Pendidikan Karakter Dalam Perspektif Islam

PENDIDIKAN merupakan salah satu aspek penting dalam kehidupan umat manusia. Bahkan dalam khazanah Islam, pendidikan merupakan penentu bagi seluruh aspek lainnya; dari sosial, budaya, politik, hukum, sejarah, ekonomi dan sebagainya. Karena melalui proses pendidikanlah seluruh aspek tersebut dapat dipelajari, dikaji, dipahami, dan diuji.

Bahkan dalam konteks kekinian—tepatnya Indonesia—pendidikan menjadi perhatian negara. Hal ini dapat dipahami, misalnya, dalam Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) No. 20 Tahun 2003 Pasal 3 dijelaskan bahwa, Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.”


Walaupun masih ditemukan kelemahan dan kekurangan yang membutuhkan perbaikan, apa yang digariskan dalam UU Sisdiknas pada prinsipnya sangat konektif dan sesuai dengan prinsip, nilai dan semangat pendidikan Islam. Islam menghendaki terbentuknya manusia yang memiliki karakter mulia sehingga mampu mewujudkan tujuan penciptaannya, baik sebagai hamba maupun sebagai kholifah di bumi.

Proses pembentukan (baca: pendidikan) karakter itu sendiri memerlukan pembiasaan. Pembiasaan untuk berbuat baik, pembiasaan untuk berlaku jujur, ksatria, malu, bertanggungjawab, empati, malu berbuat curang, malu bersikap malas, malu membiarkan lingkungannya kotor dan sebagainya. Karakter tidak terbentuk secara instan, tapi harus dilatih secara serius, proporsional dan terus menerus; serta membutuhkan keterlibatan dan peran aktif berbagai elemen.    

Dari Nawwas bin Sam’an ra. dari Rasulullah Saw. beliau bersabda: “Kebaikan adalah akhlak yang baik, dan dosa adalah apa yang terasa mengganggu jiwamu dan engkau tidak suka jika diketahui manusia” (HR. Muslim)

Ini bermakna, pendidikan karakter sangat menentukan karakter manusia, apakah bermental baik atau bermental buruk. Jika karakter baik menunjuki pemiliknya untuk melakukan kebaikan, maka karakter buruk mendorong pemiliknya untuk melakukan keburukan. Agar manusia tetap terjaga dalam karakter yang baik, maka proses pendidikan karakter mesti dilakukan sepanjang kehidupan.


Pengertian Pendidikan Karakter

Pertama, Perspektif Umum

Istilah karakter secara harfiah berasal dari bahasa Latin “Charakter”, yang antara lain berarti: watak, tabiat, sifat-sifat kejiwaan, budi pekerti, kepribadian atau akhlak. Sedangkan secara istilah, karakter diartikan sebagai sifat manusia pada umumnya dimana manusia mempunyai banyak sifat yang tergantung dari faktor kehidupannya sendiri.[1]

Karakter adalah sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang menjadi ciri khas seseorang atau sekelompok orang (Abdul Majid dan Dian Andayani, 2010: 11)

Karakter adalah watak, tabiat, pembawaan, kebiasaan. Karakter adalah cara berfikir dan berperilaku yang menjadi ciri khas individu untuk hidup dan bekerjasama, baik dalam lingkup keluarga, masyarakat, bangsa dan negara (Ahmad Abdul Khazin, 2012: 109)

Karakter merupakan nilai-nilai perilaku manusia yang berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan, dan kebangsaan yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata krama, budaya, dan adat istiadat.

Karakter dapat juga diartikan sama dengan akhlak dan budi pekerti, sehingga karakter bangsa identik dengan akhlak bangsa atau budi pekerti bangsa. Bangsa yang berkarakter adalah bangsa yang berakhlak dan berbudi pekerti, sebaliknya bangsa yang tidak berkarakter adalah bangsa yang tidak atau kurang berakhlak atau tidak memiliki standar norma dan perilaku yang baik.

Dengan demikian, menurut Zubaedi (2011), pendidikan karakter adalah usaha yang sungguh-sungguh untuk memahami, membentuk, memupuk nilai-nilai etika, baik untuk diri sendiri maupun untuk semua warga masyarakat atau warga negara secara keseluruhan.[2]

Kedua, Perspektif  Islam

Dalam Islam, tidak ada disiplin ilmu yang terpisah dari etika-etika Islam. Sebagai usaha yang identik dengan ajaran agama, pendidikan karakter dalam Islam memiliki keunikan dan perbedaan dengan pendidikan karakter di dunia Barat. Perbedaan-perbedaan tersebut mencakup penekanan terhadap prinsip-prinsip agama yang abadi, aturan dan hukum dalam memperkuat moralitas, perbedaan pemahaman tentang kebenaran, penolakan terhadap otonomi moral sebagai tujuan pendidikan moral, dan penekanan pahala di akhirat sebagai motivasi perilaku bermoral.

Menurut Ahmad Abdul Khazin (2012: 109), karakter itu sama dengan akhlak, dalam pandangan Islam ialah kepribadian. Kepribadian itu, lanjut Khazin, komponennya ada tiga, yaitu tahu (pengetahuan), sikap dan perilaku.[3]  

Dalam bahasa harian kita ketiga komponen tersebut kerap disebut dengan akhlak yang baik. Akhlak yang baik dapat dipahami sebagai wujud ketakwaan, dan ketakwaan adalah bentuk akhlak terbaik. Keduanya merupakan satu kesatuan yang utuh.

Dari Abu Hurairah ra. Rasulullah Saw. ditanya tentang hal apa yang menyebabkan paling banyak manusia masuk ke surga, maka beliau menjawab: “Takwa kepada Allah dan akhlak yang baik.” (HR. At-Tirmizi)

Implementasi pendidikan karakter dalam Islam, membawa pelakunya ke jalan takwa dan berperilaku baik. Dalam sejarah, hal tersebut tersimpul dalam karakter pribadi Rasulullah SAW. Dalam pribadi Rasul, tersemai nilai-nilai akhlak yang mulia dan agung.[4]

Karakter atau akhlak tidak diragukan lagi memiliki peran besar dalam kehidupan manusia. Menghadapi fenomena krisis moral, tuduhan seringkali diarahkan kepada dunia pendidikan sebagai penyebabnya. Hal ini dikarenakan pendidikan berada pada barisan terdepan dalam menyiapkan sumber daya manusia yang berkualitas, dan secara moral memang harus berbuat demikian.[5]  

Karenanya pembinaan karakter dimulai dari gerakan individual, yang kemudian diproyeksikan menyebar ke individu-idividu lainnya, lalu setelah jumlah individu yang tercerahkan secara karakter atau akhlak menjadi banyak.   

Pembinaan karakter selanjutnya dilakukan dalam lingkungan keluarga dan harus dilakukan sedini mungkin sehingga mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan anak. Melalui pembinaan karakter pada setiap individu dan keluarga akan tercipta peradaban masyarakat yang tentram dan sejahtera.

Dalam Islam, karakter atau akhlak mempunyai kedudukan penting dan dianggap mempunyai fungsi yang vital dalam memandu kehidupan masyarakat. Sebagaimana firman Allah di dalam al-Qur’an surat an-Nahl ayat 90 sebagai berikut[6] (yang artinya), “Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran”.

Pendidikan karakter dalam Islam diperuntukkan bagi manusia yang merindukan kebahagiaan dalam arti yang hakiki, bukan kebahagiaan semu. Karakter Islam adalah karakter yang benar-benar memelihara eksistensi manusia sebagai makhluk terhormat sesuai dengan fitrahnya.[7]

Islam merupakan agama yang sempurna, sehingga tiap ajaran yang ada dalam Islam memiliki dasar pemikiran, begitu pula dengan pendidikan karakter. Adapun yang menjadi dasar pendidikan karakter atau akhlak adalah al-Qur’an dan al-Hadits, dengan kata lain dasar-dasar yang lain senantiasa dikembalikan kepada al-Qur’an dan al-Hadits.[8]

Di antara ayat al-Qur’an yang menjadi dasar pendidikan karakter adalah surat Luqman ayat 17-18 yang artinya sebagai berikut (artinya), “Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan Bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah). Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri”.

Dari ayat di atas dapat dipahami bahwa ajaran Islam serta pendidikan karakter mulia yang harus diteladani agar manusia yang hidup sesuai denga tuntunan syari’at, yang bertujuan untuk kemaslahatan serta kebahagiaan umat manusia.

Dalam sebuah haditsnya Rasulullah SAW bersabda “Perintahkanlah anak-anak kalian untuk melaksanakan shalat apabila sudah mencapai umur tujuh tahun, dan apabila sudah mencapai umur sepuluh tahun maka pukullah mereka apabila tidak melaksanakannya, dan pisahkanlah mereka dalam tempat tidurnya.” (HR. Abu Daud)

Dari hadits di atas, dapat dipahami bahwa, memerintahkan anak lelaki dan wanita untuk mengerjakan shalat, yang mana perintah ini dimulai dari mereka berusia 7 tahun. Jika mereka tidak menaatinya maka Islam belum mengizinkan untuk memukul mereka, akan tetapi cukup dengan teguran yang bersifat menekan tapi bukan ancaman.

Jika mereka mentaatinya maka ini merupakan kebanggaan tersendiri. Akan tetapi jika sampai usia 10 tahun mereka belum juga mau mengerjakan shalat, maka Islam memerintahkan untuk memukul anak tersebut dengan pukulan yang mendidik dan bukan pukulan yang mencederai. Karenanya, sebelum pukulan tersebut dilakukan, harus didahului oleh peringatan atau ancaman atau janji yang tentunya akan dipenuhi. Yang jelas pukulan merupakan jalan terakhir dan tetap mendidik.

Di sini dapat dipahami bahwa, menurut teori psikologi, pada rentangan usia 0-8 tahun merupakan usia emas atau yang sering kita dengar dengan istilah golden age, yang mana pada usia ini individu yang sedang mengalami proses pertumbuhan dan perkembangan yang sangat pesat. Bahkan dikatakan sebagai lompatan perkembangan karena itulah maka usia dini dikatakan sebagai golden age (usia emas) yaitu usia yang sangat berharga dibanding usia-usia selanjutnya, dan usia tersebut merupakan fase kehidupan yang unik dalam diri individu.

Hadits tersebut tentu bukan sekadar menyinggung mengenai shalat, tapi juga menyangkut akhlak; bagaimana karakter seorang muslim dibentuk sejak usia dini. Pada usia golden age, di sadari atau tidak, perilaku imitatif pada anak sangat kuat sekali.

Oleh karena itu, selaku orang tua seharusnya memberikan teladan yang baik dan terbaik bagi anaknya, karena jika orang tua salah mendidik pada usia tersebut, maka akan berakibat fatal kelak setelah ia dewasa, ia akan menjadi sosok yang tidak mempunyai karakter yang baik akibat dari pola asuh yang salah; padahal meninggalkan karakter buruk adalah keniscayaan seorang muslim.

Hal ini sesuai dengan apa yang disinggung oleh banyak hadits, salah satunya adalah hadits berikut ini.

Dari Abu Hurairah ra. dia berkata:  Rasulullah Saw. bersabda: “Merupakan tanda baiknya Islam seseorang, dia meninggalkan sesuatu yang tidak berguna baginya” (HR. Tirmidzi, hadits hasan).[9]

Menunaikan shalat adalah wujud akhlak yang baik, sementara meninggalkannya adalah wujud akhlak yang buruk.



Unsur Pendidikan Karakter Perspektif Islam

Ada beberapa dimensi manusia yang secara psikologis dan sosiologis perlu dibahas dalam kaitannya dengan terbentuknya karakter pada diri manusia. Adapun unsur-unsur tersebut adalah sikap, emosi, kemauan, kepercayaan dan kebiasaan[10].

Sikap seseorang akan dilihat orang lain dan sikap itu akan membuat orang lain menilai bagaimanakah karakter orang tersebut, demikian juga halnya emosi, kemauan, kepercayaan dan kebiasaan, dan juga konsep diri (self conception).

Pertama, Sikap. Sikap seseorang biasanya adalah merupakan bagian karakternya, bahkan dianggap sebagai cerminan karakternya. Tentu saja tidak sepenuhnya benar, tetapi dalam hal tertentu sikap seseorang terhadap sesuatu yang ada di hadapannya menunjukkan bagaimana karakternya.

Kedua, Emosi. Emosi adalah gejala dinamis dalam situasi yang dirasakan manusia, yang disertai dengan efeknya pada kesadaran, perilaku, dan juga merupakan proses fisiologis.

Ketiga, Kepercayaan. Kepercayaan merupakan komponen kognitif manusia dari faktor sosiopsikologis. Kepercayaan bahwa sesuatu itu “benar” atau “salah” atas dasar bukti, sugesti otoritas, pengalaman, dan intuisi sangatlah penting untuk membangun watak dan karakter manusia. Jadi, kepercayaan itu memperkukuh eksistensi diri dan memperkukuh hubungan dengan orang lain.

Keempat, Kebiasaan dan Kemauan. Kebiasaan adalah komponen konatif dari faktor sosiopsikologis. Kebiasaan adalah aspek perilaku manusia yang menetap, berlangsung secara otomatis, dan tidak direncanakan. Sementara itu, kemauan merupakan kondisi yang sangat mencerminkan karakter seseorang.

Ada orang yang kemauannya keras, yang kadang ingin mengalahkan kebiasaan, tetapi juga ada orang yang kemauannya lemah. Kemauan berkaitan erat dengan tindakan, bahkan ada yang mendefinisikan kemauan sebagai tindakan yang merupakan usaha seseorang untuk mencapai tujuan.

Kelima, Konsep Diri (Self Conception). Hal penting lainnya yang berkaitan dengan (pembangunan) karakter adalah konsep diri. Proses konsepsi diri merupakan proses totalitas, baik sadar maupun tidak sadar, tentang bagaimana karakter dan diri kita dibentuk. Dalam proses konsepsi diri, biasanya kita mengenal diri kita dengan mengenal orang lain terlebih dahulu. Citra diri dari orang lain terhadap kita juga akan memotivasi kita untuk bangkit membangun karakter yang lebih bagus sesuai dengan citra. Karena pada dasarnya citra positif terhadap diri kita, baik dari kita maupun dari orang lain itu sangatlah berguna.

Arah Pendidikan Karakter Perspektif Islam   

Pendidikan karakter berangkat dari konsep dasar manusia: fitrah. Setiap anak dilahirkan menurut fitrahnya, yaitu memiliki akal, nafsu (jasad), hati dan ruh. Konsep inilah yang sekarang lantas dikembangkan menjadi konsep multiple intelligence. Dalam Islam terdapat beberapa istilah yang sangat tepat digunakan sebagai pendekatan pembelajaran. Konsep-konsep itu antara lain: tilâwah, ta’lîm’, tarbiyah, ta’dîb, tazkiyah dan tadlrîb[11].

Tilâwah menyangkut kemampuan membaca; ta’lim terkait dengan pengembangan kecerdasan intelektual (intellectual quotient);  tarbiyah menyangkut kepedulian dan kasih sayang secara naluriah yang di dalamnya ada asah, asih dan asuh; ta’dîb terkait dengan pengembangan kecerdasan emosional (emotional quotient); tazkiyah terkait dengan pengembangan kecerdasan spiritual (spiritual quotient); dan tadlrib terkait dengan kecerdasan fisik atau keterampilan (physical quotient atau adversity quotient)[12]. Dengan demikian, arah pendidikan Islam seharusnya mengarah kepada terwujudnya proses pendidikan semacam itu.

Gambaran di atas menunjukkan metode pembelajaran yang menyeluruh dan terintegrasi. Pendidik yang hakiki adalah Allah, guru adalah penyalur hikmah dan berkah dari Allah kepada anak didik. Tujuannya adalah agar anak didik mengenal dan bertaqwa kepada Allah, dan mengenal fitrahnya sendiri. Pendidikan adalah bantuan untuk menyadarkan, membangkitkan, menumbuhkan, memampukan dan memberdayakan anak didik akan potensi fitrahnya.

Untuk mengembangkan potensi fitrah berupa akal dikembangkan metode ta’lîm, yaitu sebuah metode pendidikan ilmu pengetahuan dan teknologi yang menekankan pada pengembangan aspek kognitif melalui pengajaran. Dalam pendidikan akal ini sasarannya adalah terbentuknya anak didik yang memiliki pemikiran jauh ke depan, kreatif dan inovatif. Sedangkan output-nya adalah anak yang memiliki sikap ilmiah, ulûl albâb dan mujtahid. Ulul Albab adalah orang yang mampu mendayagunakan potensi pikir (kecerdasan intelektual/IQ) dan potensi dzikir-nya untuk memahami fenomena ciptaan Tuhan dan dapat mendayagunakannya untuk kepentingan kemanusiaan.[13] Sedangkan mujtahid adalah orang mampu memecahkan persoalan dengan kemampuan intelektualnya. Hasilnya yaitu ijtihad (tindakannya) dapat berupa ilmu pengetahuan maupun teknologi. Outcome dari pendidikan akal (IQ) terbentuknya anak yang saleh (waladun shalih).

Pendayagunaan potensi pikir dan zikir yang didasari rasa iman pada gilirannya akan melahirkan kecerdasan spiritual (spiritual quotient/SQ). Dan kemampuan mengaktualisasikan kecerdasan spiritual inilah yang memberikan kekuatan kepada guru dan siswa untuk meraih prestasi yang tinggi.

Metode tarbiyah digunakan untuk membangkitkan rasa kasih sayang, kepedulian dan empati dalam hubungan interpersonal antara guru dengan murid, sesama guru dan sesama siswa. Implementasi metode tarbiyah dalam pembelajaran mengharuskan seorang guru bukan hanya sebagai pengajar atau guru mata pelajaran, melainkan seorang bapak atau ibu yang memiliki kepedulian dan hubungan interpersonal yang baik dengan siswa-siswinya. Kepedulian guru untuk menemukan dan memecahkan persoalan yang dihadapi siswanya adalah bagian dari penerapan metode tarbiyah.

Metode ta’dib digunakan untuk membangkitkan “raksasa tidur”, qalbu (EQ) dalam diri anak didik. Ta’dib lebih berfungsi pada pendidikan nilai dan pengembangan iman dan taqwa. Dalam pendidikan kalbu ini, sasarannya adalah terbentuknya anak didik yang memiliki komitmen moral dan etika. Sedangkan out put-nya adalah anak yang memiliki karakter, integritas dan menjadi mujaddid. Mujaddid adalah orang yang memiliki komitmen moral dan etis dan rasa terpanggil untuk memperbaiki kondisi masyarakatnya. Dalam hal mujaddid ini Abdul Jalil (2004) mengatakan: “Banyak orang pintar tetapi tidak menjadi pembaharu (mujaddid). Seorang pembaharu itu berat resikonya. Menjadi pembaharu itu karena panggilan hatinya, bukan karena kedudukan atau jabatannya”.

Metode tazkiyah digunakan untuk membersihkan jiwa (SQ). Tazkiyah lebih berfungsi untuk mensucikan jiwa dan mengembangkan spiritualitas. Dalam pendidikan Jiwa sasarannya adalah terbentuknya jiwa yang suci, jernih (bening) dan damai (bahagia). Sedang output-nya adalah terbentuknya jiwa yang tenang (nafs al-mutmainnah), ulul arham dan tazkiyah. Ulul arhâm adalah orang yang memiliki kemampuan jiwa untuk mengasihi dan menyayangi sesama sebagai manifestasi perasaan yang mendalam akan kasih sayang Tuhan terhadap semua hamba-Nya. Tazkiyah adalah tindakan yang senantiasa mensucikan jiwanya dari debu-debu maksiat dosa dan tindakan sia-sia (kedlaliman).

Metode tadlrib (latihan) digunakan untuk mengembangkan keterampilan fisik, psikomotorik dan kesehatan fisik. Sasaran (goal) dari tadlrib adalah terbentuknya fisik yang kuat, cekatan dan terampil. Output-nya adalah terbentuknya anaknya yang mampu bekerja keras, pejuang yang ulet, tangguh dan seorang mujahid. Mujahid adalah orang yang mampu memobilisasi sumber dayanya untuk mencapai tujuan tertentu dengan kekuatan, kecepatan dan hasil maksimal.

Sebenarnya metode pembelajaran yang digunakan di sekolah lebih banyak dan lebih bervariasi yang tidak mungkin semua dikemukakan di sini secara detail. Akan tetapi pesan yang hendak dikemukakan di sini adalah bahwa pemakaian metode pembelajaran tersebut adalah suatu bentuk “mission screed” yaitu sebagai penyalur hikmah, penebar rahmat Tuhan kepada anak didik agar menjadi anak yang saleh. Semua pendekatan dan metode pendidikan dan pengajaran (pembelajaran) haruslah mengacu pada tujuan akhir pendidikan yaitu terbentuknya anak yang berkarakter taqwa dan berakhlak budi pekerti yang luhur. Metode pembelajaran dikatakan mengemban misi suci karena metode sama pentingnya dengan substansi dan tujuan pembelajaran itu sendiri[14].

Tujuan Pendidikan Karakter Perspektif Islam

Dalam konteks sistem pendidikan nasional, tujuan pendidikan karakter adalah untuk mengembangkan nilai-nilai yang membentuk karakter bangsa yang meliputi : (1) mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia berhati baik, berpikiran baik, dan berprilaku baik; (2) membangun bangsa yang berkarakter; (3) mengembangkan potensi warga negara agar memiliki sikap percaya diri, bangga pada bangsa dan negaranya serta mencintai umat manusia.[15]

Sedangkankan dalam konteks Islam, tujuan yang paling mendasar dari pendidikan adalah untuk membuat seseorang menjadi good and smart. Dalam sejarah Islam, Rasulullah SAW. juga menegaskan bahwa misi utamanya dalam mendidik manusia adalah untuk mengupayakan pembentukan karakter yang baik (good character)[16].

Dengan kata lain, dapat disimpulkan bahwa tujuan dari pendidikan karakter dalam perspektif pendidikan agama Islam adalah: pertama, supaya seseorang terbiasa melakukan perbuatan baik. Kedua, supaya interaksi manusia dengan Allah SWT dan sesama makhluk lainnya senantiasa terpelihara dengan baik dan harmonis. Esensinya sudah tentu untuk memperoleh yang baik, seseorang harus membandingkannya dengan yang buruk atau membedakan keduanya. Kemudian setelah itu, dapat mengambil kesimpulan dan memilih yang baik tersebut dengan meninggalkan yang buruk. Dengan karakter yang baik maka kita akan disegani orang. Sebaliknya, seseorang dianggap tidak ada, meskipun masih hidup, kalau akhlak atau karakternya rusak[17].

Ketika manusia sudah mampu melepaskan dirinya dari perbudakan hawa nafsu, dan memasrahkan dirinya sebagai hamba Allah, maka saat itulah manusia menjadi merdeka dalam arti sebenarnya. Dia sudah kembali kepada fitrahnya, untuk mengenal Sang Pencipta, sebagaimana dulu dia pernah mengikat janji  azali dengan Allah; saat Allah bertanya, “Bukan kah Aku ini Tuhanmu?”, maka mereka (manusia) menjawab: “Benar Ya Allah, kami menjadi saksi” (Qs. Al-A’raf: 172).[18]

Kesimpulan

Karakter adalah sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang menjadi ciri khas seseorang atau sekelompok orang (Abdul Majid dan Dian Andayani, 2010: 11)

Karakter adalah watak, tabiat, pembawaan, kebiasaan. Karakter adalah cara berfikir dan berperilaku yang menjadi ciri khas individu untuk hidup dan bekerjasama, baik dalam lingkup keluarga, masyarakat, bangsa dan negara (Ahmad Abdul Khazin, 2012: 109)

Pendidikan karakter adalah usaha yang sungguh-sungguh untuk memahami, membentuk, memupuk nilai-nilai etika, baik untuk diri sendiri maupun untuk semua warga masyarakat atau warga negara secara keseluruhan (Zubaedi, 2011: 19).

Menurut Ahmad Abdul Khazin (2012: 109), karakter itu sama dengan akhlak, dalam pandangan Islam ialah kepribadian. Kepribadian itu, lanjut Khazin, komponennya ada tiga, yaitu tahu (pengetahuan), sikap dan perilaku.[19]  

Ada beberapa dimensi manusia yang secara psikologis dan sosiologis perlu dibahas dalam kaitannya dengan terbentuknya karakter pada diri manusia. Adapun unsur-unsur tersebut adalah sikap, emosi, kemauan, kepercayaan dan kebiasaan[20].

Sikap seseorang akan dilihat orang lain dan sikap itu akan membuat orang lain menilai bagaimanakah karakter orang tersebut, demikian juga halnya emosi, kemauan, kepercayaan dan kebiasaan, dan juga konsep diri (self conception).

Pendidikan karakter berangkat dari konsep dasar manusia: fitrah. Setiap anak dilahirkan menurut fitrahnya, yaitu memiliki akal, nafsu (jasad), hati dan ruh. Dengan demikian, arah pendidikan Islam seharusnya mengarah kepada penjagaan dan pendayagunaan atas beberapa potensi tersebut.

Dalam konteks sistem pendidikan nasional, tujuan pendidikan karakter adalah untuk mengembangkan nilai-nilai yang membentuk karakter bangsa yang meliputi : (1) mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia berhati baik, berpikiran baik, dan berprilaku baik; (2) membangun bangsa yang berkarakter; (3) mengembangkan potensi warga negara agar memiliki sikap percaya diri, bangga pada bangsa dan negaranya serta mencintai umat manusia.[21]

Sedangkankan dalam konteks Islam, tujuan yang paling mendasar dari pendidikan adalah untuk membuat seseorang menjadi good and smart. Dalam sejarah Islam, Rasulullah SAW. juga menegaskan bahwa misi utamanya dalam mendidik manusia adalah untuk mengupayakan pembentukan karakter yang baik (good character)[22].

Dengan kata lain, dapat disimpulkan bahwa tujuan dari pendidikan karakter dalam perspektif pendidikan agama Islam adalah: pertama, supaya seseorang terbiasa melakukan perbuatan baik. Kedua, supaya interaksi manusia dengan Allah SWT dan sesama makhluk lainnya senantiasa terpelihara dengan baik dan harmonis. Esensinya sudah tentu untuk memperoleh yang baik, seseorang harus membandingkannya dengan yang buruk atau membedakan keduanya. Kemudian setelah itu, dapat mengambil kesimpulan dan memilih yang baik tersebut dengan meninggalkan yang buruk. Dengan karakter yang baik maka kita akan disegani orang. Sebaliknya, seseorang dianggap tidak ada, meskipun masih hidup, kalau akhlak atau karakternya rusak[23].

Ketika manusia sudah mampu melepaskan dirinya dari perbudakan hawa nafsu, dan memasrahkan dirinya sebagai hamba Allah, maka saat itulah manusia menjadi merdeka dalam arti sebenarnya. Dia sudah kembali kepada fitrahnya, untuk mengenal Sang Pencipta, sebagaimana dulu dia pernah mengikat janji  azali dengan Allah; saat Allah bertanya, “Bukan kah Aku ini Tuhanmu?”, maka mereka (manusia) menjawab: “Benar Ya Allah, kami menjadi saksi” (Qs. Al-A’raf: 172).[24]


Daftar Pustaka
Abdul Majid dan Dian Andayani. 2010. Pendidikan Karakter dalam Perspektif Islam. Bandung: Insan Cita Utama
Abuddin Nata. 2003. Manajemen Pendidikan Mengatasi Kelemahan Pendidikan Islam di Indonesia.  Jakarta: Prenada Media
Adian Husaini. 2012. Pendidikan Islam; Membentuk Manusia Berkarakter dan Beradab. Jakarta: Cakrawala Publishing
Ahmad Zayadi dan Abdul Majid. 2005. Tadzkirah Pembelajaran Pendidikan Agama Islam Berdasarkan Pendekatan Kontekstual. Jakarta: Raja Grafindo Persada
Amru Khalid. 2008. Tampil Menawan Dengan Akhlak Mulia. Jakarta: Cakrawala Publishing
Aunillah. 2011. Panduan Menerapkan Pendidikan Karakter di Sekolah. Jakarta: Trans Media
Fadlullah. 2008. Orientasi Baru Pendidikan Islam. Jakarta: Diadit Media
Fatchul Mu’in. 2011. Pendidikan Karakter Kontruksi Teoritik dan Praktek. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media
Saifuddin Aman. 2008. 8 Pesan Lukman Al-Hakim. Jakarta: Al Mawardi Prima.
Syed Muhammad Naquib al-Attas. 2010. Islam dan Sekularisme. Bandung: PIMPIN. 
Zubaedi. 2011. Design Pendidikan Karakter. Jakarta: Kencana.

Sumber lain:
Mochtar Buchori, Character Building dan Pendidikan Kita. Kompas
Rekonstruksi Pendidikan Agama untuk Membangun Etika Sosial dalam Kehidupan Berbangsa dan Bernegara, Malang: UMM Press, 2010 diakses pada 06 Februari 2015
Syamsudin Kadir, Pembegalan dan Pentingnya Pendidikan Karakter, Harian Umum Radar Cirebon (10 Februari 2015)


Oleh: Syamsudin Kadir—Direktur Eksekutif Penerbit Mitra Pemuda.


[1] Mochtar Buchori, Character Building dan Pendidikan Kita. Kompas  
[2] Zubaedi. Design Pendidikan Karakter. (Jakarta: Prenada Media Group, 2011), hlm. 19
[3] Ahmad Abdul Khazin. Hadits Tarbawi. (Cirebon: Biro Penerbit STAI BBC, 2012), hlm. 109
[4] Dalam QS. al-Ahzab ayat 21 Allah befirman (yang artinya),“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah”.
[5] Abuddin Nata. Manajemen Pendidikan Mengatasi Kelemahan Pendidikan Islam di Indonesia. (Jakarta: Prenada Media, 2007),  hlm. 219  
[6] Amru Khalid. Tampil Menawan Dengan Akhlak Mulia. (Jakarta: Cakrawala Publishing, 2008) , hlm. 37
[7] Abdul Majid dan Dian Andayani. Pendidikan Karakter dalam Perspektif Islam. (Bandung: Insan Cita Utama, 2010), hlm. 61   
[8] Ahmad Zayadi dan Abdul Majid. Tadzkirah Pembelajaran Pendidikan Agama Islam Berdasarkan Pendekatan Kontekstual. (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005), hlm. 178   
[9] Ahmad Abdul Khazin. Hadits Tarbawi. (Cirebon: Biro Penerbit STAI BBC, 2012), hlm. 117
[10] Fatchul Mu’in. Pedidikan Karakter Kontruksi Teoritik dan Praktek. (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2011), hlm. 168   
[11] Fadlullah. Orientasi Baru Pendidikan Islam. (Jakarta: Diadit Media, 2008), hlm. 13  
[13] Hal ini sesuai dengan firman  Allah dalam QS. Ali ‘Imran: 190-191, “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan pergantian malam dan siang terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang yang berakal”, “(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri, duduk, atau dalam keadaan berbaring, dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata), ‘Ya Tuhan kami, tidaklah Engkau menciptakan semua ini sia-sia; Maha Suci Engkau, lindungilah kami dari azab neraka’”.
[14] Rekonstruksi Pendidikan Agama untuk Membangun Etika Sosial dalam Kehidupan Berbangsa dan Bernegara, Malang: UMM Press, 2010 diakses pada 06 Faebruari 2015  
[15] Syamsudin Kadir, Pembegalan dan Pentingnya Pendidikan Karakter. Harian Umum Radar Cirebon (10 Februari 2015)     
[16] Abdul Majid dan Dian Andayani. Pedidikan Karakter dalam Perspektif Islam. (Bandung: Insan Cita Utama, 2010), hlm. 29  
[17] Saifuddin Aman. 8 Pesan Lukman Al-Hakim. (Jakarta: Almawardi Prima, 2008), hlm. 25    
[18] Adian Husaini. Pendidikan Islam; Membentuk Manusia Berkarakter dan Beradab. (Jakarta: Cakrawala Publishing, 2012), hlm. 100   
[19] Ahmad Abdul Khazin. Hadits Tarbawi. (Cirebon: Biro Penerbit STAI BBC, 2012), hlm. 109
[20] Fatchul Mu’in. Pedidikan Karakter Kontruksi Teoritik dan Praktek. (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2011), hlm. 168   
[21] Syamsudin Kadir, Pembegalan dan Pentingnya Pendidikan Karakter. Harian Umum Radar Cirebon (10 Februari 2015)     
[22] Abdul Majid dan Dian Andayani. Pedidikan Karakter dalam Perspektif Islam. (Bandung: Insan Cita Utama, 2010), hlm. 29  
[23] Saifuddin Aman. 8 Pesan Lukman Al-Hakim. (Jakarta: Almawardi Prima, 2008), hlm. 25   
[24] Adian Husaini. Pendidikan Islam; Membentuk Manusia Berkarakter dan Beradab. (Jakarta: Cakrawala Publishing, 2012), hlm. 100   

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Langkah dan Teknik Konseling Kelompok

Sejarah Perkembangan Pendidikan Luar Sekolah