Materi dan Kurikulum Pendidikan Islam

MATERI pendidikan adalah komponen penting yang harus disesuaikan dalam pendidikan, yang tersusun dalam komponen materi atau kurikulum pendidikan. Apabila dikaitkan dengan “PP No. 19 tahun 2005 Bab 1 ayat 1 pasal 5”, maka materi atau bahan pendidikan disebut standar isi yaitu : ruang lingkup materi dan tingkat komponen yang dituangkan dalam kriteria tentang kompetensi tamatan, kompetensi bahan kajian, kompetensi mata pelajaran dan silabus pembelajaran yang harus dipenuhi oleh peserta didik pada jenjang dan jenis pendidikan tertentu.


Materi pendidikan biasa juga disebut isi atau kandungan pendidikan dan kurikulum. Materi pendidikan ialah segala sesuatu yang diberikan kepada anak didik untuk mencapai tujuan pendidikan yang telah ditetapkan. Dengan demikian, tujuan pendidikan tidak akan tercapai sebagaimana mestinya tanpa pembekalan anak didik dengan materi pendidikan.[1]

Dalam bahasa lain, materi juga kerap disamakan dengan kurikulum. Secara etimologi kurikulum berasal dari bahasa Yunani, yaitu curir yang artinya pelari dan curere yang berarti jarak yang harus ditempuh oleh pelari. Berdasarkan pengertian ini, konteksnya dengan dunia pendidikan, memberi pengertian sebagai “circle of instruction” yaitu suatu lingkaran pengajaran dimana guru dan murid terlibat di dalamnya.

Berdasarkan pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa kurikulum adalah landasan yang digunakan pendidik untuk membimbing peserta didiknya ke arah tujuan pendidikan yang diinginkan melalui akumulasi sejumlah pengetahuan, keterampilan dan sikap mental.[2]

Jadi, materi atau kurikulum pendidikan Islam adalah bahan-bahan pendidikan Islam berupa kegiatan, pengetahuan dan pengalaman yang dengan sengaja dan sistematis diberikan kepada anak didik dalam rangka mencapai tujuan pendidikan Islam. Atau dengan kata lain kurikulum pendidikan Islam adalah semua aktivitas, pengetahuan dan pengalaman yang dengan sengaja dan secara sistematis diberikan oleh pendidik kepada anak didik dalam rangka tujuan pendidikan Islam.

Atau dapat juga dikatakan bahwa kurikulum pendidikan Islam itu merupakan satu komponen pendidikan agama berupa alat untuk mencapai tujuan yaitu menjadi—apa yang disinggung Adian Husaini (2012) sebagai—manusia yang beradab: manusia yang mau dan mampu bertindak seperti apa dan bagaimana seharusnya seorang muslim menurut Allah; baik kepada Allah, kepada sesama manusia, termasuk kepada diri sendiri.[3]

Ini bermakna untuk mencapai tujuan pendidikan agama (pendidikan Islam) diperlukan adanya kurikulum yang sesuai dengan tujuan pendidikan Islam dan bersesuaian pula dengan tingkat usia, tingkat perkembangan kejiwaan anak dan kemampuan pelajar.

Kurikulum pendidikan sendiri memiliki ciri khas tersendiri. Menurut Al- Syaebany, ciri-ciri kurikulum pendidikan Islam itu adalah (a) Mementingkan tujuan agama dan akhlak dalam berbagai hal seperti tujuan dan kandungan, kaedah, alat dan tekniknya. (b) Memperluas perhatian dan kandungan hingga mencakup perhatian, pengembangan serta bimbingan terhadap segala aspek pribadi pelajar dari segi intelektual, psikologi, sosial, dan spiritual. (c) Adanya keseimbangan antara kandungan kurikulum dan pengalaman serta kegiatan pengajaran. (d) Menekankan konsep menyeluruh dan keseimbagan pada kandungannya yang tidak hanya terbatas pada ilmu-ilmu teoritis, baik yang bersifat aqli maupun naqli, tetapi juga meliputi seni halus, aktivitas pendidikan jasmani, latihan militer, teknik, pertukangan, bahasa asing dll. (e) Keterkaitan antara kurikulum pendidikan Islam dengan minat, kemampuan, keperluan, dan perbedaan individual antar siswa.[4]

Jika ditelisik dalam berbagai surat dalam al-Qur’an, maka akan ditemukan—apa yang disebut oleh Prof. Wan Mohd Nor Wan Daud (2012)—“berbagai kerangka umum yang dapat dijadikan sebagai pijakan dalam menentukan materi maupun kurikulum pendidikan Islam”.

Secara umum ada tiga materi pijakan, pertama, materi tauhid/aqidah/keimanan. Terdapat dalam QS. Luqman: 12-14, QS. Yusuf: 6, QS. Hud: 42-46, QS. Maryam: 30, QS. Al-Baqarah: 132-133. Kedua, materi ibadah/syariah. Terdapat dalam QS. Luqman ayat 12, 14, dan 17; QS. Maryam: 29, 31. Ketiga, materi akhlak. Terdapat dalam QS. Luqman: 12, 14, 15, 17, 18, 19; QS. Yusuf: 4-6, QS. Surat Hud: 42-46; QS. Maryam: 27, 28 dan 32. 

Ketiga materi di atas secara langsung dapat dijadikan sebagai materi pendidikan Islam, tapi dapat juga dijadikan sebagai pijakan dasar bagi materi-materi turunan (derivasi) sesuai kebutuhan pendidikan Islam itu sendiri.  

Pada kesempatan ini saya hanya menjelaskan kandungan materi yang terdapat dalam QS. Luqman ayat 12-19, yang cukup mewakili beberapa ayat dari beberapa surat seperti yang disebutkan di atas.

Ayat, Arti, serta Tafsir Surat Luqman ayat 12-19

Arti dan isi kandungan surat Luqman ayat 12

Dan sesungguhnya telah Kami berikan hikmah kepada Lukman, yaitu: “Bersyukurlah kepada Allah. Dan barang siapa yang bersyukur (kepada Allah), maka sesungguhnya ia bersyukur untuk dirinya sendiri; dan barang siapa yang tidak bersyukur, maka sesungguhnya Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji”.

Ayat 12 tersebut menguraikan tentang salah seorang yang bernama Luqman yang dianugerahi oleh Allah SWT. berupa hikmah, sambil menjelaskan beberapa butir hikmah yang pernah beliau sampaikan kepada anaknya.

Para ulama mengajukan aneka keterangan tentang makna hikmah. Antara lain bahwa hikmah berarti “Mengetahui yang paling utama dari segaala sesuatu, baik pengetahuan, maupun perbuatan. Ia adalah ilmu amaliah dan amal ilmiah. Ia adalah ilmu yang didukung oleh amal, dan amal yang tepat dan didukung oleh ilmu.”

Hikmah juga diartikan sebagai sesuatu yang bila digunakan/diperhatikan akan menghalangi terjadinya mudarat atau kesulitan yang lebih besar dan atau mendatangkan kemaslahatan dan kemudahan yang lebih besar. Makna ini ditarik dari kata hakamah, yang berarti kendali. Karena kendali menghalangi hewan/kendaraan mengarah ke arah yang tidak diinginkan atau menjadi liar. Memilih perbuatan yang terbaik dan sesuai adalah perwujudan dari hikmah. Memilih yang terbaik dan sesuai dari dua hal yang buruk pun, dinamai hikmah dan pelakunya dinamai hakim (bijaksana).

Menurut M. Quraish Shihab (2003), kata syukur terambil dari kata syakara yang maknanya berkisar antara lain pada pujian atas kebaikan, serta penuhnya sesuatu. Syukur manusia kepada Allah dimulai dengan menyadari dari lubuk hatinya yang terdalam betapa besar nikmat dan anugerah-Nya, disertai dengan ketundukan dan kekaguman yang melahirkan rasa cinta kepada-Nya, dan dorongan untuk memuji-Nya dengan ucapan sambil melaksanakan apa yang dikehendaki-Nya dari penganugerahan itu. Syukur didefinisikan oleh sementara ulama dengan memfungsikan anugerah yang diterima sesuai dengan tujuan penganugerahannya.

 (أن اشكر لله) an usykur lillah adalah hikmah itu sendiri yang dianugerahkan kepadanya itu. Al-Biqa’i  menulis bahwa “walaupun dari segi redaksional ada kalimat Kami katakana kepadanya, tetapi makna khirnya adalah Kami anugerahkan kepadanya syukur.” Sayyid Quthub menulis bahwa: “Hikmah, kandungan dan konsekuensinya adalah syukur kepada Allah.”

Menurut M. Quraish Shihab (2003), ayat di atas menggunakan bentuk mudhari’/kata kerja masa kini dan dating untuk menunjukkan kesyukuran (يشكر) yasykur, sedang ketika berbicara tentang kekufuran, digunakan bentuk kata kerja masa lampau (كفر). Sebaliknya kata kerja masa lampau pada kekufuran/ketiadaan syukur  (كفر)adalah untuk mengisyaratkan bahwa jika itu terjadi,, walau sekali, maka Allah akan berpaling dan tidak menghiraukannya.

Kata(غنيّ) Ghaniyyun/ Maha Kaya terambil dari akar kata yang terdiri dari huruf-huruf (غ) ghain, (ن) nun, (ي) ya’ yang bermakna berkisar pada dua hal, yaitu kecukupan, baik menyangkut harta maupun selainnya. Dari sini lahir kata ghaniyyah, yaitu wanita yang tidak kawin dan merasa berkecukupanhidup di rumah orang tuanya, atau merasa cukup hidup sendirian tanpa suami, dan yang kedua adalah suara. Dari sini lahir kata mughanniy dalam arti penarik suara atau penyanyi.

Kata (حميد) Hamid/ Maha Terpuji, terambil dari akar kata yang terdiri dari huruf-huruf  (ح) ha’(م) mim dan (د) dal, yang maknanya adalah antonim tercela. Kata hamd/pujian digunakan untuk memuji yang Anda peroleh maupun yang diperoleh selain Anda. Berbeda dengan kata syukur yang digunakan dalam konteks nikmat yang Anda peroleh saja.[5]

Arti dan isi kandungan surat Luqman ayat 13

Dan (ingatlah) ketika Lukman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: “Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan (Allah) sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kelaliman yang besar”.

Di ayat 13 dilukiskan pengalaman hikmah itu oleh Luqman, serta pelestariannya kepada anaknya. Ini pun mencerminkan kesyukuran beliau atas anugerah itu. Ayat ini berbunyi: Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia dari saat ke saat memberi pelajaran kepadanya bahwa “Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan (Allah) dengan sesuatu apapun, dan jangan juga mempersekutukan-Nya sedikit persekutuan pun, lahir maupun batin. Persekutuan yang jelas maupun tersembunyi. Sesungguhnya syirik yakni mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kelaliman yang besar”. Itu adalah penempatan sesuatu yang sangat agung pada tempat yang sangat buruk.

Luqman yang disebut surat ini adalah seorang tokoh yang diperselisihkan identitasnya. Orang Arab mengenal dua tokoh yang bernama Luqman. Pertama, Luqman Ibn ‘Ad. Tokoh ini mereka agungkan karena wibawa, kepemimpinan, ilmu, kefasihan dan kepandaiannya. Tokoh kedua adalah Luqman al-Hakim yang terkenal dengan kata-kata bijak dan perumpamaannya. Agaknya dialah yang dimaksud oleh surah ini.

Kata (يعظه) ya’izhuhu terambil dari kata (وعظ) wa’zh yaitu nasehat menyangkut berbagai kebajikan dengan cara yang menyentuh hati. Ada juga yang mengartikannya sebagai ucapan yang mengandung peringatan dan ancaman. Penyebutan kata ini sesudah kata dia berkata untuk memberi gambaran tentang bagaimana perkataan itu beliau sampaikan, yakni tidak membentak, tetapi penuh kasih saaing sebagaimana dipahami dalam panggilan mesranya kepada anak.

Sementara ulama yang memahami kata (وعظ) wa’zh dalam arti ucapan yang mengandung peringatan dan ancaman, berpendapat bahwa kata tersebut mengisyaratkan bahwa anak Luqman adalah orang musyrik, sehingga sang ayah yang menyandang hikmah itu terus menerus menasihatinya sampai akhirnya sang anak mengakui Tauhid.

Kata (بنيّ) bunayya adalah patron yang menggambarkan kemungilan. Asalnya adalah (إبني) ibny, dari kata (إبن) ibn yakni anak lelaki. Pemungilan tersebut mengisyaratkan kasih sayang. Dari sini kita dapat berkata bahwa ayat di atas memberi isyarat bahwa mendidik hendaknya didasari oleh rasa kasih sayang terhadap peserta didik.

Luqman memulai nasihatnya dengan menekankan perlunya menghindari syirik/ mempersekutukan Allah. Larangan ini sekaligus mengandung pengajaran tentang wujud keesaan Allah. Bahwa redaksi pesannya berbentuk larangan, jangan mepersekutukan Allah untuk menekankan perlunya meninggalkan sesuatu yang buruk sebelum melaksanakan yang baik. Memang “At-takhliyah muqaddamun ‘ala at-tahliyah” (menyingkirkan keburukan lebih utama daripada menyandang perhiasan).[6]

Arti dan isi kandungan surat Luqman ayat 14

Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu-bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu.

Menurut Al-Biqa’i, ayat 14 bagaikan menyatakan: Luqman menyatakan hal itu kepada anaknya sebagai nasihat kepadanya, padahal Kami telah mewasiatkan anaknya dengan wasiat itu seperti apa yang dinasihatkannya menyangkut hak Kami. Thahir Ibn ‘Asyur berpendapat bahwa jika kita menyatakan bahwa Luqman bukan seorang Nabi, maka ayat ini adalah sisipan yang sengaja diletakkan setelah wasiat Luqman yang lalu tentang keharusan mengesakan Allah dan mensyukuri-Nya. Allah menggambarkan betapa Dia sejak dini telah melimpahkan anugerah kepada hamba-hamba-Nya dengan mewasiatkan anak agar berbakti kepada orang tuanya.

Di ayat 14 tidak menyebutkan jasa bapak, tetapi lebih menekankan jasa ibu. Ini disebabkan karena ibu berpotensi untuk tidak dihiraukan oleh anak karena kelemahan ibu berbeda dengan bapak. Di sisi lain, “peranan bapak” dalam konteks kelahiran anak lebih ringan dibanding dengan peranan ibu. Setelah pembuahan, semua proses kelahiran anak dipikul sendirian oleh ibu. Bukan hanya sampai masa kelahirannya, tetapi berlanjut dengan penyusuan, bahkan lebih dari itu. Memang ayah pun bertanggung jawab menyiapkan dan membantu ibu agar beban yang dipikulnya tidak terlalu berat, tetapi ini tidak langsung menyentuh anak, berbeda dengan peranan ibu.

Menurut M. Quraish Shihab (2003), kata (وهنًا) wahnan berarti kelemahan atau kerapuhan. Yang dimaksud di sini kurangnya kemampuan memikul beban kehamilan, penyusuan dan pemeiharaan anak. Patron kata yang digunakan ayat inilah mengisyaratkan betapa lemahnya sang ibu sampai-sampai ia dilukiskan bagaikan kelemahan itu sendiri, yakni segala sesuatu yang berkaitan dengan kelemahan telah menyatu pada dirinya dan dipikulnya.

Firman-Nya: (وفصاله في عامين) wa fishalahu fi amain/ dan penyapiannya di dalam dua tahun, mengisyaratkan betapa penyusuan anak sangat penting dilakukan oleh ibu kandung. Tujuan penyusuan ini bukan sekadar untuk memelihara kelangsungan hidup anak, tetapi juga bahkan lebih-lebih untuk menumbuhkembangkan anak dalam kondisi fisik dan psikis yang prima. Kata fi/di dalam, mengisyaratkan bahwa masa itu tidak mutlak demikian. Dalam surat Al-Baqarah: 233 ditegaskan bahwa masa dua tahun adalah bagi siapa yang hendak menyempurnakan penyusuan.

Pada penggalan ayat 14 ini, jika dihubungkan dengan firman-Nya pada QS. Al-Ahqaf: 15 yang menyatakan: “…mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan,” diperoleh kesimpulan bahwa masa kehamilan minimal adalah tiga puluh bulan kurang dua tahun yakni enam bulan.

Di antara hal yang menarik dari pesan-pesan ayat ini adalah bahwa masing-masing disertai dengan argumennya: “Jangan mempersekutukan Allah, sesungguhnya memperse-kutukan-Nya adalah penganiayaan yang besar”. Sedang ketika mewasiati anak menyangkut orang tuanya ditekankan bahwa,”Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan kelemahan di atas kelemahan dan penyapiannya di dalam dua tahun.”

Demikianlah seharusnya materi petunjuk atau materi pendidikan yang disajikan. Ia dibuktikan dengan kebenaran argumentasi yang dipaparkan atau yang dapat dibuktikan oleh manusia melalui penalaran akalnya. Metode ini bertujuan agar manusia merasa bahwa ia ikut berperan dalam menemukan kebenaran dan dengan demikian ia merasa memilikinya serta bertanggung jawab mempertahankannya.[7]

Arti dan isi kandungan surat Luqman ayat 15

Dan jika keduanya memaksa kamu untuk mempersekutukan Aku dengan sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka jangan lah engkau mematuhi keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Kulah kembali kamu, maka Ku-beritakan kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan.”

Ayat ini menjelaskan tentang pengecualian menaati perintah kedua orangtua, sekaligus menggaris bawahi wasiat Luqman kepada anaknya tentang keharusan meninggalkan kemusyrikan dalam bentuk serta kapan dan dimana pun. Kewajiban menghormati dan menjalin hubungan baik dengan ibu bapak, menjadikan sementara ulama berpendapat bahwa seorang anak boleh saja membelikan buat ibu bapaknya yang kafir dan fakir minuman keras kalau mereka telah terbiasa dan senang meminumnya, karena meminum minuman keras buat orang kafir bukanlah sesuatu yang munkar.

Ayat ini mengandung pesan, yang pertama, bahwa mempergauli dengan baik itu hanya dalam urusan keduniaan, bukan keagamaan. Yang kedua, bertujuan meringankan beban tugas itu, karena ia hanya untuk smentara yakni selama hidup di dunia yang hari-harinya terbatas, sehingga tidak mengapalah memikul beban kebaktian kepada-Nya. Dan yang ketiga, bertujuan menghadapkan kata dunia dengan hari kembali kepada Allah yang dinyatakan di atas dengan kalimat hanya kepada-Ku kembali kamu.[8]

Arti dan isi kandungan surat Luqman ayat 16

Wahai anakku, sesungguhnya jika ada seberat biji sawi, dan berada dalam batukarang atau dilangit atau di dalam bumi, niscaya Allah akan mendatangkannya, Sesungguhnya Allah Maha Halus lagi Maha Mengetahui.”

Ayat ini menguraikan tentang kedalaman ilmu Allah swt., yang diisyaratkan pula oleh penutup ayat lalu dengan pernyataan-Nya. Dalam ayat ini terdapat kata Lathif yang bermakna lembut, halus, atau kecil. Dari makna ini kemudian lahir makna ketersembunyian dan ketelitian. Imam al-Ghazali menjelaskan bahwa yang berhak menyandang sifat ini adalah yang mengetahui perincian kemashalatan dan seluk beluk rahasianya, yang kecil dan yang halus, kemudian menempuh jalan untuk menyampaikannya kepada yang berhak secara lemah lembut bukan kekerasan. Pada akhirnya tidak keliru jika dikatakan bahwa Allah Lathif, kerena Dia selalu menghendaki untuk makhluk-Nya kemaslahatan dan kemudahan lagi menyiapkan sarana dan prasarana guna kemudahan meraihnya.

Dalam konteks ayat ini, agaknya perintah berbuat baik, apalagi kepada orangtua yang berbeda agama, merupakan salah satu bentuk dari Luthf Allah swt. Karena betapapun perbedaan atau perselisihan antara anak dan ibu bapak, pasti hubungan darah yang terjalin antara mereka tetap berbekas di hati masing-masing. Dan dapat disimpulkan bahwa ayat ini menggambarkan Kuasa Allah melakukan perhitungan atas amal-amal perbuatan manusia di akhirat nanti. Demikian, melalui keduanya tergabung uraian tentang keesaan Allah dan keniscayaan hari kiamat. Dua prinsip dasar akidah Islam yang sering kali mewakili semua akidahnya.[9]

Arti dan isi kandungan surat Luqman ayat 17

Wahai anakku, laksanakanlah shalat dan perintahkanlah mengerjakan yang ma’ruf dan cegahlah dari kemunkaran dan bersabarlah terhadap apa yang menimpamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal diutamakan.”

Ayat di atas menjelaskan tentang hal-hal yang berkaitan dengan amal-amal shaleh yang puncaknya adalah shalat, serta amal-amal kebajikanyang tercermin dalam amr ma’ruf dan nahi munkar, juga nasihat berupa perisai yang membentengi seseorang dari kegagalan yaitu sabar dan tabah.

Kata ‘azm dari segi bahasa bararti keteguhan hati dan tekad untuk melakukan sesuaatu. Kata ini berpatron mashdar, tetapi maksudnya adalah objek, sehingga makna penggalan ayat itu adalah shalat, amr ma’ruf dan nahi munkar – serta kesabaran – merupakan hal-hal yang telah diwajibkan oleh Allah untuk dibulatkan atasnya tekad manusia.

Thabathaba’i tidak memahami kesabaran sebagai salah satu yang ditunjuk oleh kata yang demikian itu, karena menurutnya kesabaran telah masuk dalam bagian azm. Maka atas dasar itu, bersabar yakni menahan diri termasuk dalam ‘azm dari sisi bahwa ‘azm yakni tekad dan keteguhan akan terus bertahan selama masih ada sabar. Dengan demikian kesabaran diperlukan oleh tekad serta kesinambungannya.[10]

Arti dan isi kandungan surat Luqman ayat 18

“Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri.”


Arti dan isi kandungan surat Luqman ayat 19

Dan sederhanalah kamu dalam berjalan dan lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keledai.”

Nasihat Luqman kali ini berkaitan dengan akhlak dan sopan santun berinteraksi dengan sesama manusia. Materi pelajaran aqidah, beliau selingi dengan materi pelajaran akhlak, bukan saja agar peserta didik tidak jenuh dengan satu materi, tetapi juga untuk mengisyaratkan bahwa ajaran akidah dan akhlaq merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan.

Beliau menasihati anaknya dengan berkata: Dan wahai anakku, di samping butir-butir nasihat yang lalu, janganlah juga engkau berkeras memalingkan pipimu yakni mukamu dari manusia—siapapun dia—didorong oleh penghinaan dan kesombongan. Tetapi tampillah kepada setiap orang dengan wajah berseri penuh rendah hati. Dan bila engkau melangkah, janganlah berjalan di muka bumi dengan angkuh, tetapi berjalanlah dengan lemah lembut penuh wibawa. Sesungguhnya Allah tidak menyukai yakni tidak melimpahkan anugerahkasih sayang-Nya kepada orang orang yang sombong lagi membanggakan diri. Dan bersikap sederhanalah dalam berjalanmu, yakni jangan membusungkan dada dan jangan juga merunduk bagaikan orang sakit. Jangan berlari tergesa-gesa dan jangan juga sangat perlahan menghabiskan waktu. Dan lunakkanlah suaramu sehingga tidak terdengar kasar bagaikan teriakan keledai. Sesungguhnya sebukruk-buruk suara ialah suara keledai karena awalnya siulan yang tidak menarik dan akhirnya tarikan nafas yang buruk.

Kata tusha’ir terambil dari kata  ash-sha’ar yaitu penyakit yang menimpa unta dan menjadikan lehernya keseleo, sehingga ia memaksakan dia dan berupaya keras agar berpaling sehingga tekanan tidak tertuju kepada syaraf lehernya yang mengakibatkan rasa sakit. Dari kata inilah ayat di atas menggambarkan upaya keras dari seseorang untuk bersikap angkuh dan menghina orang lain. Memang sering kali penghinaan tercermin pada kenengganan melihat siapa yang dihina.

Kata   fi’ al-ardh/di bumi disebut oleh ayat di atas, untuk mengisyaratkan bahwa asal kejadian manusia dari tanah, sehingga dia hendaknya jangan menyombongkan diri dan melangkah angkuh di tempat itu. Demikian kesan al-Biqa’i. sedangkan Ibn ‘Asyur memperoleh kesan bahwa bumi adalah tempat berjalan setiap orang, yang kuat dan yang lemah, yang kaya dan yang miskin, penguasa dan rakyat jelata. Mereka semua sama sehingga tidak wajar bagi pejalan yang sama, menyombongkan diri dan merasa melebihi orang lain.

Kata  mukhtalan terambil dari akar kata yang sama dengan  khayal/khayal. Karenanya kata ini pada mulanya berarti orang yang tingkah lakunya diarahkan oleh khayalannya, bukan oleh kenyataan yang ada pada dirinya.  Biasanya orang semacam ini berjalan dengan angkuh dan merasa dirinya memiliki kelebihan dibandingkan dengan orang lain.

Dengan demikian, keangkuhannya tampak secara nyata dalam kesehariannya. Kuda dinamai  khail karena cara jalannya mengesankan keangkuhan. Seorang yang mukhtal membanggakan apa yang dimilikinya, bahkan tidak jarang membanggakan apa yang pada hakikatnya tidak ia miliki. Dan inilah yang ditunjuk oleh kata  fakhuran, yakni seringkali membanggakan diri. Memang kedua kata ini mukhtal dan fakhur mengandung makna kesombongan, kata pertama bermakna kesombongan yang terlihat dalam tingkah laku, sedang yang kedua adalah kesombongan yang terdengar dari ucapan-ucapan.

Di sisi lain, perlu dicatat bahwa penggabungan kedua hal itu bukan berarti bahwa ketidaksenangan Allah baru lahir bila keduanya tergabung bersama-sama dalam diri seseorang. Tidak! Jika salah satu dari kedua sifat itu disandang manusia maka hal itu telah mengundang murka-Nya. Penggabungan keduanya pada ayat ini atau ayat-ayat yang lain hanya bermaksud menggambarkan bahwa salah satu dari keduanya sering kali berbanrengan dengan yang lain.

Kata ughdhudh terambil dari kata  ghadhdh dalam arti penggunaan sesuatu tidak dalam potensinya yang sempurna. Mata dapat memandang ke kiri dan ke kanan secara bebas. Perintah ghadhdh jika ditujukan kepada mata maka kemampuan itu hendaknya dibatasi dan tidak digunakan secara maksimal. Demikian juga dengan suara. Dengan perintah diatas, seseorang diminta untuk tidak berteriak sekuat kemampuannya, tetapi dengan suara perlahan namun tidak harus berbisik.

Demikian Luqman al-Hakim mengakhiri nasihat yang mencakup pokok-pokok tuntunan agama. Di sana ada akidah, syariat dan akhlak, tiga unsur penting ajaran al-Qur’an. Di sana ada akhlak terhadap Allah, terhadap pihak lain dan terhadap diri sendiri. Ada juga perintah moderasi yang merupakan ciri dari segala macam kebajikan,  serta perintah bersabar, yang merupakan syarat mutlak meraih sukses, duniawi dan ukhrawi. Demikian Luqman al-Hakim mendidik anaknya bahkan member tuntunan kepada siapa pun yang ingin menelusuri jalan kebajikan.


Implikasi

Penanaman tauhid/aqidah/keimanan merupakan landasan pertama dalam pembentukan karakteristik dan moral anak. Islam mengajarkan agar orang tua membimbing anaknya agar beradab baik termasuk akhlak kepada Allah Swt.

Pendidikan ibadah merupakan keharusan bagi setiap individu untuk mengantarkannya sebagai hamba Allah Swt. yang sejati. Pendidikan ibadah ini harus diberikan kepada anak-anak sejak dini, sebagai manifestasi penghambaan seorang manusia kepada Penciptanya.

Lebih jauh, ibadah individual (seperti shalat) dengan kewajiban ber-amar ma’ruf nahi munkar sebagai ibadah sekaligus akhlak sosial merupakan konsekuensi logis dari pandangan filosofis tentang manusia sebagai makhluk pribadi dan sosial, di samping sebagai makhluk yang berdimensi lahiriah dan spiritual, yang meniscayakan dirinya untuk menjadi teladan kebaikan serta menghadirkan kedamaian dan ketentraman di muka bumi.

Kesimpulan

Menurut Ahmad Tafsir (2008) suatu kurikulum mengandung atau terdiri atas komponen-komponen: tujuan, isi, metode atau proses belajar-mengajar, dan evaluasi. Di sini lebih terperinci dijelaskan bahwa isi atau materi hanyalah salah satu bagian dari komponen kurikulum pendidikan.

Selain itu, ada juga yang memahami bahwa materi pendidikan Islam sama saja dengan kurikulum pendidikan Islam adalah bahan-bahan pendidikan Islam berupa kegiatan, pengetahuan dan pengalaman yang dengan sengaja dan sistematis diberikan kepada anak didik dalam rangka mencapai tujuan pendidikan Islam. Atau dengan kata lain kurikulum pendidikan Islam adalah semua aktivitas, pengetahuan dan pengalaman yang dengan sengaja dan secara sistematis diberikan oleh pendidik kepada anak didik dalam rangka tujuan pendidikan Islam.

Kurikulum pendidikan Islam itu merupakan satu komponen pendidikan agama berupa alat untuk mencapai tujuan yaitu menjadi—apa yang disinggung Adian Husaini (2012) sebagai—manusia yang beradab: manusia yang mau dan mampu bertindak seperti apa dan bagaimana seharusnya seorang muslim menurut Allah; baik kepada Allah, kepada sesama manusia, termasuk kepada diri sendiri.

Secara umum ada tiga materi pijakan, pertama, materi tauhid/aqidah/keimanan. Terdapat dalam QS. Luqman: 12-14, QS. Yusuf: 6, QS. Hud: 42-46, QS. Maryam: 30, QS. Al-Baqarah: 132-133. Kedua, materi ibadah/syariah. Terdapat dalam QS. Luqman ayat 12, 14, dan 17; QS. Maryam: 29, 31. Ketiga, materi akhlak. Terdapat dalam QS. Luqman: 12, 14, 15, 17, 18, 19; QS. Yusuf: 4-6, QS. Surat Hud: 42-46; QS. Maryam: 27, 28 dan 32.  Ketiga materi ini secara langsung dapat dijadikan sebagai materi pendidikan Islam, tapi dapat juga dijadikan sebagai pijakan dasar bagi materi-materi turunan (derivasi) sesuai kebutuhan pendidikan Islam itu sendiri.*** 

Daftar Pustaka
Al-Rasyidin, Nizar Samsul, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Ciputat Press, 2005.
Arifin, Muzayyin. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: PT Bumi Aksara, 2010.
Husain, Adian, Pendidikan Islam; Membentuk Manusia Berkarakter dan Beradab, Jakarta: Cakrawala Publishing, 2012.
Husaini, Adian (Ed.), Rihlah Ilmiah Wan Mohd Nor Wan Daud; Dari Neomodernisme  ke Islamisasi Ilmu Kontemporer, Malaysia: UTM-CASIS, 2012.  
Shihab, M. Quraish, Tafsir al-Misbah, Jakarta: Lentera Hati, 2003.
Tafsir, Ahmad, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2008.

Sumber lain:


Oleh: Syamsudin Kadir—Direktur Eksekutif Penerbit Mitra Pemuda. Judul asli “Materi dan Kurikulum Pendidikan Islam; Upaya Memahami Kandungan QS Luqman ayat 12-19”.



[1]  Pada mulanya, kata kurikulum berarti “jarak tempuh” atau “lintasan” yang mesti dilalui oleh seorang pelari dalam suatu lomba lari. Kemudian, kata ini dipakai untuk sesuatu yang harus didapatkan oleh seorang anak didik dalam proses pendidikan agar tujuan pendidikan tercapai. Dalam pengertian ini, kurikulum berarti bahan atau materi pendidikan. Dalam perkembangan lebih lanjut, kata kurikulum tidak hanya berarti bahan pendidikan, tetapi juga mencakup berbagai hal yang terkait. Hal itu dimungkinkan karena penyusunan bahan pendidikan (baca: pengajaran) selalu disertai dengan rumusan-rumusan yang berkaitan dengan tujuan, strategi, sarana, dan lain-lain. Sumber: http://didactica-islamica.blogspot.com/2011/04/materi-pendidikan-dalam-perspektif.html (Diakses pada Sabtu 19 April 2015 pukul 20.00 WIB)      
[2] Nizar Samsul Al-Rasyidin, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Ciputat Press, 2005, h.55-56. Menurut Ahmad Tafsir (2008: 54) suatu kurikulum mengandung atau terdiri atas komponen-komponen: tujuan, isi, metode atau proses belajar-mengajar, dan evaluasi. Di sini lebih terperinci dijelaskan bahwa isi atau materi hanyalah salah satu bagian dari komponen kurikulum pendidikan.
[3] Lebih jelasnya dapat dibaca dalam Pendidikan Islam; Membentuk Manusia Berkarakter dan Beradab (Adian Husaini: 2012), h.33-52   
[4] Nizar Samsul Al-Rasyidin, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Ciputat Press, 2005, h.61-62 
[5] M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Jakarta: Lentera Hati, 2003 h. 120-124   
[6] M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Jakarta: Lentera Hati, 2003 h. 125-127  
[7] M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Jakarta: Lentera Hati, 2003 h. 128-131  
[8] M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Jakarta: Lentera Hati, 2003 h. 131-133   
[9] M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Jakarta: Lentera Hati, 2003 h. 133-136  
[10] M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Jakarta: Lentera Hati, 2003 h. 133-138  

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Langkah dan Teknik Konseling Kelompok

Sejarah Perkembangan Pendidikan Luar Sekolah