"KESAKTIAN” PIAGAM JAKARTA
Tanggal 22 Juni 1945 adalah hari lahir Piagam Jakarta. Inilah satu Piagam Kesepakatan Nasional yang oleh Bung Karno dikatakan: “untuk mempersatukan rakyat Indonesia!” Maklum, Piagam Jakarta adalah Produk Panitia Sembilan yang diketuai oleh Bung Karno sendiri.
Sejak awal berdirinya, Indonesia mengakui agama sebagai faktor penting dalam NKRI. Perdebatan di BPUPK bukanlah dalam hal penolakan terhadap agama, tetapi soal: dimana agama ditempatkan dalam NKRI? Pihak Islam ketika itu, mengusulkan bentuk negara agama (BUKAN NEGARA TEOKRASI); di mana Islam ditempatkan sebagai dasar negara; setidaknya Islam menjadi agama resmi. Pihak lain menolak usulan itu.
Ketika sejumlah pihak menggugat Piagam Jakarta dalam sidang BPUPK, 9 Juli 1945, Soekarno meminta agar "Tujuh Kata" dalam Piagam Jakarta tidak dipersoalkan. Sebab, itu adalah hasil jerih payah dan kompromi antara golongan Islam dan golongan kebangsaan. Kata Soekarno: “Tujuh Kata" itu adalah "kompromi untuk menyudahi kesulitan antara kita bersama." (Tentang perdebatan dalam BPUPK, lihat buku Adian Husaini, Mewujudkan Indonesia Adil dan Beradab, Jakarta: INSISTS, 2015).
Hingga 17 Agustus 1945, Piagam Jakarta masih utuh. Rupanya, di tengah situasi yang cukup mencekam, berbagai pihak berusaha mengubah Piagam Jakarta. Target utamanya membuang “Tujuh Kata”: “… dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.”
Dalam permulaan Sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), 18 Agustus 1945, Bung Hatta mengaku menerima pesan dari Indonesia Timur. Bahwa, jika Tujuh Kata itu tidak dihapus, maka Indonesia Timur tidak akan bergabung dengan Indonesia merdeka.
Ultimatum itu dipandang tidak main-main oleh Bung Hatta. Dan sejarah kemudian mencatat apa yang terjadi. Setelah Bung Hatta melakukan lobi-lobi dengan sejumlah tokoh Islam, akhirnya “Tujuh Kata” itu memang dihapus. Umat Islam pun “mengalah” demi persatuan dan keutuhan NKRI. Menurut Kasman Singodimedjo, dalam bukunya, Renungan dari Tahanan, situasi ketika itu sangat genting. Kata Kasman: “Sekutu sudah thongol-tongol, Jepang masih thingil-thingil.”
Maka, dengan Takdir Ilahi, jadilah naskah Piagam Jakarta itu seperti yang kita baca dalam Pembukaan UUD 1945 saat ini. Perubahannya menjadi: “Ketuhanan Yang Maha Esa.”
Penghapusan "Tujuh Kata" Piagam Jakarta memang masih menyisakan berbagai misteri. Banyak tokoh Islam mengkritik pencoretan Tujuh Kata itu. Dan itu sangat masuk akal. Tapi, umat Islam pun memiliki keyakinan terhadap Takdir Ilahi.
Kita sadar, bahwa tokoh-tokoh Islam yang berjuang dalam perumusan dasar negara – seperti Haji Agus Salim, KH Wahid Hasyim, Ki Bagus Hadikusumo, Kasman Singodimedjo, dan sebagainya -- adalah para pejuang yang hebat. Pengorbanan mereka sangat besar bagi agama dan bangsa. Apa pun prosesnya, hilangnya “Tujuh Kata” adalah hasil perjuangan yang diterima oleh generasi berikutnya.
Karena itu, meskipun diliputi kekecewaan terhadap pencoretan “Tujuh Kata” para ulama, tokoh Islam, dan kaum muslimin tetap berjuang mempertaruhkan jiwa, raga, dan harta mereka untuk mempertahankan kemerdekaan RI. Mereka terus berjuang menegakkan kebenaran, melanjutkan amanah Risalah Kenabian, dalam kondisi apa pun.
*****
Meskipun “Tujuh Kata” sudah hilang dari Piagam Jakata, dalam perjalanannya, Piagam Jakarta itu masih saja terus “diusik”. Dalam Konstitusi Republik Indonesia Serikat (RIS) 27 Desember 1949, kata Allah hilang, diganti dengan Tuhan. Alinea ke-3 Pembukaan UUD RIS adalah: “Kini dengan berkat dan rahmat Tuhan telah sampai kepada tingkatan sejarah yang berbahagia dan luhur”.
Adapun kelima silanya: (1) Ketuhanan Yang Maha Esa (2) Perikemanusiaan (3) Kebangsaan (4) Kerakyatan dan (5). Keadilan sosial. Ketika Indonesia kembali menjadi Negara Kesatuan, pada 15 Agustus 1950, Konstitusi RIS itu masih dipertahankan.
Piagam Jakarta kembali lagi – meskipun tidak utuh secara tekstual – menyusul keluarnya Dekrit Presiden Soekarno, 5 Juli 1959, yang menegaskan: “Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni 1945 menjiwai dan merupakan suatu rangkaian kesatuan dengan konstitusi tersebut.”
Prof. Kasman Singodimedjo, yang terlibat dalam lobi-lobi di PPKI pada 18 Agustus 1945, mencatat: “Maka, Piagam Jakarta sejak tanggal 5 Juli 1959 menjadi sehidup semati dengan Undang-undang Dasar 1945 itu, bahkan merupakan jiwa yang menjiwai Undang-undang Dasar 1945 tersebut.”
Setelah Dekrit Presiden 1959 itu, Piagam Jakarta merupakan sumber hukum yang hidup. Dalam Perpres No. 11/1960, Piagam Jakarta dijadikan sebagai Konsiderans pendirian IAIN. Begitu juga dalam penjelasan atas Penpres 1/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama. Pada 22 Juni 1965, Bung Karno masih menghadiri Peringatan Hari Lahirnya Piagam Jakarta.
Meskipun Orde Baru hingga pemerintah saat ini belum menghidupkan kembali Piagam Jakarta secara terbuka, tetapi cukup banyak hukum Islam yang sudah berlaku di Indonesia. Padahal, Piagam Jakarta sempat dianggap sebagai barang terlarang dan menolak berlakunya syariat Islam di Indonesia. Sebagian kalangan masih saja tidak puas dengan Piagam Jakarta dan meminta Pembukaan UUD 1945 diubah, agar Indonesia secara tegas menjadi negara sekuler!
Seorang tokoh Katolik, Dr. Soedjati Djiwandono, pernah mengusulkan, agar Indonesia menjadi negara sekuler dengan mengubah Mukaddimah UUD 1945. Gagasan ini ia tulis dalam sebuah artikel berjudul “Mukaddimah UUD 1945 tidak Sakral” di Harian Suara Pembaruan, (9 Februari 2004).
*****
Memahami hasil Perjuangan bukan hanya dari apa yang kita inginkan, tetapi lihatlah bagaimana hasil itu diperjuangkan beserta tantangan yang dihadapinya. Begitulah cara melihat “Piagam Jakarta” yang adil.
Penulis Kristen, I.J. Satyabudi, dalam bukunya yang berjudul "Kontroversi Nama Allah" (1994), mengakui keunggulan tokoh-tokoh Islam dalam perumusan sila "Ketuhanan Yang Maha Esa". Satyabudi menulis:
"Lalu, siapa sebenarnya yang lebih cerdas dan menguasai ruang persidangan ketika merumuskan Sila Pertama itu? Sangat jelas, Bapak-bapak Islam jauh lebih cerdas dari Bapak-bapak Kristen karena kalimat ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’ itu identik dengan ‘Ketuhanan Yang Satu!’ Kata ‘Maha Esa’ itu memang harus berarti ‘satu’. Oleh sebab itu, tidak ada peluang bagi keberbagaian Tuhan. Umat Kristen dan Hindu harus gigit jari dan menelan ludah atas kekalahan Bapak-bapak Kristen dan Hindu ketika menyusun sila pertama ini."
Memang, jika ditelaah dengan cermat, pihak-pihak yang ingin mengubah Piagam Jakarta, juga tampak terburu-buru. Mereka hanya terfokus pada “Tujuh Kata”. Padahal, setidaknya ada “Tujuh Kata” lain yang juga sangat mendasar dalam Pandangan Hidup Islam (Islamic Worldview), yaitu: Allah, Maha Esa, rahmat, adil, beradab, hikmah, dan musyawarah.
Hilangnya “Tujuh Kata” (dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya), tidak mengubah konsep utuh Piagam Jakarta, sebagai konsep “Negara Tauhid”. Dan itulah yang ditegaskan dalam Munas Alim Ulama NU di Situbondo (1983): “Sila “Ketuhanan Yang Maha Esa” sebagai dasar Negara Republik Indonesia menurut pasal 29 ayat 1 Undang-undang Dasar (UUD) 1945, yang menjiwai sila yang lain, mencerminkan tauhid menurut pengertian keimanan dalam Islam.”
Jadi, atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, terbukti, Piagam Jakarta memang "sakti"! Wallahu A’lam bish-shawab. (Depok, 22 Juni 2020).
* Judul tulisan
"KESAKTIAN” PIAGAM JAKARTA
Oleh: Dr. Adian Husaini
(Direktur Attaqwa College Depok)
Komentar
Posting Komentar