ISLAM ITU AGAMA, BUKAN KLUB DANGDUTAN!
DALAM al-Quran ada konsep ketuhanan (al-ilahiyah), kemanusiaan (al-insaniyah), kesatuan (al-musawa), permusyawaratan (al-musyawarah) dan keadilan (al-adilah). Ente tentu belum baca kan? Nah itu dia masalah ente. Malas baca atau baca buku cuma buku bikinan golongan ente.
Dengarin nih, bila lima sila pada Pancasila mengandung atau berintikan lima nilai tersebut maka dengan mendalami Islam seseorang sudah bisa memahami Pancasila. Nah itu bedanya Islam sama ente. Islam detail banget dalam semua urusan. Karena ini agama bukan klub dangdutan.
Sudah, sederhana saja, engga pakai ribet. Ente kalau mau paham Pancasila, ente kudu belajar Islam tentang beberapa hal tersebut. Islam sangat apik dan unggul menjelaskan semuanya. Bukan saja teori tapi juga ada pola aplikasinya. Bukan halu tapi ril atau praktis.
Islam tak seburuk yang ente duga. Ente jangan terjebak dengan sisa pola adu domba ala penjajah Belanda era lama tentang Islam. Penjajah memang memahami Islam secara dangkal. Karena tujuannya untuk menjajah. Makanya dibikin opini dan propaganda.
Ente engga usah bingung dan bengong. Cukup cari buku tentang konsep lima sila tadi. Atau bisa juga membaca karya ilmiah para ahli. Ente bakal terdecak kagum bahwa Islam lebih apik dari yang ente duga.
Jangan kan bicara soal substansi lima sila, dalam Islam masuk WC saja ada aturannya. Begitu juga bab makan dan minum, semua ada aturan juga batasannya. Cara belanja dan pola hubungan dengan umat berbeda agama pun ada konsepnya.
Kalau ente cuma kenal bahwa Islam itu boleh membunuh umat yang berbeda agama, itu ente salah baca. Makanya baca jangan sepotong-sepotong, nanti ente tambah bingung. Baca yang pelan-pelan dan detail, biar ente menemukan substansinya.
Mungkin ente mengira saya malas baca buku tentang Pancasila. Ente salah duga. Saya baca buku tentang Pancasila sudah banyak. Puluhan buku malah. Termasuk soal dinamika global perihal hubungan antar peradaban. Tentang terorisme dan fundamentalisme pun saya baca.
Ada "Negara Paripurna" karya Yudi Latif, "Terorisme; Fundamentalisme Kristen, Yahudi dan Kristen" karya A.M. Hendropriyono, "Wajah Peradaban Barat" karya Adian Husaini, dan masih banyak lagi. Ente sendiri bisa cari dan baca sendiri.
Di rumah saya ada sekitar 10.000 eksamplar buku. Semua tertata rapih dan sudah saya lahap berkali-kali. Sudah 30 tahun lamanya. Bukan kemarin sore. Ente mau ngomat-ngamit tentang Pancasila, yang dibaca buku tulisan penjajah Belanda. Ya pantas saja ente bermental hipokrit. Ente koar-koar Pancasila padahal ente warisin pola penjajah durjana itu.
Sepaham saya dan ini juga menjadi keyakinan saya bahwa bila saja lima sila di atas dipahami secara baik dan dipraktikan dengan baik maka negara ini benar-benar aman, damai dan mensejahterahkan.
Tak ada yang membunuh atas nama agama, tak ada yang merong-rong kemanusiaan seenak udelnya, tak ada yang merusak persatuan demi kelompoknya, tak ada yang memonopoli kebersamaan tanpa musyawarah, dan tidak ada ketimpangan sosial yang dipelihara.
Saya sendiri menjadi toleran dengan umat lain karena saya berpandangan bahwa lima sila itu sangat islami. Keluarga saya pun banyak yang non muslim. Aman-aman saja. Bahkan kalau berkumpul di rumah kami makan kambing dan ayam secara berjama'ah. Bahkan tidur dalam serumah. Bukan semalam tapi bertahun-tahun.
Kalau Pancasila yang jadi dasar negara itu islami banget, lalu untuk apa saya ganti dasar negara? Engga ada untungnya. Malah rugi besar. Negara yang mengamini nilai-nilai Islam itu satu kebanggaan tersendiri. Saya mesti bersyukur. Jangan sekali, malah perlu berkali-kali.
Jadi kalau ente mencurigai saya dengan curiga yang aneh-aneh, itu pertanda ente belum kenal saya. Ente baru membaca satu tulisan saya. Itu pun mungkin ente baca cuman judulnya doang. Pantas ente begitu. Makanya banyak baca. Tulisan saya bisa diakses oleh siapapun. Itu pun kalau ente punya tujuan baik. Kalau tujuan ente jahat sih, tanpa membaca tulisan saya pun ente sudah bisa saya tebak: pemain propaganda warisan penjajah. (*)
* Judul tulisan
ISLAM ITU AGAMA, BUKAN KLUB DANGDUTAN!
Oleh: Syamsudin Kadir
Pendiri Komunitas "Cereng Menulis"
Komentar
Posting Komentar