselesaikan dengan kaidah
tersebut..
Kedua, kaidah pokok itu digali dari
sumber-sumber hukum baik melalui al-Qur’an dan as-Sunnah maupun dalil-dalil
istinbath. Karena itu, setiap kaidah didasarkan atas nash-nash pokok yang dapat
dinilai sebagai standar hukum fiqih.
Ketiga, kedudukan kaidah pokok dalam dinamika dan
pemikiran fiqih tentu saja penting dan strategis. Sebab, konteks hukum tentu
saja menemukan berbagai masalah kekinian yang semakin rumit dan kompleks.
Sehingga penyelesaian bahkan untuk menemukan kedudukan hukum suatu kasus,
misalnya, membutuhkan konsepsi yang bersifat aplikatif namun tidak bertentangan
prinsip dengan dan
nilai dasar sumber pokok hukum berupa al-Qur’an dan as-Sunnah.
Keempat, kegunaan kaidah fiqih adalah sebagai
pengikat (ringkasan) terhadap berbagai persoalan fiqih. Menguasai satu kaidah
berarti telah menguasai berbagai persoalan fiqih. Oleh karena itu, memahami
kaidah fiqih dapat memudahkan siapapun dalam menguasai persoalan fiqih.
Daftar
Pustaka
Ade Dede
Rohayana, Ilmu Qawa’id Fiqhiyyah;
Kaidah-Kaidah Hukum Islam, Jakarta, Gaya Media Pratama, 2008.
A.
Djazuli, Kaidah-Kaidah Fikih, Jakarta, Prenada Media Group, 2006.
Jaih
Mubarok, Kaidah Fiqh; Sejarah dan Kaidah Asasi, Jakarta, Raja Grafindo
Persada, 2002.
Rachmat
Syafei, Ilmu Ushul Fiqih, Bandung, Pustaka Setia, 2007.
Usman
Muhlish, Kaidah-Kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyah, Jakarta, Raja Grafindo,
1996.
Sumber
lain:
Oleh: Syamsudin
Kadir—Direktur Eksekutif Penerbit Mitra Pemuda, Penulis buku
“Membangun Pendidikan dan Bangsa yang Beradab”.
[1] Ini merupakan pendapat
Wardah C. dalam http://wardahcheche.blogspot.com/2013/11/kaidah-lima-asasi-ushul-fiqh.html;
penyusun makalah mengakses link-nya pada Rabu 4
Februari 2015 pukul 22.00 WIB.
[3] Ini merupakan pendapat
Muhammad al-Zarqa, sebagaimana yang dikutip oleh Herman Ambar dalam http://hermanambar.blogspot.com/2012/11/lima-kaidah-pokok-fiqih.html;
penyusun makalah mengakses link-nya pada Kamis 5 Februari 2015 pukul 20.00 WIB.
[6] Lebih detail dapat dibaca dalam Jaih Mubarok, Kaidah Fiqh; Sejarah dan
Kaidah Asasi,
(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), hal. 139-145
[7] Jaih Mubarok, Kaidah Fiqh; Sejarah dan Kaidah Asasi, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002),
hal. 29
[9] Ade Dedi Rohayana, Ilmu Qawa’id Fiqhiyyah;
Kaidah-Kaidah Hukum Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2008), hal. 38
Komentar
Posting Komentar