Dosen Cabul Mesti Dipecat Tanpa Hormat!
"Kasus semacam ini kok masih saja terjadi?" Begitu ungkapan sekaligus pertanyaan saya seketika setelah membaca berita kali ini. Ya, kali ini diduga terjadi di sebuah kampus negeri yang ada di Jl. Perjuangan, Kota Cirebon-Jawa Barat. Bukan saja berlabel negeri, tapi kampus ini juga berlabel agama. Seorang oknum dosen diduga melakukan pencabulan atas mahasiswinya saat bimbingan skripsi atau tugas akhir. Konon sang dosen sudah disidang etik dan direkomendasikan untuk dipecat dari posisinya sebagai Ketua Jurusan di sebuah Fakultas.
Naifnya, kasus semacam ini diduga kerap terjadi dengan dugaan oknum pelaku dan korban yang berbeda. Hanya saja belum menjadi perbincangan publik, karena alasan berbagai hal yang konon akhirnya hanya menyudutkan korban. Hal ini menunjukkan kampus berlabel negeri dan agama tidak menjadi jaminan tidak terjadinya kasus senonoh atau pelecehan. Konon, seperti yang dilansir koran Radar Cirebon edisi Selasa (11/19/2022), kasus serupa diduga terjadi pada mahasiswi lain dengan pelaku diduga merupakan oknum dosen, staf dan mahasiswa.
Sebagai warga biasa yang kerap menjadi narasumber acara mahasiswa di kampus tersebut, saya mengusulkan beberapa hal penting sebagai berikut, pertama, pihak berwenang di kampus terkait segera memeriksa dosen dan mahasiswi tersebut, bukan sekadar memeriksa oknum dosennya. Sehingga informasi perihal kasus ini benar-benar menyeluruh dan tidak sepihak atau sekadar memojokkan satu pihak. Sebab dari kronologis kasus ini, minimal yang sudah tersebar di media sosial, korban diminta untuk masuk ke mobil sang dosen. Artinya, ada sesuatu hal yang masih tersembunyi pada kasus ini.
Kedua, oknum mahasiswi yang merasa menjadi korban perlu mendapatkan pendampingan khusus dari pihak terkait agar tidak mendapatkan intimidasi dari pihak yang bertanggungjawab. Ia juga perlu melaporkan apa yang dialaminya ke pihak berwajib, dalam hal ini Polres Kota Cirebon, dengan menyertakan bukti atau barang bukti yang dibenarkan menurut hukum. Agar mendapatkan penjelasan dan bantuan hukum yang maksimal, korban mesti menggandeng pengacara sebagai pendamping hukumnya, sehingga kasus ini benar-benar mencapai titik terang dan tuntas.
Ketiga, pihak berwenang mesti memecat oknum dosen dari profesinya sebagai aparatur sipil negara atau ASN. Tindakannya tidak cukup ditindak secara etik, tapi juga secara administrasi bahkan hukum. Bila secara etik ia sudah mendapatkan ajuan pemecatan dari jabatannya sebagai pimpinan sebuah jurusan maka selanjutnya ia juga mesti dipecat sebagai ASN. Sebab selain mencoreng nama baik almamater yang berlabel negeri dan agama, hal ini juga telah mencoreng nama baik ASN yang gajinya dibiayai oleh negara.
Keempat, pihak kampus mesti menyusun regulasi secara ketat sebagai acuan atau pedoman yang berisi, misalnya, bimbingan dan konsultasi akademik mahasiswa atau mahasiswi kepada dosen yang bertugas hanya bisa dilakukan di kampus dan mesti berkelompok. Hal ini menjadi penting agar kasus serupa tak terjadi lagi dan bisa menjadi acuan atau panduan para dosen dan anak didiknya dalam menjalankan aktivitas akademik. Bila pun karena ada alasan darurat, mesti diperjelas dalam klausul pada regulasi tersebut.
Menelisik kasus semacam ini, ada baiknya kita kembali membaca sejarah dan tujuan didirikannya kampus Islam berlabel negeri puluhan tahun silam. Pada tahun 1960, Presiden Republik Indonesia mengeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) No. 11 tahun 1960 tentang pembentukan Institut Agama Islam Negeri (IAIN). Dalam perpres tersebut dicantumkan pertimbangan pertama: “Bahawa sesuai dengan Piagam Djakarta tertanggal 22 Djuni 1945, yang mendjiwai Undang-undang Dasar 1945 dan merupakan rangkaian kesatuan dengan Konstitusi tersebut, untuk memperbaiki dan memadjukan pendidikan tenaga ahli Agama Islam guna keperluan Pemerintah dan masjarakat dipandang perlu untuk mengadakan Institut Agama Islam Negeri.”
Dari sini dapat dipahami bahwa niat awal tujuan pembentukan perguruan tinggi Islam, terutama yang berlabel negeri (seperti STAIN, IAIN dan UIN) sangatlah mulia, futuristik dan memiliki konsekuensi moral. Dengan begitu, perguruan tinggi Islam (STAIN, IAIN dan UIN) mesti memiliki desain konsepsional dan praktis dalam rangka melahirkan para ilmuwan yang benar-benar berilmu dan tangguh dalam mengajarkan serta mengamalkan ilmunya; ilmuan muslim yang bukan saja memahami ilmu agama dalam konteks teoritis-konsepsional, tapi juga dalam konteks praktis-operasionalnya.
Sederhananya, kampus kategori PTKIN yang sebelumnya disebut dengan PTAIN mesti memiliki efek transformatif yang subtantif, terutama dalam membangun kampus sebagai laboratorium ilmuan dan keilmuan, baik ilmu-ilmu pokok agama maupun ilmu terapan serta ilmu pengetahuan hasil penemuan era modern. Dengan begitu, perubahan status memberi dampak positif, bukan malah merusak tatanan akademik yang sudah berjalan baik. Jika merusak, menurut Akh Minhaji (2016), hal ini memperkuat pandangan yang berkembang luas selama ini bahwa tradisi akademik di perguruan tinggi Islam dalam mengkaji agama (Islam) hanya sebatas fenomena sosial-budaya layaknya di Barat, bukan mendalami ilmu-ilmu pokok agama secara transformatif.
Selama ini kajian Islam di perguruan tinggi Islam lebih menekankan unsur kedua (praktik, profan, tradisi, dan sejarah) dan kurang memberi perhatian memadai pada unsur pertama (konsep, sakral, keyakinan dan doktrin-ajaran). Sehingga begitu banyak yang pakar dalam mendebat bahkan “menggugat” teks agama hingga “mencaci-maki” praktik keagamaan, namun hanya sedikit yang ahli dalam ilmu agama dan memiliki kapasitas dalam melakukan teoritisasi ilmu-ilmu keagamaan sehingga bisa dielaborasi dalam dunia yang lebih ril dan bermanfaat bagi kemanusiaan. Bahkan ada oknum dosen yang bergelar panjang, namun adabnya buruk bahkan kerap bertindak amoral seperti melakukan pelecehan seksual.
Dalam lembar sejarah terutama sejak awal kemerdekaan (pada tahun 1950-an) peran kampus berlabel Islam sudah memberi efek konstruktif dalam pembangunan pendidikan dan bangsa. Lakon historis semacam itulah yang mesti dijadikan inspirasi bagi perguruan tinggi Islam dalam kehidupan yang semakin kompleks dan dinamika global yang semakin kompetitif ini. Dalam konteks itu, perguruan tinggi Islam mesti menjadi institusi transmisi ilmu pengetahuan dengan memadukan ilmu-ilmu pokok keislaman dengan ilmu-ilmu yang berkembang di era kontemporer seperti sains dan teknologi. Pada saat yang sama perguruan Islam juga mesti menjadi pemilik dan penjaga moral yang tangguh.
Hal lain, agenda yang lebih substantif adalah melakukan apa yang disebut oleh Wan Mohd Nor Wan Daud (2013) sebagai proses islamisasi ilmu pengetahuan kontemporer. Rilnya, menurut Pakar Pendidikan ISTAC dan penulis buku “Rihlah Ilmiah Wan Mohm Nor Wan Daud; Dari Neomodernisme Ke Islamisasi Ilmu Kontemporer” (2012) tersebut, perguruan tinggi Islam mesti mampu “mengkawinkan” ilmu-ilmu pokok agama dan ilmu pengetahuan kontemporer dengan mendiagnosa konsep dan teori-teori “subhat” sehingga terlahir generasi atau ilmuan yang ahli berbagai ilmu atau multi disiplin ilmu, memiliki basis keilmuan yang kuat serta bertangungjawab atas ilmunya. Sehingga kalangan civitas akademika baik dosen maupun mahasiswa atau mahasiswinya terbentuk menjadi insan akademik yang beradab dan tidak terpapar penyakit amoral. (*)
* Oleh: Syamsudin Kadir, Penulis Buku "Pendidikan Untuk Bangsa"
Komentar
Posting Komentar