PANCASILA BUTUH MODEL, TELADAN DAN PRAKTIK!
KALAU saya memahami pancasila dari perspektif Islam, saya jadi toleran dan bertambah akur dengan siapapun. Bahkan saya bertambah percaya manusia itu ciptaan Tuhan yang paling mulia dan unik. Tak boleh ada satu pun manusia menghina dan menghardik manusia lain gegara berbeda keyakinan bahkan agamanya.
Kalau saya memahami Pancasila dari sudut pandang filsafat terlihat banget saya angkuhnya. Lagian para filosuf juga masih bingung dengan dirinya sendiri. Jangan tanya Pancasila kepada para filosuf. Mereka sendiri masih sibuk bermain diksi dan kata. Pancasila itu yang ril saja.
Dari sudut pandang politisi terutama era sekarang, juga malah bikin bingung. Pamer Pancasila tapi korupsi jalan terus. Pancasila dipersimpangkan. Sumpah demi negara dan seabrek janji, ujungnya pengkhianatan. Pagi berkhutbah Pancasila, malamnya digruduk tim KPK.
Tapi jangan salah duga. Saya bukan pelopor pengganti dasar negara. Siapapun yang berupaya mengganti dasar negara, bakal saya lawan. Apapun agama dan latar sosialnya. Karena dasar negara sudah selesai. Penjajah Belanda yang biadab itu pun masih bikin saya kesal. Tega betul mereka merampas kekayaan negeri ini. Membunuh jutaan leluhur kita.
Nah kembali ke Pancasila. Sepengetahuan saya, yang belum selesai selama ini adalah konseptualisasi nilai-nilai Pancasila dalam rumusan normatif dan apilikatif. Dulu ada namanya P4. Sewaktu SD dan SMP seluruh butirnya saya hafal. Bahkan dulu ikut cerdas cermat di Labuan Bajo. Padahal saya orang kampung. Guru SD pun hanya 3 orang.
Hal lain, belum ada kompetisi strategis dari apa yang saya sebut sebagai model manusia Pancasila. Pertanyaan dasarnya: apa saja indikator bahwa seseorang itu Pancasilais? Apa saja ciri paten seseorang disebut Pancasila? Pertanyaan sederhana. Tak usah pakai teori dan pandangan dari berbagai ilmuan asing yang tak paham makna terminologi itu.
Bayangkan, setiap rezim punya tafsirnya sendiri. Dulu Soekarno di era Orde Lama memahami Pancasila dengan ruh Nasakom. Demokrasi diperkuat tapi kesejahteraan begitu sulit. Perjalanan sejarah era 1950-an hingga 1960-an masih dapat kita baca secara gratis dan gamblang.
Belakangan Soeharto era Orde Baru memahami Pancasila berdasarkan seleranya sendiri. Kesejahteraan dikencangkan namun demokrasi dikebiri. Partai politik difresh jadi 3 tentu sesuai selera penguasa juga. Dan begitu seterusnya rezim reformasi punya tafsiran sendiri-sendiri.
Tafsir yang belum tuntas itulah yang digugat oleh banyak orang. Ada semacam ruang kosong yang seakan-akan tidak terisi. Atau mungkin sengaja tak dibuka ruang untuk diisi. Sampai suatu saat ada yang bertanya ke saya: Pak, siapa contoh orang Indonesia yang Pancasilais?
Sampai detik ini saya belum mampu menjawab pertanyaan itu. Bukan karena sengaja engga tahu tapi memang belum tahu. Saya sendiri apakah Pancasilais atau bukan, biar sejarah saja yang bercerita. Toh tanpa mengaku pun, saya tidak pernah merampas hak orang lain dan masih tetap bisa membantu sesama walaupun berbeda agama dan pandangan.
Tanpa pamer dan khutbah bertopeng Pancasila pun saya tetap membiarkan umat beragama lain beribadah sesuai keyakinannya. Sambil joget atau nungging juga terserah mereka. Saya juga masih menghargai kemanusiaan tanpa sekat warna dan latar apapun, tetap kokoh menjaga persatuan dengan sesama elemen bangsa, menjunjung permusyawaratan dan konsen untuk mewujudkan keadilan sosial bagi semua. Karena khutbah saja tak cukup. Pancasila butuh dipraktikan.
Koruptor pun berkhutbah kami Pancasila, eh tahunya kena OTT KPK. Kepala daerah yang memimpin daerah pun bisa-bisanya mengikrarkan janji lalu bulan depannya terlibat kasus pidana. Apakah mereka kurang paham Pancasila? Oh tidak. Mereka jagoan semuanya. Bukan saja menghafal tapi juga pembela.
Sejenak kembali ke sejarah. Dulu penjajah Belanda menyebut para Kiai dan Santri yang anti Belanda sebagai kaum Radikalis. Para pejuang atau pahlawan yang mereka bunuh pun mereka sebut sebagai kaum Eksterimis. Diponegoro dan Hasanudin mereka sebut sebagai kaum Kriminalis.
Bahkan kelak mereka sebut dengan kaum Teroris. Satu sebutan yang hanya bisa diucap oleh manusia berwatak norak dan bebal untuk para Kiai dan pejuang lainnya. Watak penjajah memang begitu. Mereka menstigma para pejuang negeri ini dengan stigma buruk. Padahal pemilik sah negeri ini adalah para pahlawan yang distigma buruk begitu.
Hal lain yang menjadi watak penjajah era itu adalah propaganda sesat di tengah masyarakat. Sehingga mereka berupaya mengadu domba antar ulama dan para raja juga sultan era itu. Tapi namanya penjajah, walau sudah bersusah payah, para tokoh tak mudah goyah. Karena tahu betul bahwa Bepanda hanya pandai berjualan topeng, isinya kosong. Jualannya madu padahal isinya racun.
Mereka memaksa kita untuk meng-iya-kan semua agenda dan propaganda mereka. Mereka memaksa kita untuk takluk dengan diksi murahan dan sampah semacam itu. Padahal mereka adalah pengkhianat Pancasila dan NKRI yang kita cintai ini.
Sudah, sederhana saja. Tak usah bicara yang rumit dan bikin kepala ente sendiri jadi pusing. Pancasila itu tak sekadar dipahami. Tapi mesti mewujud dalam ketaatan bernegara. Dalam hal-hal yang sederhana saja. ente taat berlalu lintas atau tidak. Ente rajin bayar pajak atau tidak. Kalau hal sederhana itu saja ente masih langgar atau nunggak, tak usah berbusa banyak. Itu basi namanya. Pancasila butuh tindakan ril, bukan pamer watak dan tingkah usil. (*)
* Judul tulisan
PANCASILA BUTUH MODEL, TELADAN DAN PRAKTIK!
Oleh: Syamsudin Kadir
Pendiri Komunitas "Cereng Menulis"
Komentar
Posting Komentar