PANCASILA BAGAI GADIS CANTIK
SEDERHANA saja, anak-anak millenial engga paham Pancasila. Karena mereka biasa dan butuh yang ril. Misalnya siapa manusia yang patut dicontoh. Mereka suka yang praktis. Kalau sekadar doktrin, mereka engga mempan. Orangtua juga cuma hafal lima sila. Itu pun sebagian. Maknanya apa, entah.
Maka proses mempertanyakan adalah proses yang wajar. Bagaimana mungkin menerima dan mengamalkan sesuatu yang belum dipahami, lalu orang dipaksa. Bila bertanya langsung dihakimi secara membabi buta. Jangan kan anak-anak millenial yang berpikiran bebas dan merdeka itu, generasi tua yang mempidatokan Pancasila juga kerap engga paham juga apa itu Pancasila.
Sebab tak ada tafsir pancasila yang baku, yang menjadi rujukan kolektif. Sehingga setiap kelompok bahkan individu memahami Pancasila dengan caranya masing-masing. Semuanya dalam rangka proses memahami dan memaknai. Siapa yang salah? Ya mereka yang paham Pancasila itu. Tidak merumusman nilai-nilainya dalam skala yang praktis.
Soekarno disemat sebagai salah satu pencetus Pancasila. Bahkan konon jadi mbahnya Pancasila. Tapi dia memunculkan Nasakom. Satu paket yang oleh berbagai kalangan sebagai akomodasi kepada komunisme. Dia diakui sebagai perumus Pancasila. Sehingga ia pun akhirnya beres juga dari kursi presiden.
Soeharto kerap disemat sebagai tokoh pembangunan dan penjaga Pancasila. Hal ini bisa dipahami dari peristiwa penumpasan G 30 S PKI 1965 dan Replitanya. Tapi aura dan praktik otoriter begitu terasa. Rakyat melawan. Sehingga tumbang juga pada Mei 1998 dalam satu gerakan reformasi yang dimotori Amin Rais dan kawan-kawannya.
Lalu orang menjadi bertanya, siapa model paling sah dan bermutu dari apa yang kita sebut sebagai manusia Pancasila? Apa saja indikasi paling sederhana seseorang disebut sebagai Pancasilais? Jawaban atas pertanyaan itu, rumusannya mesti dikonseptualisasi. Bila tidak, maka setiap orang punya selera untuk memahaminya.
Lalu, hal lain lagi, bagaimana pedomannya sehingga Pancasila itu bisa diamalkan? Bagaimana rumusan praktis melaksanakan Pancasila dalam seluruh aspek kehidupan? Yang menjawab mestinya negara. Negara mesti merumuskan itu. Kalau tidak, orang semakin wajar bertanya.
Nah proses bertanya semacam itu, tidak bisa kita anggap merong-rong atau melucuti Pancasila sebagai dasar negara. Sebab dasar negara sudah ada. Hal lain, karena bisa jadi mereka yang bertanya tidak ikut bergulat dalam perdebatan dan perumusan Pancasila. Lahirnya juga baru belasan tahun lalu. Mereka tentu engga paham tuh Pancasila. Apakah ketidakpahaman mereka lalu dihakimi sebagai kaum teororis anti Pancasila dan NKRI?
Pancasila sendiri bukan barang yang suci lalu tak bisa disentuh oleh pertanyaan yang bertujuan untuk memahaminya lebih mendalam. Dia adalah akumulasi ide-ide yang punya standar nilai tersendiri. Dia objek yang terbuka lebar untuk bukan saja dipahami tapi juga untuk dikritsi. Pancasila pun perlu dipahami secara terus menerus. Bukan sekali tapi berkali-kali.
Kalau ia ideologi, apalagi ideologi negara, maka justru ia mesti diperdebatkan setiap saat. Ia mesti diilmui berkali-kali. Proses pengilmuan atas Pancasila ada banyak cara dan polanya. Bisa dengan membaca buku, bertanya terus menerus, berdiskusi, berdebat dan sebagainya.
Pertanyaan yang muncul, buku siapa yang paling otoritatif untuk dijadikan referensi agar kita bisa memahami Pancasila dalam segala aspeknya? Lalu siapa manusia Indonesia yang paling otoritatif berbicara dan menjelaskan Pancasila ke ruang publik? Siapa negarawan yang punya integritas dan kejujuran sehingga mereka layak menjelaskan Pancasila dan penjelasan mereka bisa diterima?
Proses bertanya semacam itu adalah proses membongkar tradisi pendalaman dalam batasan sederhana. Sehingga orang punya ruang untuk mendekati bahkan mencintai Pancasila secara sadar. Lagi-lagi, dengan sadar. Karena bernegara itu mesti sadar. Tidak bisa dengan halu. Modernitas dan kemajuan bernegara menghendaki kebebasan publik untuk mendalami dasar negaranya dari beragam sudut.
Mirip seorang lekaki yang hendak menikahi seorang gadis cantik. Ia tak sekadar menerima fakta bahwa si gadis memang cantik. Dia juga punya peluang dan kesempatan untuk mengetahui lebih jauh si gadis anak siapa, adat dan kepercayaanya seperti apa, bagaimana keluarganya, apa pekerjaannya dan sebagainya.
Proses mencintai tidak lahir seketika. Kalau sekadar mencintai karena melihat fisiknya si gadis itu namanya cinta fisik. Padahal cinta butuh yang lebih. Cinta jiwa, cinta misi dan cinta hingga cinta ke dan di pelaminan. Tapi kuncinya adalah mendalami dan mengenali lebih dekat. Ada prosesnya. Kadang tak sesaat. Tapi cukup lama.
Proses semacam itu jangan dianggap si anak muda anti pada pernikahan, anti aturan alias standar nikah, atau anti kepada si gadis atau orangtuanya si gadis. Karena itu proses sadar dan rasional. Agar kelak dia mencintai gadis secara sadar dan rasional juga. Kalau dipaksa, malah nikahnya tak punya sakralitas. Sekadar dipaksa orang tua atau sekadar mengikuti selera sesaat: paras cantik si gadis yang mungkin menggodanya. Itu cinta prematur namanya.
Makanya dalam tulisan berjudul "Pancasila Mati Di Tangan Pembelanya?" beberapa waktu lalu saya memberi semacam usulan perihal dinamika publik seputar Pancasila. Tapi orang hanya baca judul. Itu pun langsung emosi dan banting-banting handphon atau HP. Tidak baca isi dan narasi tulisan itu. Bahkan ada juga yang alergi membicarakan Pancasila padahal engga paham juga apa itu Pancasila dan segala isi kandungannya.
Malah seketika saya dituduh kriminalis, radikalis, fundamentalis, ekstrimis bahkan teroris. Padahal saya akrab dengan Bang Boy Kepala BNPT. Saya kenal dengan tokoh ternama di Densus 88, Om Gories Mere. Saya juga sering menjadi narasumber di seminar TNI AD. Teman dan adik kelas saya banyak yang jadi polisi. Sering main futsal bareng juga bila berakhir pekan.
Kalau saya seperti yang dituduhkan, pasti dari dulu saya ditangkap dan ditembak mati. Tapi ya itulah sebagian kita. Sangat mudah menuduh orang dengan diksi yang receh dan terlihat norak juga bebal. Merasa paling Pancasilais padahal paham juga engga. Bagaimana bisa paham, bila baca buku saja enggan. Bayar pajak juga kadang nunggak. Berlalu lintas juga kerap melanggar. Padahal Pancasila butuh tindakan praktis. Bukan pidato basa-basi seperti yang juga dipraktikkan oleh sebagian politisi selama ini.
Seingat saya, pada tulisan itu saya mengusulkan beberapa poin sederhana berikut ini.
Pertama, negara perlu merumuskan tafsir normatif-formal atas lima sila Pancasila. Teknisnya bisa dengan membentuk tim ad hock. Kualifikasinya mesti negarawan yang paham dan memiliki kemampuan naratif. Mereka bebas dari kepentingan politik dan kue kekuasaan. Bila perlu jangan diambil dari politisi dan tokoh yang kerap ngangguk pada kebijakan penguasa yang kerap berbeda dengan selera publik.
Kelak rumusan mereka dilegalkan dalam sidang resmi di DPR atau MPR. Silahkan baca sendiri, legalnya lembaga apa. Sehingga rumusan itu punya posisi dan basis legalistik yang kuat dan bisa direrima oleh sebagai elemen sebagai produk lembaga negara yang wajib ditaati.
Kedua, negara perlu menyusun nilai-nilai Pancasila secara konseptual dan praktis. Konseptualisasi Pancasila perlu juga. Pemahaman praktisnya juga perlu dirumuskan. Agar setiap kita bisa merujuknya sebagai sumber pemahaman berbangsa dan bernegara dan dalam menjalani kehidupan sosial.
Dulu zaman Orba kita kenal dan akrab dengan butir-butir P4. Itu salah satu jasa Orde Baru yang patut kita acungi jempol. Di samping banyak hal yang dikritisi oleh banyak kalangan era itu. Saya kira isinya runut dan praktis sekali. Sekarang apakah ada hal semacam itu?
Ketiga, negara perlu membentuk lembaga khusus. Ya butuh institusi otoritatif dan model praktis. Mungkin sekarang ada BPIP. Cuma itu baru dari sisi Pancasila sebagai Ideologi. Saya baca SOP mereka juga hanya sekadar hal-hal normatif yang sudah biasa kita praktikan selama ini. Tidak ada gebrakan dan narasi baru yang membuat kita kagum. Dampak lembaga itu juga tidak ada. Bahkan cenderung dianggap sekadar bagi kue politik dan menyia-nyiakan anggaran negara atau APBN.
Lalu bagaimana dengan Pancasila sebagai dasar negara dan pandangan hidup bangsa? Apakah tidak dijaga dan dirawat? Sangat wajar kalau begitu bila pada RUU HIP tak ada penegasan soal itu. Mestinya, memang namanya bukan BPIP. Tapi tanpa I. BPP. Badan Penjaga Pancasila. Itu pun bila lembaga ini masih relevan.
Atau bahkan menurut Pakar hukum tata negara Refli Harun tidak perlu ada itu lembaga. Karena ia sangat bias kepentingan politik. Jadi keberadaannya tidak relevan. Kapasitas mereka yang di BPIP hanya ketokohan. Padahal Pancasila butuh dijaga dari banyak sisi. Sehingga butuh kemampuan epistemik yang kokoh. Lebih dari sekadar tokoh.
Model praktis yang saya maksud adalah contoh manusia yang minimal mendekati indikator bahwa mereka Pancasilais. Sehingga labelitas Pancasilaisnya tidak sekadar pengakuan segelintir orang tapi oleh publik luas. Jadi mesti ada model manusianya. Belakangan ada duta Pancasila. Eh malah tidak menghafal lima sila Pancasila. Miris betul. Dan saya benar-benar mengelus dada. Pancasila seperti mati di tangan pemujanya sendiri.
Pancasila memang bagai gadis cantik. Kita butuh waktu untuk sekadar mengatakan cinta. Bukan alergi dengan kecantikannya. Tapi kita butuh mencintai secara sadar. Toh dengan banyak mendalami dan bertanya, kita tetap mengakuinya sebagai gadis cantik. Tapi mengakui kecantikannya tak cukup. Maka teruslah bertanya tentangnya, agar cinta kita terus bersemi untuknya.
Lebih jelasnya silahkan baca ulang tulisan saya yang berjudul "Pancasila Mati Di Tangan Pembelanya?". Ada di internet. Tinggal tulis judul itu lalu klik. Nanti bakal keluar tuh tulisan. Begitu juga di Facebook. Semuanya ada. Saya sih inginnya kita terbiasa memahami tulisan dari beragam perspektif. Bila perlu dihadapi dengan tulisan juga. Sehingga tradisi literasi bisa lebih berenergi. Auranya intelektual dan punya dampak pada pengetahuan juga tingkah laku kita.
Saya sendiri masih jauh dari kelayakan untuk berbicara soal Pancasila. Tapi kondisi demikian tak membatasi saya untuk belajar termasuk untuk membangun diskursus. Sehingga kita, terutama dalam berbangsa dan bernegara, terbiasa untuk berbicara namun tetap dalam mekanisme keilmuan dan bingkai peraturan perundang-undangan.
Saya bisa salah dan keliru. Karena itu ruang koreksi dan saran dibuka lebar. Termasuk untuk sekadar say halo seperti dalam bentuk tulisan semacam ini. Dengan cara sederhana semacam inilah kita semakin menyadari bahwa kita memang butuh banyak belajar dan terus belajar. Dalam kesempatan lain saya kerap berdiskusi dengan beberapa petinggi TNI di Seskoad Bandung. Begitu juga tokoh di Lemhanas dan petinggi Polri. Semuanya adalah proses pendalaman alias belajar.
Lebih jauh, agar lebih mudah dan sederhana, anggap saja saya ini bodoh dan tak paham Pancasila, dan memang belum paham juga sih, anggap saja orang yang bodoh seperti saya banyak. Pertanyaan saya: lalu apa dan bagaimana cara Anda yang paham Pancasila memahamkan saya tentang Pancasila dan agar saya bisa mengamalkannya dalam kehidupan saya sehari-hari? (*)
* Judul tulisan
PANCASILA BAGAI GADIS CANTIK
Oleh: Syamsudin Kadir
Pendiri Komunitas "Cereng Menulis"
Komentar
Posting Komentar