Sumber Hukum Pidana Islam



ISLAM adalah agama yang universal dan sempurna. Universal, karena ia mengatur tentang seluruh kehidupan umat manusia, baik dalam level individu, keluarga, masyarakat bahkan bangsa juga negara. Sempurna, karena seluruh ajarannya sempurna dan merupakan penyempurnaan dari syariat Allah yang diturunkan kepada para nabi dan rasul sebelum nabi Muhammad Saw. (Syed Naquib Al-Attas, 2010).  Maka, Islam pun–menurut Wan Mohm Nor Wan Daud (2010)—dapat juga disebut sebagai agama kemanusiaan dan agama peradaban.  


Islam adalah suatu sistem yang lengkap; ia dapat mengatasi segala gejala kehidupan. Ia adalah negara dan tanah air, atau pemerintahan dan bangsa. Ia adalah moral dan potensi atau rahmat dan keadilan. Ia adalah pengetahuan dan undang-undang atau ilmu dan keputusan. Ia adalah materi dan kekayaan, atau pendapatan dan kesejahteraan. Ia adalah jihad dan dakwah, atau tentara dan ide. Begitu pula, ia adalah akidah yang benar dan ibadah yang sah.[1]

Dalam aspek syari’at secara umum, Islam bukan saja mengatur soal ibadah tapi juga soal muamalah. Dalam konteks hukum, Islam bukan saja mengatur persoalan perdata, tapi juga persoalan pidana (Jinayah). Bahkan, Islam bukan saja mengatur seluk beluk hukumnya, tapi juga proses pelaksanaan hukumnya, termasuk jenis hukuman untuk tiap pelanggaran atas hukum-hukumnya. Maka, Islam pun kerap disebut juga sebagai agama yang sangat adil dan bijaksana dalam penegakkan hukum. Bahkan ia dikategorisasi sebagai agama yang sangat manusiawi dan beradab, sebab ia adil dalam menempatkan manusia di hadapan hukum (Topo Santoso, 2000).

Hukum pidana Islam (jinayah) adalah bagian dari hukum Islam. Hukum pidana Islam (jinayah) adalah ketentuan yang mengatur tentang perbuatan-perbuatan kejahatan terhadap manusia dalam hal hal-hal penting seperti badan, jiwa, kehormatan, akal dan sebagainya (Jimly Asshidiqie, 2003). 

Hukum Islam bersumber dari Al-Qur’an dan As-Sunnah serta sumber lain yang dibenarkan syari’at sebagaimana yang diisyaratkan oleh Allah Saw. dalam Al-Qur’an dan diisyaratkan oleh Rasulullah Saw. dalam banyak sabdanya. Dalam kajian hukum Islam, misalnya Ijma’, Qiyas dan serupanya.

Masing-masing keempat sumber tersebut (Al-Qur’an, As-Sunnah, Ijma’, dan Qiyas) saling berhubungan, sebab semuanya membawa spirit yang sama dan berpijak pada Wahyu utama Allah Swt. berupa Al-Qur’an. Oleh karena itu—menurut A. Rahman I.Doi (2002: 87)—kekuatan final bagi semua aktivitas nalar sehubungan dengan perkembangan syari’ah tanpa kecuali harus bersumber dari Al-Qur’an.

Karena hukum pidana Islam (Jinayah) merupakan bagian dari hukum Islam, maka dengan sendirinya hukum pidana Islam (Jinayah) mesti berpijak pada sumber hukum dari sumber hukum Islam berupa Al-Qur’an, As-Sunnah, Ijma’, dan Qiyas.

Sumber-sumber Hukum Pidana Islam

Hukum Pidana Islam (Jinayah) adalah bagian dari hukum Islam. Jumhur fuqaha’ menyepakati bahwa sumber-sumber hukum Islam pada umumnya ada 4, yakni Al-Qur’an, As-Sunnah atau Al-Hadits, Ijma’, dan Qiyas. Selain itu, masih ada sumber lain yang diperselisihkan, seperti Istihsan, Ijtihad, Maslahat Mursalah, Urf, Sadduz Zari’ah. Maka hukum pidana Islam pun bersumber dari sumber-sumber tersebut.[2]
Pembahasan ini hanya fokus membahas sumber hukum Islam yang disepakati secara umum, berupa Al-Qur’an, As-Sunnah atau Al-Hadits, Ijma’, dan Qiyas.

Pertama, Al-Qur’an

Al-Qur’an adalah sumber hukum Islam yang pertama yang memuat kumpulan beberapa Wahyu yang telah diturunkan kepada nabi Muhammad Saw. Diantara kandungan isinya ialah peraturan kehidupan manusia dalam hubungannya dengan Allah Swt., dengan dirinya sendiri, sesama manusia dan hubungannya dengan alam beserta makhluk lainnya.[3]

Sebagaian besar umat Islam sepakat menetapkan sumber ajaran Islam adalah Al-Qur’an, As-Sunnah dan Ijtihad. Kesepakatan itu tidak semata-mata didasarkan kemauan bersama tapi kepada dasar-dasar normatif yang berasal dari Al-Qur’an dan As-Sunnah sendiri, seperti yang disebutkan  dalam Al-Qur’an surat An-Nisa’ ayat 105,

Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu, dan janganlah kamu menjadi penantang (orang yang tidak bersalah), karena (membela) orang-orang yang khianat.[4]

Diantara argumentasi yang kuat bahwa keseluruhan Al-Qur’an (baca: ayat Al-Qur’an) adalah nyata (haq) dapat ditemukan dalam beberapa surat seperti QS. Yunus ayat 36,  

Dan kebanyakan mereka tidak mengikuti kecuali persangkaan saja. Sesungguhnya persangkaan itu tidak sedikitpun berguna untuk mencapai kebenaran. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang mereka kerjakan.

Kemudian dalam QS. Yunus ayat 37,

tidaklah mungkin Al-Quran ini dibuat oleh selain Allah; akan tetapi (Al-Quran itu) membenarkan Kitab-kitab yang sebelumnya dan menjelaskan hukum-hukum yang telah ditetapkannya, tidak ada keraguan di dalamnya, (diturunkan) dari Tuhan semesta alam.

Diantara ayat-ayat al-Qur’an yang berhubungan dengan hukum pidana Islam (Jinayah) adalah sebagai berikut:

QS. Al-Isra’ ayat 32, Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji, dan suatu jalan yang buruk.”

QS. An-Nur ayat 4, Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya,  dan mereka itulah orang-orang yang fasik.”

QS. Al-Baqarah ayat 219, Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: Pada keduanya terdapat dosa yang besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya. Dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: yang lebih dari keperluan. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berfikir.”

QS. Al-Maidah ayat 38, Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.

Kedua, Al-Sunnah atau Al-Hadits

Sunnah dalam bahasa Arab berarti tradisi, kebiasaan, adat-istiadat. Dalam terminologi Islam, sunnah berarti perbuatan, perkataan, dan perizinan Nabi Muhammad Saw. Pengertian sunnah tersebut sama dengan pengertian hadits.

Al-Hadits dalam bahasa Arab berarti baru, dekat (qarib), atau berita (khabar) atau kabar.[5]

Lebih rinci, As-Sunnah adalah segala sesuatu yang datang dari nabi selain Al-Qur’an, baik berupa perkataan, perbuatan atau taqrir yang bisa dijadikan sebagai dasar penetapan hukum syara’.[6]

Menurut ulama Ushul Fiqih, As-Sunnah adalah apa yang bersumber dari nabi Saw. selain Al-Qur’an baik berupa perkataan, perbuatan, atau pengakuan beliau.[7]

Sedangkan menurut ulama Hadits, As-Sunnah adalah apa yang disandarkan kepada nabi Saw. baik berupa perkataan, perbuatan, pengakuan, sifat, atau sirah beliau.[8]

Dalam kajian hukum Islam, As-Sunnah—atau sebagian ulama menyebutnya dengan Al-Hadits—memiliki beberapa fungsi, yaitu:

Pertama, Sebagai sumber hukum Islam kedua setelah Al-Qur’an

Al-sunnah atau Al-Hadits merupakan sumber hukum ajaran Islam yang kedua setelah Al-Qur’an. Hal ini berdasarkan QS. Al-Anfal ayat 20,  Hai orang-orang yang beriman taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kamu berpaling dari padanya, sedang kamu mendengar perintah -perintah-Nya”.

Kedua, Sebagai penafsir dan penguat ayat Al-Qur’an

Selain Al-Qur’an, As-Sunah juga berfungsi untuk menafsirkan dan menjelaskan ayat-ayat Al-Qur’an. Secara garis besar, ayat-ayat Al-Qur’an yang hanya menjelaskan dasar-dasar atau kerangka global permasalahan tertentu, maka As-Sunnah atau Al-Hadits berfungsi untuk menjelaskan secara detail. Al-Qur’an menjelaskan hal-hal yang bersifat umum—yang tentu saja membutuhkan penjelasan lebih rinci—maka nabi Muhammad Saw. menjelaskan secara terperinci melalui sabda, perbuatan dan sikap beliau.

As-Sunnah memberi penjelasan dan pengertian, pembatasan dari keumuman, memberikan rincian dan sebagai hukum baru selama tidak termaktub secara eksplisit maupun implisit dalam Al-Qur’an.

Selain itu, dalam konteks yang lain As-Sunnah juga dapat berfungsi sebagai penguat (mu’akkid) hukum yang difirmankan Allah dalam Al-Qur’an. Hal ini dapat dipahami dalam banyak persoalan yang terdapat dalam Al-Qur’an, yang kemudian pada tataran teknisnya diperjelas lagi oleh Al-Hadits sekaligus memperkuatkannya. 

Jadi, selain sebagai penafsir, As-Sunnah atau Al-Hadits juga dapat menjadi penguat ayat-ayat Al-Qur’an. Hal ini sebagaimana yang disabdakan oleh nabi Muhammad Saw., “Sungguh aku telah diberi Al-Qur’an dan serupa itu (yaitu As-Sunnah) bersamanya” (HR. Bukhari).[9]

Diantara contoh Hadist terkait hukum pidana Islam (Jinayah) adalah sebagai berikut :

Tentang larangan berzina

Dari Anas ibn Malik ra ia berkata : Li’an pertama yang terjadi dalam Islam ialah bahwa Syarik ibn Sahman dituduh oleh Hilal bin Umayyah berzina dengan istrinya. Maka nabi berkata kepada Hilal: Ajukanlah saksi apabila tidak ada maka engkau akan kena hukuman had”. (Hadits diriwayatkan oleh Abu Ya’la dan perawi yang dipercaya).

Tentang khamar

Dari ibnu Umar .a bahwa nabi saw bersabda: setiap yang memabukkan adalah khamar dan setiap yang memabukkan adalah haram”. (HR. Muslim)

Tentang pencurian

Allah mengutuk pencuri telur tetap harus dipotong tangannya dan yang mencuri tali juga dipotong tangannya”.

Saya mendengar Rasulullah Saw., bersabda: Barang siapa yang datang kepada kamu sekalian, sedangkan kamu telah sepakat kepada seorang pemimpin, untuk memecah belah kelompok kalian maka bunuhlah dia.”

Ketiga, Ijma’

Menurut bahasa, Ijma’ mempunyai 2 arti yaitu : pertama, kesepakatan, seperti; perkataan: “Jama al qaumu ‘alaa kadzaa idzaa itafaquudlaini”, suatu kaum telah berijma’ begini, jika mereka sudah sepakat kepadanya. Kedua, kebulatan tekad atau niat (Racmat Syafe’i, 2007).
Menurut ahli Ushul, Ijma’ adalah kesepatan seluruh mujtahid Islam dalam suatu masa, sesudah wafat Rasulullah Saw. akan suatu hukum syariat yang amali (Jaih Mubarak, 2008).

Sedangkan menurut kajian hukum syara’, Ijma’ adalah kesepakatan seluruh mujtahid kaum muslimin disesuaikan masa setelah wafat nabi Saw., tentang suatu hukum syara’ yang amali.

Ijma’ juga dapat didefinisikan sebagai kesepakatan pandangan para sahabat Nabi Saw. juga kesepakatan yang dicapai dalam berbagai keputusan hukum dan dilakukan oleh para Mufti yang ahli, atau para Ulama dan Fuqaha dalam berbagai persoalan Din Al-Islam.[10]

Kehujahan Ijma’ sebagai sumber hukum pidana Islam (Jinayah) sesuai dengan QS. An-Nisa’ ayat 59,

“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Quran) dan Rasul (Sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian, yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”

Ibnu Abas menafsirkan bahwa, yang dimaksud Ulil Amri pada ayat tersebut adalah “Ulama”. Dengen demikian, maka Ijma’ ulama dapat dijadikan sebagai sumber hukum pidana Islam (Jinayah). 

Keempat, Qiyas

Dalam kehidupan kontenporer, sering sekali seringkali dihadapkan dengan berbagai permasalahan hukum yang tidak menemukan ketentuan hukumnya secara langsung dalam Al-Qur’an, Sunnah Rasul, ataupun Ijma’. Cara menyelesaikan masalah semacam ini adalah dengan mengikuti ketentuan-ketentuan yang telah ada (telah diketahui) hukumnya di dalam Al-Qur’an maupun As-Sunnah, kemudian menarik kesimpulan bahwa ketentuan yang telah ada hukumnya tersebut dapat diberlakukan karena adanya persamaan secara analogis. Cara semacam ini dalam terminologi fiqih disebut Qiyas.

Atau dalam ungkapan lain, Qiyas adalah asas hukum yang diperkenalkan untuk memperoleh kesimpulan logis dari suatu hukum tertentu yang harus dilakukan demi keselamatan kaum muslimin.[11]

Dalam pengertian lain, Qiyas adalah mempersembahkan hukum suatu perkara yang belum ada ketetapan hukumnya dengan suatu perkara yang sudah ada ketentuan hukumnya. Persamaan ketentuan hukum dimaksud didasari oleh adanya unsur-unsur kesamaan yang sudah ada ketetapan hukumnya dengan yang belum ada ketetapan hukumnya yang disebut illat.

Qiyas mempunyai empat rukun yaitu, pertama, asal (pokok), yaitu suatu peristiwa yang sudah ada nashnya yang dijadikan tempat meng-qiyas-kan. Asal disebut “maqish ‘alaih” (yang menjadi tempat mengqiyaskan), atau “mahmul ‘alaih” (tempat membandingkannya), atau “musyabbah bih” (tempat menyerupakannya). Ketiga, far’u (cabang), yaitu peristiwa yang tidak ada nashnya, dan peristiwa itulah yang hendak disamakan hukumnya dengan asalnya. Ia juga disebut ‘maqish’ (yang di-qiyas-kan) dan ‘musyabbah’ (yang diserupakan). Ketiga, hukum asal, yaitu hukum syara’ yang ditetapkan oleh suatu nash atau dikehendaki untuk menetapkan hukum itu kepada cabangnya; dan keempat, ‘illat, yaitu suatu sifat yang terdapat pada suatu peristiwa yang asal. Yang karena sifat itu, maka peristiwa asal itu mempunyai suatu hukum, dan oleh karena sifat itu terdapat pula pada cabang, maka disamakanlah hukum cabang itu dengan hukum peristiwa asal.[12]      

Kesimpulan

Hukum pidana Islam (Jinayah) adalah bagian dari hukum Islam yang bersumber pada Al-Qur’an, As-Sunnah atau Al-Hadits, Ijma’ dan Qiyas. Karena itu, hukum pidana Islam (Jinayah) mesti berpijak pada Al-Qur’an, As-Sunnah atau Al-Hadits, Ijma’ dan Qiyas.

Hukum Islam bersumber dari Al-Qur’an dan As-Sunnah serta sumber lain yang dibenarkan syari’at sebagaimana yang diisyaratkan oleh Allah dalam Al-Qur’an dan diisyaratkan oleh Rasulullah Saw. dalam banyak sabdanya. Dalam kajian hukum Islam, misalnya Ijma’, Qiyas dan serupanya.

Al-Qur’an adalah sumber hukum pokok daripada sumber-sumber yang lainnya, maka dalam setiap memutuskan perkara mesti pertama-tama berpedoman pada Al-Qur’an, atau yang tidak bertentangan dengan Al-Qur’an. Diantara kandungan isinya ialah peraturan kehidupan manusia dalam hubungannya dengan Allah Swt., dengan dirinya sendiri, sesama manusia dan hubungannya dengan alam beserta makhluk lainnya.

As-Sunnah adalah segala sesuatu yang datang dari nabi selain Al-Qur’an, baik berupa perkataan, perbuatan atau taqrir yang bisa dijadikan sebagai dasar penetapan hukum syara’.

Menurut ulama Ushul Fiqih, As-Sunnah adalah apa yang bersumber dari nabi Saw. selain Al-Qur’an baik berupa perkataan, perbuatan, atau pengakuan beliau.
Sedangkan menurut ulama Hadits, As-Sunnah adalah apa yang disandarkan kepada nabi Saw. baik berupa perkataan, perbuatan, pengakuan, sifat, atau sirah beliau.

Ijma’ adalah kesepakatan pandangan para sahabat Nabi Saw. juga kesepakatan yang dicapai dalam berbagai keputusan hukum dan dilakukan oleh para Mufti yang ahli, atau para Ulama dan Fuqaha dalam berbagai persoalan Din Al-Islam.

Qiyas adalah asas hukum yang diperkenalkan untuk memperoleh kesimpulan logis dari suatu hukum tertentu yang harus dilakukan demi keselamatan kaum muslimin.

Masing-masing keempat sumber tersebut (Al-Qur’an, As-Sunnah, Ijma’, dan Qiyas) saling berhubungan, sebab semuanya membawa spirit yang sama dan berpijak pada Wahyu utama Allah Swt. berupa Al-Qur’an. Oleh karena itu, kekuatan final bagi semua aktivitas nalar sehubungan dengan perkembangan syari’ah tanpa kecuali harus bersumber dari Al-Qur’an.

Daftar Pustaka

A. Rahman I. Doi, Penjelasan Lengkap Hukum-hukum Allah (Syariah), Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002.  
Abdullah Sulaiman, Sumber Hukum Islam, Jakarta: Sinar Grafika, 1995.
Ahmad Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam, Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1990.
Dewi Mulyani, Buku Pintar untuk Muslimah, Bandung: Penerbit Mizania, 2012.  
Manna Khalil Al-Qattan, Studi Ilmu-ilmu Al-Qur’an, Litera AntarNusa, Jakarta:  2009.
Manna Khalil Al-Qattan, Pengantar Studi Ilmu Hadits, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2009.
Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih, Bandung: Pustaka Setia, 2007.  
Syed Muhammad Naquib Al-Attas, Islam dan Sekularisme, Bandung: PIMPIN, 2010.
Study Islam IAIN Sunan Ampel Surabaya, Pengantar Studi Islam, Surabaya: IAIN Sunan Ampel Press, 2009.
Topo Santoso, Membumikan Hukum Pidana Islam, Jakarta: Gema Insani Press, 2000.
Zainuddin Ali, Hukum Pidana Islam, Jakarta: PT.Sinar Grafika, 2009. 

Sumber lain:
http://www.hukumsumberhukum.com/2014/06/sumber-sumber-hukum-pidana-islam.html#. Diambil pada tanggal 5 juni 2015 pukul 18.48 WIB.
http://elawank.blogspot.com/2015/03/sumber-hukum-pidana-islam.html. Diambil pada tanggal 5 Juni 2015 pukul 19.56 WIB.

Oleh: Syamsudin Kadir—Direktur Eksekutif Penerbit Mitra Pemuda.



[1] Hasan Al-Banna dalam Manna Khalil Al-Qattan, Studi Ilmu-ilmu Al-Qur’an, Litera AntarNusa, Jakarta 2009, hlm. 15
[2] Ahmad Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, PT. Bulan Bintang, Jakarta 1990, hlm. 25
[3] Zainuddin Ali, Hukum Pidana Islam, PT. Sinar Grafika, Jakarta 2009, hlm. 15
[4] Study Islam IAIN Sunan Ampel Surabaya, Pengantar Study Islam, IAIN Ampel Press Surabaya, 2009, hlm. 12
[5] Dewi Mulyani, Buku Pintar untuk Muslimah, Penerbit Mizania, Bandung 2012, hlm. 196
[6]  Zainuddin Ali, op.cit, hlm. 16
[7] Manna Al-Qattan, Pengantar Studi Ilmu Hadits, Pustaka Al-Kautsar, Jakarta 2009, hlm. 29
[8]  Manna Al-Qattan, op.cit, hlm. 29
[9] A. Rahman I. Doi, Penjelasan Lengkap Hukum-hukum Allah (Syariah), Raja Grafindo Persada, Jakarta 2002, hlm. 66
[10] A. Rahman I. Doi, Penjelasan Lengkap Hukum-hukum Allah (Syariah), Raja Grafindo Persada, Jakarta 2002, hlm. 87  
[11] A. Rahman I. Doi, Penjelasan Lengkap Hukum-hukum Allah (Syariah), Raja Grafindo Persada, Jakarta 2002, hlm. 87  
[12] Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih, Pustaka Setia, Bandung 2007, hlm. 87  

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Langkah dan Teknik Konseling Kelompok

Sejarah Perkembangan Pendidikan Luar Sekolah