MERAWAT GENERASI MILENIAL

GENERASI milenial adalah istilah yang semakin “nge-tren” belakangan ini. Mereka adalah generasi yang lahir dalam rentang tahun 1982 hingga 2004 yang kemudian diikuti oleh generasi Z yang lahir pasca tahun 2004 hingga saat ini. 

Pada periode ini, teknologi informasi mengalami perkembangan pesat dan ekspresi ke-Islaman cenderung meningkat. PEW Research Center mendeskripsikan generasi ini sebagai kelompok yang confident (percaya diri), conncted (terhubung), dan open to change (terbuka terhadap tantangan dan perubahan). 

Generasi ini juga disebutkan sebagai generasi yang kreatif, sangat memperhatikan citra diri, haus perhatian, toleran dan mudah beradaptasi. Walau tak sepenuhnya demikian, namun secara umum generasi ini memiliki ciri semacam itu. (Suara Muhammadiyah edisi 02/103/16-31 Januari 2018). 

Dalam perspektif PEW Research Center, milenial adalah istilah untuk generasi yang kelahiran kisaran tahun 1980-2000-an. Karakter generasi milenial sebagai “The Me Me Me Generation” bersifat individualistik, bergantung pada teknologi, dan familiar dengan media sosial. 

Dalam perspektif “milenialis” semacam itu, saya berpendapat, perkembangan dan respon dan upaya sebagian kalangan untuk menginternalisasi Islam dan merawat generasi milenial akhir-akhir ini cukup menggembirakan dan layak diapresiasi. 

Selain karena semangat untuk mempelajari atau menekuni ajaran agama yang bernyawa dan mesti disebar dengan kasih sayang (QS. Al-Anbiyaa: 107), yang belakangan semakin ramai, efek positif lainnya, misalnya, semangat untuk menampilkan berbagai ajaran Islam secara simbolik dan subtantif di ruang publik juga semakin ramai. 

Contoh ril, kalau dulu kalangan remaja berjilbab kerap dianggap asing, kini berjilbab sudah menjadi kebiasaan bahkan tren tersendiri bagi remaja atau generasi milenial. Kalau dulu belajar agama hanya menjadi aktivitas kalangan santri di berbagai pondok pesantren atau madrasah, kini justru menjadi aktivitas yang punya daya tarik tersendiri bagi generasi millenial, yang berdasarkan pemetaan komunitas banyak berada di pusat-pusat kota.   

Walau begitu, kita juga layak berhati-hati, sebab berbagai tantangan di hadapan kita hadir begitu terbuka dan cepat. Dengan majunya dunia teknologi dan informasi, generasi millenial berhadapan langsung dengan berbagai informasi negatif, bohong atau palsu (hoax) yang nyaris tak terbendung. Segala hal pun bisa diakses dan disebarkan, bahkan bisa “dikonsumsi” sebagai aktivitas harian yang tak terbendung juga. 

Dari fenomena semacam itu, karakter dan kekuatan moral menjadi penting dan mendesak untuk dimiliki, agar tak terjerumus ke dalam pemikiran dan tindakan yang menyimpang, baik dari sisi agama Islam maupun dari sisi peraturan yang berlaku di negara tercinta ini; yang sedikit-banyak sangat merugikan generasi milenial itu sendiri sebagai generasi baru umat dan bangsa di masa depan.  

Untuk itu, tanpa menafikan adanya berbagai keterbatasan dan kelemahan yang mereka miliki, kita layak mengakui bahwa kehadiran generasi milenial dan para dai muda yang cerdas dan cukup mampu menyesuaikan konten dakwah dengan kebutuhan generasi milenial seperti Adi Hidayat, Abdu Somad, Hanan Attaki, Evie Effendi, dan sebagainya di pentas dakwah Islam di Indonesia dengan animo generasi milenial yang cukup tinggi beberapa waktu belakangan ini layak diapresiasi dan ditopang. 

Islam adalah agama yang mudah dan memudahkan, serta tidak memberatkan. Dengan demikian, dakwah itu mengajak, bukan mengejek; dakwah itu membina, bukan menghina; dakwah itu nasehat, bukan menghujat; dakwah itu menyatukan, bukan bermusuhan. 

Allah berfirman, "Dan berjihadlah kamu pada jalan Allah dengan jihad yang sebenar-benarnya. Dia telah memilih kamu dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan. (Ikutilah) agama orang tuamu Ibrahim. Dia (Allah) telah menamai kamu sekalian orang-orang Muslim dari dahulu , dan (begitu pula) dalam (al-Quran) ini, supaya rasul itu menjadi saksi atas dirimu dan supaya kamu semua menjadi saksi atas segenap manusia, maka dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan berpeganglah kamu pada tali Allah. Dia adalah Pelindungmu, maka Dialah sebaik-baik pelindung dan sebaik-baik penolong.” (QS. al-Hajj: 78). 

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda, 

“Sesungguhnya agama itu mudah. Dan selamanya agama tidak akan memberatkan seseorang melainkan memudahkannya. Karena itu, luruskanlah, dekatilah, dan berilah kabar gembira! Minta tolonglah kalian di waktu pagi-pagi sekali, siang hari di kala waktu istirahat dan di awal malam!” (HR. Bukhari dan Muslim) 

“Apabila aku perintahkan kepada kalian mengerjakan suatu perkara, maka laksanakan semampu kalian.” (Bukhari dan Muslim) 

Maknanya, bahwa generasi milenial adalah generasi yang butuh teladan nyata generasi tua atau dari mereka yang lebih paham tentang ilmu agama. Kalaupun mereka memiliki kekurangan dan kelemahan termasuk dalam mempelajari dan menjalankan ajaran agama, mestinya diluruskan sekaligus diperbaiki secara baik dengan mengedepankan adab sebagai seorang muslim sekaligus sopan santun sebagai sesama anak bangsa. 

Dengan begitu, semua elemen selalu terdorong untuk berdakwah sesuai kemampuan dan medan aktivitasnya masing-masing, bahkan usia generasinya, dengan tetap menjaga niat baik, prinsip toleransi dan ukhuwah islamiyah  atau persaudaraan Islam, juga soliditas sesama anak bangsa. 

Dalam konteks itu, saya layak mengutip secara elaboratif pendapat Muhammad Azhar (2018), bahwa, bagi umat Islam “zaman now”, yang hidup di era milenial, ada tiga hal yang mesti dipegang teguh atau dirawat secara terus menerus, pertama, nilai-nilai dasar seperti tauhid, ibadah, maslahat, ukhuwah, keadilan, persamaan, jujur, amanah, cerdas, bertanggungjawab, dan sebagainya. Kedua, nilai-nilai dasar tersebut diderivasikan ke azas universal kehidupan umat, misalnya, ijtihad sebagai sarana bagi perubahan, sehingga umat Islam tidak kaku dalam menghadapi realitas zaman. Ketiga, azas-azas tersebut perlu dielaborasi pada agenda praktis kehidupan umat Islam sesuai situasi dan kondisi yang ada.    

Apa yang disampaikan oleh Azhar sejatinya merupakan elaborasi kontekstual atas karakter Islam itu sendiri. Dalam konteks kekinian, kita tentu masih ingat dengan ungkapan ini, “Setiap perkataan itu ada konteksnya, dan setiap tempat memiliki perkataan atau pendekatannya”. Atau dalam ungkapan lain yang semakna, “Setiap generasi ada zamannya, dan setiap zaman ada generasinya”.

Ya, dalam pandangan Ustad Evie Effendi yang diamini Ustad Adi Hidayat dan Ustad Abdu Somad di berbagai momentum, bahwa di era milenial ini butuh dakwah Islam yang milenial juga, yaitu lebih dinamis dengan tetap mempertahankan nilai dan prinsip-prinsip moral Islam; bukan “ngasal” sehingga menjadi biang antipati dari generasi milenial yang pada dasarnya masih membutuhkan arahan, penguatan dan bimbingan dari berbagai aspeknya. 

Lebih jauh, generasi milenial butuh narasi alternatif yang mmebuat mereka bertambah yakin kepada kebenaran Islam, bukan agama baru atau mendompleng Islam dengan sisipan irasional. Sebab Islam dengan karakter sempurna dan luas cakupannya, sudah menjadi alternatif lintas zaman dan peradaban. Hanya saja, dalam konteks aplikasi, Islam bersifat adaptif dengan ruang (tempat) dan zaman (waktu) dimana manusia hidup dan menjalani kehidupannya. 

Nah, kehadiran para dai muda adalah jawaban sekaligus narasi alternatif dari kehausan dan kebutuhan umat terutama generasi milenial yang memiliki bahasa zaman yang khas. Karena memang generasi milenial mesti dirawat secara kolektif dan silakukan secara seksama agar benar-benar menyentuh aspek-aspek yang sesuai dengan kebutuhan dan bahasa zaman mereka. 

Dengan demikian, maka ungkapan sahabat nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, Ali bin Abi Tholib, “Didiklah anakmu sesuai dengan zamannya, karena mereka hidup bukan di zamanmu”, semakin menemukan makna, relevansi dan kontekstualitasnya, terutama dalam ikhtiar kita untuk menjangkau kebutuhan keagamaan dan dalam merawat generasi milenial sebagai generasi unggul baru bagi umat dan bangsa kita Indonesia. (*)

* Judul tulisan 
MERAWAT GENERASI MILENIAL

Oleh: Syamsudin Kadir
Penulis buku "Melahirkan Generasi Unggul"

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sejarah Perkembangan Pendidikan Luar Sekolah

Langkah dan Teknik Konseling Kelompok