Pemikiran Kalam Kontemporer
ISLAM merupakan agama mulia yang diturunkan oleh Allah kepada
seluruh umat manusia melalui utusan-Nya Nabi Muhammad Saw. agar manusia
mencapai kemuliaan hakiki, baik di dunia maupun di akhirat.
Islam sendiri diturunkan dengan segala keunikan dan
karakter khasnya. Ia bersifat sempurna, integral, universal, moderat dan satu
kesatuan yang utuh (tauhidi). Ia
mencakup masalah keimanan (termasuk di dalamnya tentang teologi (ketuhanan),
ibadah, muamalah, sejarah, hukum, sosial, dan sebagainya.
Islam yang begitu mulia dan unik itu dipahami oleh umat
manusia dengan segala potensi dirinya, dari hati, pikiran, pengetahuan hingga
perasaannya. Karena keragaman potensi sekaligus kualitas manusia maka Islam dan
ajarannya pun dipahami secara beragam pula.
Salah satu tema penting yang sering diperbincangkan
bahkan diperdebatkan oleh berbagai kalangan, termasuk para ulama dan pemikir
Muslim adalah masalah teologi dalam Islam, tepatnya aliran pemikiran (Kalam)
dalam Islam.
Dalam khazanah Islam kontemporer, terkenal dua nama
pemikir Muslim yaitu Ismail Raji Al-Faruqi dan Hasan Hanafi. Keduanya merupakan
dua nama yang punya andil besar dalam perbincangan dan perdebatan seputar
pemikiran (Kalam) abad ini.
Ismail Raji
Al-Faruqi
Riwayat Singkat Ismail al-Faruqi
Ismail
Raji al-Faruqi lahir di Jaffa, Palestina pada tanggal 1 Januari 1921.
Pendidikan dasarnya dimulai dari madrasah, dan pendidikan menengahnya di
Colleges des Freres, dengan bahasa pengantar Perancis. Kemudian pada tahun 1941
lulus dari American University of Beirut. Ismail lalu bekerja untuk pemerintah
Inggris di Palestina. Pada tahun 1945, dia dipilih sebagai Gubernur Galilea.
Tapi, setelah Israel mencaplok Palestina, ia pindah ke Amerika Serikat pada
tahun 1949. Di Amerika, ia melanjutkan pendidikan Master dalam bidang filsafat
di University of Indiana dan University of Harvard. Dia melanjutkan
pendidikannya dengan mengambil gelar doktor filsafat di University of Indiana
dan di Al-Azhar University pada tahun 1952.[1]
Dia
kemudian mengajar di beberapa
universitas di seluruh dunia
diantaranya universitas di Kanada, Pakistan dan Amerika Serikat. Pada tahun
1968, dia menjadi guru besar Studi Islam di Temple University, Amerika Serikat.
Al-Faruqi adalah sosok ilmuwan, pemikir dan aktivis
muslim yang memiliki perhatian besar terhadap perkembangan Islam dan wacana
pemikiran dalam dunia Islam. Hal ini diamini oleh salah satu muridnya yang
memiliki perhatian serius dalam masalah islamisasi—terutama sains dan ilmu
pengetahuan—asal Malaysia Wan Mohd Nor Wan Daud (dalam Rihlah Ilmiah, 2012) yang mengatakan bahwa, Al-Faruqi seorang
ilmuwan pelbagai disiplin yang hebat, khususnya tentang filsafat Barat dan
pemikiran Kristian.[2] Ismail al-Faruqi juga seorang pembicara yang flamboyant, tetapi tidak angkuh. Beliau
selalu mengutip istilah dari berbagai bahasa—Jerman, Latin dan lain-lain—yang
boleh menakutkan hati lawannya.[3]
Sebagai
anak Palestina, al-Faruqi mengecam keras apa yang telah dilakukan oleh Zionis
Israel yang menjadi dalang pencaplokan Palestina. Pembunuhan atas dirinya
diduga kuat karena
kritik kerasnya
terhadap kaum Zionis Yahudi. Ia meninggal dunia pada
tanggal 27 Mei 1986 di rumahnya,
dan mewariskan berbagai karya ilmiah yang hingga kini masih dikaji oleh
berbagai kalangan, baik muslim maupun non muslim.
Pemikiran Kalam Ismail Al-Faruqi
Pemikiran
kalam Ismail al-Faruqi
tertuang dalam karyanya yang berjudul Tahwid:
Its Implications for Thought and Life (Edisi Indonesia-nya berjudul Tauhid).
Dalam karyanya ini Al-Faruqi
mengungkapkan bahwa:
Pertama, Tauhid sebagai inti pengalaman
agama. Inti
pengalaman agama, kata Al-Faruqi adalah Tuhan. Kalimat syahadat menempati posisi sentral dalam setiap kedudukan, tindakan,
dan pemikiran setiap muslim. Kehadiran Tuhan mengisi kesadaran Muslim dalam
setiap waktu. Bagi kaum Muslimin, Tuhan benar-benar merupakan obsesi yang
agung.[4] Esensi pengalaman agama dalam Islam
tiada lain adalah realisasi prinsip bahwa hidup dan kehidupan ini tidaklah
sia-sia.[5]
Kedua, Tauhid sebagai pandangan dunia. Tauhid merupakan pandangan umum tentang
realitas, kebenaran, dunia, ruang dan waktu, sejarah manusia, dan takdir.
Ketiga, Tauhid sebagai intisari Islam. Esensi peradaban Islam adalah Islam itu sendiri. Tidak ada satu perintah
pun dalam Islam yang dapat dilepaskan dari tauhid. Tanpa tauhid, Islam tidak
akan ada. Tanpa tauhid, bukan hanya sunnah nabi yang
patut diragukan, bahkan pranata
kenabian pun menjadi sirna.[6]
Keempat, Tauhid sebagai prinsip sejarah. Tauhid menempatkan manusia pada suatu
etika berbuat atau bertindak, yaitu etika ketika keberhargaan manusia sebagai
pelaku moral diukur dari tingkat keberhasilan yang dicapainya dalam mengisi
aliran ruang dan waktu. Eskatologi Islam tidak mempunyai sejarah formatif. Ia terlahir lengkap dalam Al-Qur’an, dan
tidak mempunyai kaitan dengan situasi para pengikutnnya pada masa kelahirannya
seperti halnya dalam agama Yahudi atau Kristen. Ia dipandang sebagai suatu klimaks moral
bagi kehidupan di atas bumi.[7]
Kelima, Tauhid sebagai prinsip pengetahuan. Berbeda denga “iman” Kristen, iman Islam
adalah kebenaran yang diberikan kepada pikiran, bukan kepada perasaan manusia
yang mudah dipercayai begitu saja. Kebenaran, atau proposisi iman bukanlah
misteri, hal yang dipahami dan tidak dapat diketahui dan tidak masuk akal, melainkan
bersifat kritis dan rasional. Kebenaran-kebenarannya telah dihadapkan pada
ujian keraguan dan lulus dalan ditetapkan sebagai kebenaran.[8]
Keenam, Tauhid sebagai prinsip metafisika. Dalam Islam, alam adalah ciptaan dan
anugerah. Sebagai ciptaan, ia bersifat teologis, sempurna, dan teratur. Sebagai
anugerah, ia merupakan kebaikan yang tak mengandung dosa yang disediakan untuk
manusia. Tujuannya agar manusia melakukan kebaikan dan mencapai kebahagiaan.
Tiga penilaian ini, keteraturan, kebertujuan, dan kebaikan, menjadi ciri dan
meringkas pandangan umat Islam tentang alam.[9]
Ketujuh, Tauhid sebagai prinsip etika. Tauhid menegaskan bahwa Tuhan telah
memberi amanat-Nya kepada manusia, suatu amanat yang tidak mampu dipikul oleh
langit dan bumi. Amanat atau kepercayaan Ilahi tersebut berupa pemenuhan unsur
etika dari kehendak Ilahi, yang sifatnya mensyaratkan bahwa ia harus
direalisasikan dengan kemerdekaan, dan manusia adalah satu-satunya makhluk yang
mampu melaksanakannya. Dalam Islam, etika tidak dapat dipisahkan dari agama dan
bahkan dibangun di atasnya.[10]
Kedelapan, Tauhid sebagai prinsip
tata social. Dalam
Islam tidak ada perbedaan antara yang satu dengan yang lainnya. Masyarakat
Islam adalah masyarakat terbuka dan setiap manusia boleh bergabung
dengannya, baik sebagai anggota tetap ataupun sebagai yang dilindungi (dzimmah). Masyarakat Islam harus
mengembangkan dirinya untuk mencakup seluruh umat manusia. Jika tidak, ia akan
kehilangan klaim keislamannya.[11]
Kesembilan, Tauhid sebagai prinsip
ummah. Dalam
menyoroti tentang tauhid sebagai prinsip ummat, al-Faruqi membaginya ke dalam tiga identitas, yakni: pertama, menenentang etnosentrisme yakni
tata sosial Islam adalah universal mencakup seluruh ummat manusia tanpa kecuali
dan tidak hanya untuk segelitir suku tertentu. Kedua, universalisme yakni Islam meliputi seluruh ummat manusia
yang cita-cita tersebut diungkapkan dalam ummat dunia. Ketiga totalisme, yakni Islam relevan dengan setiap bidang
kegiuatan hidup manusia dalam artian Islam tidak hanya menyangkut aktivitas dan tujuan manusia, bukan di masa mereka saja tetapi juga menyangkut aktivitas manusia di setiap masa dan tempat.[12]
Kesepuluh, Tauhid sebagai prinsip
keluarga. Al-Faruqi
memandang bahwa selama tetap melestarikan identitas mereka dari gerogotan kumunisme
dan idiologi-idiologi Barat, umat Islam akan menjadi masyarakat yang selamat
dan tetap menempati kedudukan yang terhormat. Keluarga Islam memiliki peluang
lebih besar tetap lestari sebab ditopang oleh hukum Islam dan dideterminisi
oleh hubungan erat dengan tauhid.[13]
Kesebelas, Tauhid sebagai tata
politik. Al-Faruqi
mengaitkan tata politik dengan pemerintahan. Kekhalifahan didefinisikan sebagai kesepakatan tiga
dimensi, yaitu: kesepakatan wawasan (ijma’
ar-ru’yah), kehendak (ijma’ al-iradah),
dan tindakan (ijma’ al-amal). Wawasan
yang dimaksud al-Faruqi adalah pengetahuan akan nilai-nilai yang membentuk
kehendak ilahi.
Kehendak yang dimaksud Al-Faruqi adalah pengetahuan akan nilai-nilai yang
membentuk kehendak Ilahi. Adapun yang dimaksud dengan tindakan adalah
pelaksanaan kewajiban yang timbul dari kesepakatan.[14]
Keduabelas, Tauhid sebagai prinsip
tata ekonomi. Al-Faruqi
melihat implikasi Islam untuk tata ekonomi ada dua prinsip, yaitu: pertama, tak ada seorang atau kelompok
pun yang dapat memeras yang lain. Kedua,
tak satu kelompok pun boleh mengasingkan atau memisahkan diri dari umat manusia
lainnya dengan tujuan untuk mebatasi kondisi ekonomi mereka pada diri mereka
sendiri.[15]
Ketigabelas, Tauhid sebagai prinsip
estetika. Dalam
hal kesenian, Al-Faruqi
tidak menentang kreativitas
manusia, tidak juga menentang kenikmatan dan keindahan. Menurutnya, Islam menganggap bahwa keindahan mutlak
hanya ada dalam diri Tuhan dan dalam kehendak-Nya yang diwahyukan dalam
firman-firman-Nya.[16]
Hasan Hanafi
Riwayat Singkat Hasan Hanafi
Hasan
Hanafi (selanjutnya
disebut Hanafi) dilahirkan pada 13 Februari tahun 1935,
di Kairo. Pendidikannya diawali pada tahun 1948 dengan menamatkan pendidikan
tingkat dasar, dan melanjutkan studinya di Madrasah Tsanawiyah Khalill Agha,
Kairo yang diselesaikannya selama empat tahun. Hasan Hanafi adalah pengikut
Ikhwanul Muslimin (IM) ketika
dia aktif kuliah di Universitas Kairo. Hanafi tertarik juga untuk mempelajari
pemikiran Sayyid Qutb tentang keadilan sosial dalam Islam. Ia berkonsentrasi
untuk mendalami pemikiran agama, revolusi, dan perubahan sosial.[17]
Dari
sekian banyak tulisan dan karyanya yaitu: Kiri Islam (Al-Yasar Al-Islami) merupakan salah satu puncak sublimasi
pemikirannya semenjak revolusi 1952. Kiri Islam, meskipun baru memuat tema-tema
pokok dari proyek besar Hanafi, karya ini telah memformulasikan satu
kecenderungan pemikiran yang ideal tentang bagaimana seharusnya sumbangan agama
bagi kesejahteraan umat manusia.
Pemikiran Kalam Hasan Hanafi
Pertama, Kritik terhadap Teologi Tradisional
Dalam
gagasannya tentang rekonstruksi
teologi tradisional, Hanafi menegaskan perlunya mengubah orientasi perangkat
konseptual kepercayaan (teologi) sesuai dengan perubahan konteks politik yang
terjadi. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa teologi tradisonal lahir dalam
konteks sejarah ketika inti keislaman yang bertujuan untuk memelihara
kemurniannya. Hal ini berbeda dengan kenyataan sekarang bahwa Islam mengalami
kekalahan akibat kolonialisasi sehingga perubahan kerangka konseptal lama pada
masa-masa permulaan yang berasal dari kebudayaan klasik menuju kerangka
konseptual yang baru yang berasal dari kebudayaan modern harus dilakukan.[18]
Hanafi
memandang bahwa teologi bukanlah pemikiran murni yang hadir dalam kehampaan
kesejarahan, melainkan merefleksikan konflik sosial politik. Sehingga kritik
teologi memang merupakan tindakan yang sah dan dibenarkan karena sebagai produk
pemikiran manusia yang terbuka untuk dikritik. Hal ini sesuai dengan
pendefenisian Hasan Hanafi
tentang definisi teologi itu sendiri. Menurutnya teologi bukanlah ilmu tentang
Tuhan, karena Tuhan tidak tunduk pada ilmu. Tuhan mengungkaplan diri dalam
Sabda-Nya yang berupa Wahyu.[19]
Teologi
demikian, lanjut Hanafi, bukanlah ilmu tentang Tuhan, karena Tuhan tidak tunduk
kepada ilmu. Tuhan mengungkapkan diri dalam sabda-Nya yang berupa Wahyu. Ilmu
Kalam adalah tafsir yaitu ilmu hermeneutik
yang mempelajari analisis percakapan (discourse
analysis), bukan saja dari segi bentuk-bentuk murni ucapan, melainkan juga
dari segi konteksnya, yakni pengertian yang merujuk kepada dunia. Adapun Wahyu
sebagai manifestasi kemauan Tuhan, yakni Sabda yang dikirim kepada manusia
mempunyai muatan-muatan kemanusiaan.[20]
Hanafi
ingin meletakkan teologi Islam tradisional pada tempat yang sebenarnya, yakni bukan
pada ilmu ketuhanan yang suci, yang tidak boleh dipersoalkan lagi dan harus
diterima begitu saja secara taken for granted.
Ia adalah ilmu kemanusiaan yang tetap terbuka untuk diadakan verifikasi dan
falsafikasi, baik secara historis maupun eiditis.[21]
Menurut
Hanafi, teologi tradisional tidak dapat menjadi sebuah pandangan yang
benar-benar hidup dan memberi motivasi tindakan dalam kehidupan kongkret umat
manusia. Hal
ini disebabkan oleh sikap para penyusun teologi yang tidak mengaitkannya dengan
kesadaran murni dan nilai-nilai perbuatan manusia. Sehingga menimbulkan
keterpercahan antara keimanan teoritik dengan amal praktiknya di kalangan umat.
Secara
historis, teologi yang telah menyingkap adanya benturan berbagai kepentingan
dan ia sarat dengan konflik sosial-politik.
Teologi telah gagal pada dua tingkat: Pertama,
pada tingkat teoritis, kedua, pada
tingkat praksis,
yaitu gagal karena hanya menciptakan apatisme dan negativisme.[22]
Kedua, Rekontruksi Teologi.
Melihat
sisi-sisi kelemahan teologi tradisional, Hanafi lalu
mengajukan saran rekontruksi teologi. Menurutnya, adalah mungkin untuk
memfungsikan teologi menjadi ilmu-ilmu yang bermanfaat bagi masa kini, yaitu
dengan melakukan rekontruksi dan revisi, serta membangun
kembali epistemologi lama yang rancu dan palsu menuju epistemologi baru yag sahih dan lebih
signifikan. Tujuan rekontruksi teologi Hanafi adalah menjadikan teologi tidak
sekadar dogma-dogma
keagamaan yang kosong, melainkan menjelma sebagai ilmu tentang pejuang sosial, yang menjadikan keimanan-keimanan
tradisonal memiliki fungsi secara aktual
sebagai landasan etik dan motivasi manusia.[23]
Sistem
kepercayaan sesungguhnya mengekpresikan bangunan sosial tertentu. Sistem
kepercayaan menjadikan gerakan sosial
sebagai gerakan bagi kepentingan mayoritas yang diam (al-aglabiyah as-sfimitah: the majority) sehingga system kepercayaan
memiliki fungsi visi. Karena memiliki fungsi revolusi, tujuan final
rekonstruksi teologi tradisional
adalah revolusi sosial. Menilai revolusi dengan agama di masa sekarang sama halnya dengan
mengaitkan filsafat dengan syariat di masa lalu, ketika filsafat menjadi tuntunan zaman saat itu.[24]
Sebagai
konsekwensi atas
pemikirannya yang menyatakan bahwa para ulama tradisional telah gagal dalam
menyusun teologi yang modern, maka Hanafi mengajukan saran rekontruksi teologi.
Adapaun langkah untuk melakukan rekonstruksi teologi sekurang-kurangnya
dilatarbelakangi oleh tiga hal yaitu:
Pertama, Kebutuhan akan adanya sebuah
ideologi yang jelas di tengah pertarungan global antar berbagai ideologi.
Kedua, Pentingnya teologi baru ini bukan
semata pada sisi teoritisnya, tetapi juga terletak pada kepentingan praktis
untuk secara nyata mewujudkan ideologi gerakan dalam sejarah. Salah satu
kepentingan teologi ini adalah memecahkan problem pendudukan tanah di
Negara-negara muslim.
Ketiga, Kekeringan teologi yang bersifat
praktis (amaliyah fi’liyah)
yang secara nyata diwujudkan dalam realisasi tauhid dalam dunia Islam. Hanafi
menghendaki adanya ‘teologi dunia’ yaitu teologi baru yang dapat mempersatukan
umat Islam di bawah satu orde.[25]
Menurut
Hanafi, rekontruksi teologi merupakan salah satu cara yang mesti ditempuh jika
mengharapkan agar teologi dapat memberikan sumbangan yang kongkret dagi sejarah
kemanusiaan. Kepentingan rekontruksi itu, menurut Hanafi, pertama-tama untuk mentranformasikan
teologi menuju antropologi, menjadikan teologi sebagai wacana tentang
kemanusiaan, baik secara eksistensi, kognitif, maupun kesejarahan.
Selanjutnya
Hanafi menawarkan dua hal untuk memperoleh kesempurnaan teori ilmu dalam
teologi Islam yaitu:
Pertama, Analisis bahasa. Bahasa serta
istilah-istilah dalam teologi tradisonal adalah warisan nenek moyang di bawah
teologi, yang merupakan bahasa khas yang seolah-olah menjadi ketentuan sejak
dulu. Teologi tradisional
memiliki istilah-istilah khas seperti Allah, iman, akhirat. Menurut Hanafi,
semua ini sebenarnya menyingkapkan sifat-sifat dan metode keilmuan, ada yang
empirik-rasional seperti iman, amal, dan imamah, dan ada yang historis seperti nubuwah serta ada pula yang metafisik
seperti Allah dan akhirat.
Kedua, Analisis realitas. Analisis ini
dilakukan untuk mengetahui latar belakang historis-sosiologis munculnya teologi
di masa lalu, mendiskripsikan pengaruh-pengaruh nyata teologi bagi kehidupan
masyarakat. Dan bagaimana ia mempunyai kekuatan mengarahkan terhadap prilaku
para pendukungnya. Analisis
realitas ini berguna untuk menentukan stressing
ke arah mana teologi kontemporer harus
diorientasikan.[26]
Kesimpulan
Pemikiran Kalam Al-Faruqi terletak pada
inti pengalaman agama seseorang
yaitu
Tuhan. Dengan demikian, kalimat
syahadat menempati posisi sentral dalam setiap kedudukan, tindakan, dan
pemikiran setiap muslim. Lebih
jauh lagi, tauhid merupakan pandangan umum tentang realitas,
kebenaran, dunia, ruang, waktu, sejarah
manusia dan takdir.
Sementara
Hasan Hanafi mengkritik teologi tradisional bahwa, ia tidak dapat menjadi
sebuah pandangan yang benar-benar hidup dan memberi motivasi tindakan dalam
kehidupan kongkret umat manusia,
tepatnya kaum muslimin. Hal ini disebabkan oleh sikap para
penyusun teologi yang tidak mengaitkannya dengan kesadaran murni dan
nilai-nilai perbuatan manusia
itu sendiri. Sehingga alih-alih justru menimbulkan keterpercahan antara
keimanan teoritik dengan amal praktiknya di kalangan
umat.
Daftar
Pustaka
Abdul Rozak dan
Rosihan Anwar, Ilmu Kalam, Bandung: Pustaka Setia, 2001.
Adian Husaini, Rihlah
Ilmiah Wan Mohd Nor Wan Daud; Dari Neomodernisme ke Islamisasi Ilmu Kontemporer,
Jakarta: INSISTS, 2012.
A.H. Ridwan, Reformasi
Intelektual Islam, Yogyakarta: Ittaqa Press, 1998.
E. Kusnadiningrat, Teologi
dan Pembebasan; Gagasan
Islam Kiri Hasan
Hanafi, Jakarta: Logos,
1999
Ismail
Raji Al-Faruqi, Tauhid,
terj. Rahmani Astuti, Jakarja: Pustaka, 1988
Lamya Al-Faruqi, Allah, Masa Depan Kaum Wanita, Terj. Masyhur Abadi, Surabaya:
Al-Fikr, 1991
Mukti Ali, Alam
Pikiran Islam Modern di India dan Pakistan, Bandung: Mizan, 1993
Referensi
lain:
http://syafieh.blogspot.com/2013/05/ilmu-kalam-kontemporer-ismail-raji-al.html#ixzz3PoRiIY1D, diakses pada Ahad 1 Februari 2015 pukul 20.00 WIB.
Oleh: Syamsudin Kadir—Direktur Eksekutif
Penerbit Mitra Pemuda. Judul asli “Pemikiran Kalam
Kontemporer;
Studi Pemikiran Ismail Raji Al-Faruqi dan Hasan
Hanafi”.
[1]
Disadur dari Lamya Al-Faruqi, Allah, Masa Depan Kaum Wanita, Terj. Masyhur Abadi, (Surabaya:
Al-Fikr, 1991), hlm. Vii-x
[2]
Adian Husaini, Rihlah Ilmiah Wan Mohd Nor Wan Daud; Dari Neomodernisme
ke Islamisasi Ilmu Kontemporer (Jakarta: INSIST, 2012), hlm. 123
[5] Ibid, hal. 13. Baca juga dalam Abdul Rozak dan Rosihan Anwar, Ilmu Kalam (Bandung: Pusaka Setia,
2001), hal. 230
[6] Ibid, hal. 16,17,18. Baca juga dalam Abdul Rozak dan Rosihan Anwar, Ilmu Kalam (Bandung: Pusaka Setia, 2001),
hal. 230
[8] Ibid, hal. 42. Baca juga dalam Abdul Rozak dan Rosihan Anwar, Ilmu Kalam (Bandung: Pusaka Setia,
2001), hal. 231
[18] E. Kusnadiningrat, Teologi dan Pembebasan; Gagasan Islam Kiri Hasan Hanafi,
(Jakarta:Logos, 1999), hal. 63-64
[22] Ibid, hal. 50. Baca juga dalam Abdul Rozak dan Rosihan Anwar, Ilmu Kalam (Bandung: Pusaka Setia, 2001), hal. 236
[26] Ibid, hal. 50-51. Baca juga dalam Abdul Rozak dan Rosihan Anwar, Ilmu Kalam (Bandung: Pusaka Setia,
2001), hal. 238
Komentar
Posting Komentar