Fitrah Manusia Menurut Surat Ar-Rum Ayat 30



KONSEP fitrah pada dasarnya mempercayai bahwa arah pergerakan hidup manusia (peserta didik) secara garis besar dibagi menjadi dua, yaitu taqwa dan sesat fujur. Bila manusia berjalan lurus sesuai fitrahnya, maka ia akan menjadi taqwa (sehat, selamat). Bila tidak selaras dengan fitrahnya, maka ia akan berjalan ke pilihan yang sesat (fujur).

Diakui bahwa nilai-nilai aktualisasi fungsi konsep fitrah sejalan dengan tujuan pendidikan; dimana secara epistemologi pendidikan berwujud mewujudkan peserta didik yang memiliki potensi kepribadian muslim yang berorientasi pada aktualisasi konsep fitrah manusia tersebut.


Pengertian Fitrah

Secara lughatan (etimologi) fitrah berasal dari kosa kata bahasa Arab yakni fa-tha-ra yang berarti “kejadian”, oleh karena kata fitrah itu berasal dari kata kerja yang berarti menjadikan. Pada pengertian lain interpretasi fitrah secara etimologis berasal dari kata fathara yang sepadan dengan kata khalaqa dan anyaa yang artinya mencipta. Biasanya kata fathara, khalaqa dan ansy’a digunakan dalam Al-Qur’an untuk menunjukkan pengertian mencipta, menjadikan sesuatu yang sebelumnya belum ada dan masih merupakan pola dasar yang perlu penyempurnaan.

Dalam Kamus al-Munjid diterangkan bahwa makna harfiah dari fitrah adalah al Ibtida’u wa al ikhtira’u, yakni al shifat allati yattashifu biha kullu maujudin fi awwali zamani khalqihi. Makna lainnya adalah shifatu al insani al thabi’iyah. Lain daripada itu ada yang bermakna al dinu wa al sunnah.

Menurut Abudurrahman Saleh Abdullah (2007) Secara bahasa, kata fitrah berasal dari kata fathara yang berarti “menjadikan”. Kata tersebut berasal dari akar kata al-fathr  yang berarti “belahan atau pecahan”. Fitrah mengandung arti “yang mula-mula diciptakan Allah”, “keadaan yang mula-mula”, “yang asal”, atau “yang awal”.[1]

Muhammad bin Asyur—dalam M Arifin (2003)— mendefinisikan fitrah sebagai berikut:

 “Fitrah (makhluk) adalah bentuk lain dari sistem yang diwujudkan Allah pada setiap makhluk. Sedangkan fitrah yang berkaitan dengan manusia adalah apa yang diciptakan Allah pada manusia yang berkaitan dengan kemampuan akal dan jasmaninya”.[2]
Dalam batasan ini fitrah diartikan sebagai potensi jasmaniah dan akal yang diberikan Allah kepada manusia. Dengan potensi tersebut, manusia mampu melaksanakan “amanat” yang dibebankan oleh Allah kepadanya.[3]

Berdasarkan uraian di atas penulis dapat menyimpulkan bahwa fitrah manusia adalah semua bentuk potensi yang telah dianugerahkan oleh Allah kepada manusia semenjak proses penciptaannya di alam rahim guna kelangsungan hidupnya di atas dunia serta menjalankan tugas dan fungsinya sebagai makhluk terbaik yang diciptakan oleh Allah Swt .

Terjemahan dan Tafsir Al-Qur’an Surat ar-Rum ayat 30

 “Hadapkanlah wajahmu dengan lurus pada agama (Allah), (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan atas fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui. (QS. ar-Rum: 30).

Allah Swt. berfirman: Fa aqim wajhaka li ad-dîn hanîfâ (Hadapkanlah wajahmu dengan lurus pada agama Allah). Menurut Mujahid, Ikrimah, al-Jazairi, Ibnu al-‘Athiyah, Abu al-Qasim al-Kalbi, dan az-Zuhayli, kata ad-dîn bermakna dîn al-Islâm. Penafsiran ini sangat tepat, karena khithâb ayat ini ditujukan kepada Rasulullah saw., tentu agama yang dimaksudkan adalah Islam.

Adapun hanîf, artinya cenderung pada jalan lurus dan meninggalkan kesesatan. Kata hanîf  tersebut, merupakan hâl (keterangan) bagi adh-dhamîr (kata ganti) dari kata aqim atau kata al-wajh; bisa pula merupakan hâl bagi kata ad-dîn. Dengan demikian, menurut as-Suyuti, perintah itu mengharuskan untuk menghadapkan wajah pada dîn al-Islâm dengan pandangan lurus; tidak menoleh ke kiri atau ke kanan, dan tidak condong pada agama-agama lain yang batil dan menyimpang.[4] Perintah ini merupakan tamsil untuk menggambarkan sikap penerimaan total terhadap agama ini, istiqamah di dalamnya, teguh terhadapnya, dan memandangnya amat penting.

Selanjutnya Allah Swt. berfirman: fithrah Allâh al-latî fathara an-nâs ‘alayhâ (tetaplah atas fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu)Secara bahasa,  fithrah berarti al-khilqah (naluri, pembawaan) dan ath-thabî‘ah (tabiat, karakter) yang diciptakan Allah Swt. pada manusia.

Menurut sebagian mufasir, kata fithrah Allâh berarti kecenderungan dan kesediaan manusia terhadap agama yang haq. Sebab, fitrah manusia diciptakan Allah Swt. untuk cenderung pada tauhid dan dîn al-Islâm sehingga manusia tidak bisa menolak dan mengingkarinya.

Sebagian mufassir lainnya seperti Mujahid, Qatadah, Ibnu Abbas, Abu Hurairah, dan Ibnu Syihab memaknainya dengan Islam dan Tauhid. Ditafsirkannya fitrah dengan Islam karena untuk fitrah itulah manusia diciptakan. Telah ditegaskan bahwa jin dan manusia diciptakan Allah Swt. untuk beribadah kepada-Nya (QS adz-Dzariyat  56). Jika dicermati, kedua makna tersebut tampak saling melengkapi.

Harus diingat, kata fithrah Allâh berkedudukan sebagai maf‘ûl bih (obyek) dari fi‘il (kata kerja) yang tersembunyi, yakni ilzamû (tetaplah) atau ittabi‘û (ikutilah). Itu berarti, manusia diperintahkan untuk mengikuti fitrah Allah itu. Jika demikian, maka fitrah yang dimaksudkan tentu tidak cukup hanya sebatas keyakinan fitri tentang Allah atau kecenderungan pada tauhid. Fitrah di sini harus diartikan sebagai akidah tauhid atau dîn al-Islâm itu sendiri. Frasa ini memperkuat perintah untuk mempertahankan penerimaan total terhadap Islam, tidak condong pada agama batil lainnya, dan terus memelihara sikap istiqamah terhadap dîn al-Islâmdîn al-haq, yang diciptakan Allah Swt. untuk manusia. Ini sama seperti firman-Nya (yang artinya): Tetaplah kamu pada jalan yang benar sebagaimana diperintahkan kepadamu dan (juga) orang-orang yang telah taubat beserta kamu. (QS. Hud :112).[5]

Allah Swt. berfirman: Lâ tabdîla li khalqillâh (tidak ada perubahan atas fitrah Allah). Menurut Ibnu Abbas, Ibrahim an-Nakha'i, Said bin Jubair, Mujahid, Ikrimah, Qatadah, adh-Dhahak, dan Ibnu Zaid, li khalqillâh maksudnya adalah li dînillâh. Kata fithrah sepadan dengan kata al-khilqah. Jika fitrah dalam ayat ini ditafsirkan sebagai Islam atau dîn Allâh, maka kata khalq Allâh pun demikian, bisa dimaknai dîn Allâh.

Allah Swt. memberitakan, tidak ada perubahan bagi agama yang diciptakan-Nya untuk manusia. Jika Allah Swt. tidak mengubah agamanya, selayaknya manusia pun tidak mengubah agama-Nya atau menggantikannya dengan agama lain. Oleh karena itu, menurut sebagian mufasir, sekalipun berbentuk khabar nafî (berita yang menafikan), kalimat ini memberikan makna thalab nahî (tuntutan untuk meninggalkan). Dengan demikian, frasa tersebut dapat diartikan: Janganlah kamu mengubah ciptaan Allah dan agamanya dengan kemusyrikan; janganlah mengubah fitrahmu yang asli dengan mengikuti setan dan penyesatannya; dan kembalilah pada agama fitrah, yakni agama Islam.

Allah Swt. menutup ayat ini dengan firman-Nya: Dzâlika ad-dîn al-qayyim walâkinna aktsara an-nâs lâ ya‘lamûn (Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui). Kata al-qayyûm merupakan bentuk mubâlaghah dari kata al-qiyâm (lurus). Allah Swt. menegaskan, perintah untuk mengikuti agama tauhid dan berpegang teguh pada syariah dan fitrah yang sehat itu adalah agama yang lurus; tidak ada kebengkokan dan penyimpangan di dalamnya.[6]

Seharusnya tidak ada keberatan sama sekali bagi manusia untuk memeluk Islam. Sebaliknya, dia akan merasa berat dan susah ketika harus keluar dari Islam. Pasalnya, memeluk Islam sesungguhnya merupakan fitrah manusia. Secara tersirat, ayat ini menegaskan akan realitas tersebut. Para mufasir menafsirkan kata fithrah Allâh dengan kecenderungan pada akidah tauhid dan Islam, bahkan Islam itu sendiri.

Pertama: adanya gharîzah at-tadayyun (naluri beragama) pada diri setiap manusia sehingga ia bisa merasakan dirinya lemah dan ringkih. Ia membutuhkan Zat Yang Mahaagung, yang berhak untuk disembah dan dimintai pertolongan. Karenanya, manusia membutuhkan agama yang menuntun dirinya melakukan penyembahan (‘ibâdah) terhadap Tuhannya dengan benar.

Kedua: dengan akal yang diberikan Allah Swt. pada diri setiap manusia, ia mampu memastikan adanya Allah, Pencipta alam semesta. Sebab, keberadaan alam semesta yang lemah, terbatas, serba kurang, dan saling membutuhkan pasti merupakan makhluk. Hal itu memastikan adanya al-Khâliq yang menciptakannya. Dengan demikian, kebutuhan manusia pada agama, selain didorong oleh gharîzah at-tadayyun, juga oleh kesimpulan akal.

Lebih jauh, akal manusia juga mampu memilah dan memilih akidah dan agama yang benar. Akidah batil akan dengan mudah diketahui dan dibantah oleh akal manusia. Sebaliknya, argumentasi akidah yang haq pasti tak terbantahkan sehingga memuaskan

Oleh karena itu, secara fitri manusia membutuhkan akidah dan agama yang haq, agama yang menenteramkan perasaan sekaligus memuaskan akal. Islamlah satu-satunya yang haq. Islam dapat memenuhi dahaga naluri beragama manusia dengan benar sehingga menenteramkannya. Islam juga memuaskan akalnya dengan argumentasi-argumentasinya yang kokoh dan tak terbantahkan.  Dengan demikian, Islam benar-benar sesuai dengan fitrah dan tabiat manusia. Karena begitu sesuainya, az-Zamakhsyari dan an-Nasafi menyatakan, Seandainya seseorang meninggalkan Islam, mereka tidak akan bisa memilih selain Islam sebagai agamanya.

Sesungguhnya bagi manusia, menolak Islam jauh lebih sulit dan berat ketimbang menerimanya. Sebab, apa pun atau siapa pun lebih mudah memelihara tabiat asli dan jati dirinya daripada harus mengubahnya.[7]

Hubungan Fitrah Manusia dengan Pendidikan Islam

Manusia dalam pandangan Islam adalah khalifah Allah di muka bumi. Sebagai duta Allah, dia memiliki karakteristik yang multidimensi, yakni pertama, diberi hak untuk mengatur alam ini sesuai kapasitasnya. Dalam mengemban tugas ini, manusia dibekali wahyu dan kemampuan mempersepsi. Kedua, dia menempati posisi terhormat di antara makhluk Allah yang lain. Anugerah ini diperoleh lewat kedudukan, kualitas dan kekuatan yang diberikan Tuhan kepadanya. Ketiga, dia memiliki peran khusus yang harus dimainkan di planet ini, yaitu mengembangkan dunia sesuai dasar dan hukum-hukum yang ditetapkan oleh Allah.

Potensi akal secara fitrah mendorong manusia memahami simbol-simbol, hal-hal yang abstrak, menganalisa, memperbandingkan maupun membuat kesimpulan dan akhirnya memilih maupun memisahkan yang benar dan salah. Di samping itu, akal dapat mendorong manusia berkreasi dan berinovasi dalam menciptakan kebudayaan serta peradaban. Manusia dengan kemampuan akalnya mampu menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi, mengubah serta merekayasa lingkungannya, menuju situasi kehidupan yang lebih baik, aman dan nyaman.

Sebelum terlalu jauh kita mengulas tentang hubungan konsep fitrah dan hubungannya dengan pendidikan Islam ada baiknya kita telusuri terlebih dahulu tujuan dari pendidikan Islam secara umum. Secara general tendensi dari pendidikan Islam itu sendiri adalah mengetahui hakikat kemanusiaan menurut Islam, yakni nilai-nilai ideal yang diyakini serta dapat mengangkat harkat dan martabat manusia. Sementara Achmadi meletakkan keterangan tujuan pendidikan Islam dalam “tiga karakteristik” yakni tujuan tertinggi/akhir, tujuan umum, tujuan khusus. Tujuan tertinggi adalah bersifat mutlak, tidak mengalami perubahan karena sesuai dengan konsep Ilahi yang mengandung kebenaran mutlak dan universal. Tujuan tertinggi (akhir) ini pada dasarnya sesuai dengan tujuan hidup manusia dan peranannya sebagai ciptaan Allah. Salah satu prilaku itu identitas islami itu sendiri pada hakikatnya adalah mengandung nilai prilaku manusia yang didasari atau dijiwai oleh iman dan taqwa kepada Allah sebagai sumber kekuasaan mutlak yang harus ditaati. Tujuan selanjutnya adalah tujuan umum yang berbeda substansinya dengan tujuan pertama yang cenderung mengarah kepada nilai filosofis. Tujuan ini lebih bersifat empirik dan realistik. Ahmad tafsir—dalam Badri Khaeruman (2004)—mengemukakan tujuan umum bersifat tetap, berlaku di sepanjang tempat, waktu, dan keadaan. Tujuan umum berfungsi sebagai arah yang taraf pencapaiannya dapat diukur karena menyangkut perubahan sikap, perilaku dan kepribadian subjek didik, sehingga mampu menghadirkan dirinya sebagai sebuah pribadi yang utuh. Itulah yang disebut realisasi diri (self realization). Sementara tujuan khusus merupakan pengkhususan atau operasionalisasi tujuan tertinggi/akhir dan tujuan umum pendidikan Islam. Tujuan khusus bersifat relatif sehingga dimungkinkan untuk diadakan perubahan dimana perlu sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan, selama tetap berpijak pada kerangka tujuan tertinggi (akhir) dan umum itu.[8]  Pengkhususan tujuan pendidikan Islam tersebut menurut Achmadi—dalam Badri Khaeruman (2004)—didasarkan pada: kultur dan cita-cita suatu bengsa dimana pendidikan itu diselenggarakan, minat, bakat, dan kesanggupan subjek didil; dan tuntunan situasi, kondisi pada kurun waktu tertentu.[9]

Konsep fitrah dalam hubungannya dengan pendidikan Islam mengacu pada tujuan bersama dalam menghadirkan perubahan tingkah laku, sikap dan kepribadian setelah seseorang mengalami proses pendidikan. Menjadi masalah adalah bagaimana sifat dan tanda-tanda (indikator) orang yang beriman dan bertaqwa.

Menghubungkan keterangan ini secara ilmiah dengan adanya teori pendidikan Islam maka secara disiplin ilmu merupakan konsep pendidikan yang mengandung berbagai teori yang dapat dikembangkan dari hipotesa-hipotesa yang bersumber dari al Qur’an maupun hadits baik dari segi sistem, proses, dan produk yang diharapkan mampu membudayakan umat manusia agar bahagia dan sejahtera dalam hidupnya. Inilah yang disebut secara implikasi konsep fitrah kecenderungan peserta didik pada yang benar, yang secara pendekatan ilmiah memiliki kekuatan mempengaruhi benda dan peristiwa. Sedang pendidikan bila diberikan pengertian dari al-Qur’an maka kalangan pemikir pendidikan Islam meletakkan pada tiga karakteristik di antaranya rabb, ta’lim, dan ta’dib.   

Hubungan Fitrah Manusia dengan Godaan

Kesesuaian fitrah manusia dengan Islam juga dijelaskan dalam dalil-dalil naqli. Allah Swt. berfirman, Ingatlah ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman), “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab, “Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi.”  (QS. al-A‘raf : 172).

Allah Swt. juga berfirman di dalam hadis qudsi: “Sesungguhnya aku telah menciptakan hamba-hamba-Ku dalam keadaan hanif (lurus) semuanya dan sesungguhnya mereka didatangi setan, lalu setan itu membelokkan mereka dari agama mereka.”  (HR Muslim).
 Rasulullah Saw. juga bersabda: “Tidak ada seorang anak kecuali dilahirkan dalam keadaan fitrah. Kemudian kedua orangtuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau Majusi.” (HR . Bukhari).[10]

Kedua hadits di atas menjelaskan tentang kondisi awal setiap manusia. Dalam hadits pertama disebutkan, setiap manusia diciptakan dalam keadaan hanîf, yakni lurus dan tidak condong pada kesesatan. Adapun dalam hadits kedua dinyatakan, setiap bayi dilahirkan dalam keadaan fitrah, namun fitrah yang dimaksudkan di sini adalah pengakuan terhadap Allah Swt.

Hadits pertama di atas menjelaskan, penyimpangan manusia dari fitrahnya disebabkan oleh bujuk rayu setan. Hadits kedua menjelaskan, pendidikan yang salah dari orangtua atau institusi pendidikan merekalah yang menjadi faktor penyebab keluarnya manusia dari fitrahnya. Namun demikian, faktor dalam diri manusia juga turut menjadi penyebabnya. 

Bertolak dari paparan di atas, orang yang menolak Islam benar-benar sangat keterlaluan. Pantaslah jika mereka mendapatkan siksa yang amat berat dari Allah Swt.[11]

Kesimpulan

Secara umum dapat dijelaskan, konsep fitrah manusia dalam Al-Qur’an memiliki hubungan yang kuat dengan pendidikan Islam. Konsep fitrah menggariskan bahwa secara alamiah manusia itu positif (fitrah), baik secara fisik dan jiwa (kognitif dan afektif) maupun ruhani (spiritual).

Selebihnya, diakui bahwa salah satu komponen terpenting manusia selain jasad dan akalnya adalah qalbu. Perilaku manusia bergantung pada qalbu-nya. Dengan qalbu-nya manusia dapat mengetahui sesuatu (di luar nalar) berkecenderungan kepada yang benar dan bukan yang salah (termasuk memiliki kebijaksanaan, kesabaran), dan memiliki kekuatan mempengaruhi benda dan peristiwa di sekitarnya

Dafar Pustaka
Buku
Abdullah, Abdurrahman Saleh. 2007.  Teori-Teori Pendidikan Berdasarkan Al Qur’an. Jakarta: PT Rineka Cipta.Arifin, M. 2003. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: PT Bumi Aksara.



Kitab
As-Suyuti, ad-Durr al-Mantsûr fî at-Tafsîr al-Ma’tsûr, V/298-299, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, Beirut. 1990.Al-Alusi, h al-Ma’âni, XI/40, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, Beirut. 1994.
Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, III/533, Dar ‘Alam al-Kutub, Riyadh. 1997. al-Baghawi, Ma’âlim aT-Tanzîl, III/415, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, Beirut. 1993.
Azl-Zamakhsyari,  al-Kasysyâf, III/463; an-Nasafi, Madârik at-Tanzîl, II/308.
Az-Zuhayli, at-Tafsîr al-Munîr, XXI/81.
Jamal al-Din al-Jauzi, Zâd al-Masîr, VI/151; az-Zamakhsyari,  al-Kasysyâf, III/463
Sulaiman al-‘Ajili, al-Futuhât al-Ilâhiyyah, VI/102

Onlin

Oleh: Syamsudin Kadir—Direktur Eksekutif Penerbit Mitra Pemuda. Judul asli “Fitrah Manusia; Sebuah Interpertasi atas Tafsir Surat Ar-Rum Ayat 30




[1] Abdurrahman Saleh Abdullah, Teori-teori Pendidikan Berdasarkan Al-Qur’an (Jakarta: PT. Rineka Putra), 2007, hal. 68.
[2] M. Arifin, Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta: PT. Bumi Aksara), 2003, hal. 158.
[3] Ibid.
[4] As-Suyuti, ad-Durr al-Mantsûr fî at-Tafsîr al-Ma’tsûr, V/298-299, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, Beirut. 1990.
[5] Lihat, Al-Alusi, h al-Ma’âni, XI/40, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, Beirut. 1994.
[6] Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, III/533, Dar ‘Alam al-Kutub, Riyadh. 1997.
[7] al-Baghawi, Ma’âlim aT-Tanzîl, III/415, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, Beirut. 1993.
[8] Badri khaeruman, Memahami Pesan Al-quran. 2004. Hal. 63.
[9] Ibid.
[10] Jamal al-Din al-Jauzi, Zâd al-Masîr, VI/151; az-Zamakhsyari,  al-Kasysyâf, III/463
[11] Sulaiman al-‘Ajili, al-Futuhât al-Ilâhiyyah, VI/102

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Langkah dan Teknik Konseling Kelompok

Sejarah Perkembangan Pendidikan Luar Sekolah