MENDIDIK ANAK DARI SURAT AL-ALAQ

ANAK merupakan anak-anak zamannya. Faktanya memang mereka hidup di zaman ini. Namun, dalam konteks sejarah mereka adalah anak zaman ini yang hidup dan berperan di masa depan. Itulah yang kita sebut sebagai generasi. 

Paling tidak itulah salah satu makna pernyataan sahabat Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam Ali bin Abi Tholib ketika mengatakan bahwa anak-anak itu kita didik bukan untuk memasuki zaman seperti yang kita bayangkan sekarang, sebab mereka diciptakan bukan untuk zaman kita. 

"Didiklah anakmu sesuai dengan zamannya, karena mereka hidup bukan di zamanmu!", begitu ungkapan sahabat Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam yang sangat cerdas itu. 

Ya, anak-anak itu terlahir di zaman ini tapi bukan untuk zaman ini. Karena mereka adalah generasi untuk zaman baru, masa depan. Atas dasar itulah, siapapun kita, guru, dosen, terutama sebagai orangtua, sangat perlu untuk mempersiapkan segala hal terkait dengan masa depan anak.

Berbicara mengenai pendidikan anak adalah berbicara mengenai sekelumit aspek dan konteks. Tidak hanya mengenai sekolah dan pakaiannya, tapi juga mengenai model dan jenis pendidikan yang mesti mereka peroleh. 

Dan yang tak kalah pentingnya adalah mengenai apa yang mesti mereka peroleh dan apa yang mesti mereka pahami. Sebab dari sinilah awal bagi mereka untuk membangun basis kepribadian yang utuh. Yang kelak mempermudah mereka dalam mewujudkan diri menjadi generasi terbaik untuk zaman tebaik, ya kelak di masa depan.

Sudah banyak ahli atau pakar serta pengamat atau peneliti yang berbicara tentang pendidikan anak. Baik dalam bentuk buku, makalah, artikel maupun sejenisnya. Dari sekolah, rumah singgah hingga kumpulan ibu rumah tangga. Tidak saja di kota bahkan juga di desa-desa atau kampung-kampung. 

Hal ini menunjukkan bahwa pendidikan anak memiliki posisi strategis dalam kehidupan sosial manusia. Bukan sekedar sebagai wujud kasih sayang tapi juga bukti rasa tanggung jawab kepada masa depan anak. Sebab mereka adalah aset terbaik atau generasi untuk masa depan umat dan bangsa ini.

Pembangunan karakter atau moral anak membutuhkan model yang menjadikan anak meniru dengan bangga. Baik melalui kedua orangtuanya maupun kisah-kisah terdahulu. Dalam Islam sendiri terdapat berbagai contoh unik yang perlu kita pahami, dan kemudian layak dijadikan sebagai referensi atau tauladan. 

Dalam al-Qur’an misalnya, pada surat Luqman ayat 12-19 dijelaskan bagaimana kisah pendidikan Luqman. Mengapresiasi kisah tersebut dan wujud cinta kepada anak, dalam hal ini pendidikannya, tak sedikit para pemerhati yang ikut terlibat untuk berbicara mengenai pendidikan anak. 

Contohnya, kita bisa membaca buku "Positive Parenting" dan buku "Saat Berharga Untuk Anak Kita" karya Mohammad Fauzil Adhim dan lain-lain. Atau di beberapa momentum tertentu kita bisa menyaksikan diskusi atau dialog mengenai pendidikan anak, baik di TV, youtube, facebook, radio dan sebagainya.  

Beberapa waktu yang lalu saya dan istri saya melakukan diskusi ringan seputar keluarga, pendidikan anak dan sejenisnya. Selain untuk membangun tradisi intelektual dalam keluarga, hal ini dilakukan terutama sebagai wujud bangga dan rasa haru atas kelahiran anak kami  Aisyah Humaira pada Kamis 9 April 2020 lalu. 

Dalam al-Quran surat al-Alaq ayat 1-5 Allah berfirman, "Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan (1), Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah (2). Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah (3), Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam (4), Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya (5)."

Dari ayat-ayat tersebut kita dapat memetakan beberapa ide pendidikan pada anak. Dari moral dan etika hingga tauhid atau aqidah. Sudah menjadi pemahaman umum bahwa proses pendidikan mesti dimulai sejak dini, bahkan sejak dalam kandungan Ibunya. 

Kalau ditelisik, paling tidak ada tiga hal yang perlu kita berikan kepada anak saat mereka mulai bisa kita ajak berbicara. 

Pertama, memperkenalkan Allah kepada anak melalui sifat-Nya yang pertama kali dikenalkan, yakni Al-Kholiq (Pencipta). Kita tunjukkan kepada anak-anak kita bahwa ke manapun kita menghadapkan wajah kita, di situ kita menemukan ciptaan Allah. Artinya, Allah itu pasti ada. 

Terbukti dengan adanya ciptaan-Nya. Kita juga bisa membuat pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan Allah, misalnya, siapa yang menciptakan langit, bumi, matahari dan seterusnya. Semoga dengan begitu, akan muncul kekaguman dan rasa yakin anak kepada Allah. Ia merasa kagum, sehingga tergerak untuk tunduk kepada-Nya.

Kedua, kita ajak anak untuk mengenali dirinya dan mensyukuri nikmat yang melekat pada anggota badannya. Di sini kita ajak mereka menyadari bahwa Allah yang menciptakan semua itu. Perlahan-lahan kita rangsang mereka untuk menemukan amanah di balik kesempurnaan penciptaan anggota badannya. 

Katakan, misalnya, pada anak menjelang usia dua tahun, “Mana matanya? Wow, matanya dua, ya? Alhamdulillah, Allah ciptakan mata yang bagus untuk anakku sayang. Matanya buat apa nak?” dan contoh-contoh lainnya.

Secara bertahap, kita ajarkan kepada anak proses penciptaan manusia. Misalnya fase tanah ada dalam QS. Shad ayat 71, fase nuthfah atau air mani ada dalam QS. Fathir ayat 11, fase alaqah atau segumpal darah ada dalam QS. Al-Alaq ayat 2, fase mudhgah atau segumpal daging, fase 'idzham atau tulang, fase kisa al-idzham bil-lahm atau pembungkusan daging, fase 'insya atau pembentukan manusia ada dalam QS. at-Tin ayat 4 dan QS. al-Mukminun ayat 12-14.

Tugas ini, kelak ketika anak sudah memasuki usia sekolah, dapat dijalankan oleh orangtua bersama guru di sekolah. Selain merangsang kecerdasan mereka, tujuan paling pokok adalah menumbuhkan kesadaran, bukan hanya pengetahuan, bahwa mereka ciptaan Allah dan karena itu harus menggunakan hidupnya untuk Allah.

Ketiga, memberi sentuhan kepada anak tentang sifat kedua yang pertama kali diperkenalkan oleh Allah kepada kita yakni Al-Karim. Di dalam sifat ini berhimpun dua keagungan, yakni kemuliaan dan kepemurahan. 

Kita asah kepekaan anak untuk menangkap tanda-tanda kemuliaan dan sifat pemurah Allah dalam kehidupan mereka sehari-hari, sehingga tumbuh kecintaan dan pengharapan kepada Allah. Sesungguhnya manusia cenderung mencintai mereka yang mencintai dirinya, cenderung menyukai orang yang melakukan sesuatu secara nyata alias contoh nyata dan memuliakan mereka yang suka memuliakannya.

Pengorbanan para ibu yang mendapatkan takdir dan amanah “mengandung” dari Allah selama sembilan bulan lebih disertai dengan beban berat sejak awal kehamilan, mulai dari mual, muntah-muntah, sakit punggung, dan seterusnya, hingga saat melahirkan, harus kita tebus dengan menjaga keyakinan, moral dan etika anak. Jalan terbaik yang bisa dilalui untuk pekerjaan mulia ini adalah pendidikan. Hal ini kita lakukan agar anak mampu menjadi pembuka pintu surga yang sama-sama kita rindukan.

Mudah-mudahan ketiga hal di atas mampu mengawali semua cara, model, jenis dan bentuk pendidikan yang kita tunaikan. Kenalkanlah Allah kepada anak-anak kita sejak dini, niscaya kelak merekalah yang begitu tulus mengingatkan kita agar selalu menghamba kepada-Nya. 

Bahagianya jika anak-anak kita termasuk anak-anak yang soleh dan solehah yang membuat rumah tangga kita seperti “surga” sebelum surga yang sebenarnya, seperti sabda Rasulullah shallalahu 'alaihi wasallam, "Baiti jannati”, rumahku surgaku. 

Siapa yang paling bertanggungjawab dalam memerankan itu semua? Yang pertama dan utama adalah kedua orangtua anak. Berikutnya ditopang dan ditopang oleh keluarga, gurunya dan siapapun yang mengharapkan hadirnya generasi unggul. Akhirnya, mari tingkatkan kualitas pengetahuan dan perluas wawasan kita, agar semakin mampu mendidik anak-anak kita menjadi generasi unggul! (*)

* Judul tulisan 
MENDIDIK ANAK DARI SURAT AL-ALAQ

Oleh: Syamsudin Kadir
Penulis buku "Melahirkan Generasi Unggul" 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Langkah dan Teknik Konseling Kelompok

Sejarah Perkembangan Pendidikan Luar Sekolah