SEKADAR MENGEONG, KUCINGPUN BISA! 

SALAH satu ketertinggalan kita dalam bernegara adalah bahwa kita terutama sebagai bangsa, kita masih malas membaca. Jangan kan membaca jurnal dan berbagai hasil penelitian ilmiah, membaca buku pun kita begitu malas. Malasnya juga malas bertingkat. 

Literasi kita sebagai warga negara pun terasa sangat lemah. Dampaknya, bangsa kita pun sangat lemah dalam berliterasi. Masih jauh radanya dari standar ideal sebuah bangsa maju. Makanya kita mudah digiring menuju opini pihak-pihak yang menguasai media massa. Atau mereka yang menentukan opini dalam skala negara. 

Bayangkan saja, ranking baca buku kita sebagai bangsa berada pada peringkat paling bawah, peringkat ke 155 dari 196 negara. Padahal buku begitu banyak. Bahkan mirisnya lagi, negara ini konon mayoritas muslim, yang mestinya sangat erat dengan tradisi baca malah ogah-ogahan dalam membangun tradisi baca. 

3 negara paling rajin baca justru adalah negara mayoritas non muslim seperti Rusia, Spanyol dan Korsel. Padahal mereka tak punya kitab suci yang ayat pertamanya Iqro, membaca, seperti yang kita punya. Mereka sukses menjalankan Iqra dalam skala yang sederhana namun punya dampak besar bagi kemajuan negaranya. 

Rata-rata bangsa maju di dunia ini, rakyatnya membaca 90 sampai 110 buku per tahun.  Sedangkan Indonesia, rakyatnya hanya bisa membaca 6 sampai 11 buku per tahun. Itupun mereka yang paling rajin membaca. Coba lihat bedanya. Tragis dan menyedihkan! 

Pemimpin Rusia di masa lalu, Joseph Stalin, membaca sebanyak 500 halaman setiap hari sejak dia berusia 9 tahun sampai dia jadi pemimpin Uni Soviet. Begitu juga para pemimpin berpengaruh di dunia. Hampir semuanya adalah pembaca buku. Atau dalam ungkapan lain, mereka adalah kutu alias gila baca buku. 

Ungkapan ini sangat inspiratif dan layak kita renungkan secara mendalam. "Dunia kita akan berubah saat bacaan kita bertambah, kedewasaan kita akan bertambah saat bacaan kita terus bertambah. Tanpa membaca, kita akan jadi bangsa yang kosong tapi nyaring bunyinya. Makanya media sosial kita di Indonesia adalah media sosial paling berisik di dunia."

Medsos di Indonesia 15 ribu tweet per detik, tapi isinya banyak berita hoak dan fraud. Begitu juga group WhatsApp dan Facebook. Ribut sana-sini tapi kurang bermutu. Ramai tapi nihil makna substansi. Obrolan dan perdebatan jauh dari konten yang bermutu. Sebagian orang begitu peka dan sensitif pada isu-isu primitif dan tak bermutu. Lalu dengan begitu menafikan hal-hal besar dan subtantif.  

Bangsa yang maju adalah bangsa yang tak lelah belajar, sehingga menjadi bangsa pembelajar. Cirinya adalah gila alias rajin baca. Lebih banyak buku daripada makanan. Rajin belanja buku daripada belanja pakian. Coba tengok tradisi kita. Kita terbiasa membeli buku atau membeli pakian? Terbiasa membeli buku atau membeli makanan? 

Pendiri bangsa ini dulu adalah para pembaca yang baik. Mereka para pembelajar hebat. Dan, inilah yang membuat mereka masih kita kenang hingga kini: membaca beberapa buku di setiap harinya. Mereka adalah pembaca buku yang sampai taraf gila membaca. Bahkan mereka kerap dianggap beristrikan buku. 

Bangsa kita saat ini mengalami penurunan kualitas yang drastis. Tak heran, kadang, Tuhan memberi kita pemimpin yang memiliki minat intelektual yang sangat rendah juga. Dari pemimpin level bawah hingga level atas. Di segala level malah diuji dengan hadirnya pemimpin yang berkualitas rendah dan jauh dari yang diharapkan. 

Cara Tuhan menguji bangsa ini dan menegur bangsa ini ya dengan hadirnya pemimpin yang begitu-begitu saja. Cuma janji ini itu lalu ingkar janji. Ujungnya khianat mandat. Begitu seterusnya. Naifnya, kita pun secara sadar atau tidak kita sadari merasa nyaman dengan kondisi semacam itu. Atau kalau pun kesal dan marah, paling sesaat saja. Dapat sumbangan dan bantuan ini itu tetiba jadi bisu alias diam seribu bahasa. 

Padahal bila kita rajin membaca, maka ilmu pengetahuan dan wawasan kita bertambah. Dengan begitu akan dendirinya saat itu kualitas kita bertambah pula. Efek baiknya maka pemimpin yang akan kita hasilkan juga ke depan adalah pemimpin dengan kualitas bagus dan matang. Layak kita dengan dan tiru. Bukan karena mereka suka ingkar janji dan pandai menipu. Tapi karena memang layak dicinta dan dirindu. 

Jadi, jangan pernah putus asa, jangan pernah malu mengakui kekurangan. Kita terus mengevaluasi dan menyadarkan diri tentang banyak hal. Termasuk dalam hal tradisi baca buku. Sebab dari sana kita bisa dengan jujur memperbaiki kualitas diri kita, dari sana juga kita bisa memperbaiki kualitas bangsa kita.

Mari membaca dan memperkaya literasi kita, menuju kematangan pribadi hingga bangsa kita, menuju negara maju, kuat dan berwibawa sekaligus memimpin percaturan global. Kalau kita sudah punya niat dan tekad yang kuat maka akan dengan mudah bagi kita untuk memulai membangun tradisi baca buku yang juga kuat. Semuanya agar kita tak sekadar brisik. Singkatnya, kalau sekadar mengeong, kucingpun bisa! Kita bukan kucing kan? (*)


* Judul tulisan 
SEKADAR MENGEONG, KUCINGPUN BISA! 

Oleh: Syamsudin Kadir 
Pendiri Komunitas "Cereng Menulis" 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sejarah Perkembangan Pendidikan Luar Sekolah

Langkah dan Teknik Konseling Kelompok