Moderasi dan Toleransi Beragama di Indonesia untuk Peradaban Global


INDONESIA adalah sebuah negara besar yang memiliki potensi alam tak berbilang. Jumlah pulaunya banyak, daratan dan lautannya luas, serta kekayaan yang dikandungnya benar-benar tak terhitung. Jumlah penduduknya kini sekitar 270 juta jiwa, dengan warna kulit, ras, suku, budaya, adat istiadat, agama dan profesi warganya yang beragam. Islam merupakan agama yang dianut oleh mayoritas warga negara, sehingga menyebabkan Indonesia menjadi negara berpenduduk mayoritas muslim terbesar di dunia, yang diikuti oleh beberapa negara mayoritas muslim lainnya.  

Berbagai potensi yang dimilikinya membuat Indonesia semakin layak mendapatkan posisi strategis dalam dinamika global. Misalnya, sepanjang 2022 Indonesia mendapat posisi strategis sebagai Presidensi G20. Keketuaan Indonesia di panggung G20 dimulai secara resmi pada 1 Desember 2021 lalu setelah menerima keketuaan G20 2021 dari Italia pada 31 Oktober 2021. Keterlibatan Indonesia dalam forum semacam ini merupakan wujud konkret pelaksanaan atas amanah konstitusi negara, tepatnya dalam pembukaan UUD 1945, yaitu ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasar kepada kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. 

Pada 2022 ini berbagai pertemuan G20 diselenggarakan di Indonesia. "Recover Together Recover Stronger" merupakan tema besar pertemuan kali ini. Tema ini menjadi penting, bukan saja untuk menjaga stabilitas ekonomi dunia di tengah pandemi Covid-19 dan mempersiapkan kehidupan setelahnya, tapi juga untuk mengokohkan kebersamaan dalam menjaga keberlanjutan bumi. Dalam konteks itu, urgensi keketuaan Indonesia pada forum strategis global ini bukan saja menjadi etalase (showcase) kemajuan sosial ekonomi Indonesia, tapi juga menjadi ajang sekaligus momentum pengenalan identitas budaya Nusantara kepada peradaban dunia-global. Hal lain yang benar-benar urgen dan mendesak yaitu momentum terbaik bagi Indonesia untuk menyuguhkan narasi keislaman sebagai kunci penentu terwujudnya perdamaian global. 

Ya, diantara dua hal penting yang dimiliki Indonesia khususnya lagi umat Islam Indonesia adalah nilai sekaligus sikap moderat dan toleran. Hal ini ditandai dengan kenyamanan dan kerukunan hidup umat beragama yang hingga kini masih terjaga dengan baik di Indonesia. Hidup berdampingan warga yang beragam latar agama: Islam, Katolik, Hindu, Budha dan sebagainya, dengan semangat kolektivisme sebagai sebuah bangsa merupakan panorama indah. Sebagai negara yang mendapatkan kepercayaan untuk memimpin G20 Indonesia perlu memastikan dunia tidak lagi dicemari oleh aksi teror dan konflik dalam bentuk apapun.   

Moderasi dan toleransi sendiri merupakan dua nilai yang terkonstruksi dari konsep dan nalar agama, dalam hal ini Islam. Dalam Islam hal ini akrab disebut dengan "al-wasathiyah" dan "at-tasamuh". Umat Islam adalah "umatan wasatan", umat tengahan, merupakan modal esensial dalam mewujudkan kehidupan yang harmoni di tengah keragaman. Ini bermakna, umat Islam mesti hadir sebagai pembawa keadilan dan keseimbangan hidup di tengah kehidupan umat manusia. Sehingga dalam pandangan Dr. Yusuf al-Qardawi (2018), umat Islam seharusnya mengambil jalan tengah atau moderat dan toleran dalam segala hal, terutama dalam beragama. Sehingga umat Islam memungkinkan dirinya menjalankan misi kasih sayang bagi semesta alam atau dalam menjalankan misi perdamaian dalam kehidupan global yang heterogen.

Menurut Dr. Adian Husaini (2015), Islam adalah agama rahmatan lil'aalamiin yang menjunjung tinggi sikap saling menghargai perbedaan. Dalam Islam, nilai dan sikap semacam ini bukanlah sebuah wacana baru, tetapi sudah merupakan inti ajaran Islam dan dipraktikkan oleh Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam dan para sahabatnya, juga para generasi setelah mereka hingga kini. Kedua sikap tersebut dibarengi dengan sikap adil dan seimbang dalam beragama dan dalam kehidupan bersama masyarakat yang heterogen. 

Adanya nilai moderasi dan toleransi menunjukan Islam sangat merintangi umatnya untuk melakukan tindakan yang berlebihan (ghuluw) dalam beragama. Pada konteks yang sama, Islam juga sangat berupaya menghindarkan umatnya dari tindakan kekerasan atas nama apapun. Aksi teror dalam bentuk apapun merupakan bentuk kezoliman sekaligus tindakan yang bertentangan dengan Islam. Islam menghendaki kenyamanan dan kedamaian dalam kehidupan masyarakat bahkan global. 

Lebih dari itu, budaya saling membantu, menghormati, saling menghargai dan saling menjaga merupakan bagian penting ajaran Islam. Dalam sirahnya Nabi Muhamad shallallahu 'alaihi wasallam pernah menyuapi seorang Yahudi buta di sebuah pasar, dan selain itu juga beliau pernah menjenguk seorang Yahudi yang biasa menjenguknya. Bila dalam hal sepele saja Islam menggariskan perlunya sikap saling membantu, menghormati, menghargai dan menjaga, maka tentu saja untuk mewujudkan peradaban global yang lebih damai merupakan keniscayaan. 

Indonesia sebagai negara mayoritas muslim terbesar di dunia memiliki tanggungjawab moral dan konstitusional untuk menghadirkan sekaligus menjaga kedamaian dan keakraban antar seluruh umat manusia yang berbeda-beda ras dan bangsa juga negara. Hal ini seperti yang diungkapkan sebelumnya merupakan amanah konstitusi seperti yang dipertegas dalam pembukaan UUD 1945 sebagai tujuan negara yang bersifat internasional yaitu ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.

Apalah lagi diksi-diksi dalam Pancasila sebagai dasar negara adalah diksi-diksi yang sangat akrab dengan Islam bahkan diksi dari Islam itu sendiri. Ketuhanan merupakan terjemahan untuk "al-ilahiyah", kemanusiaan adalah arti "al-insaniyah", persatuan merupakan arti kata "al-itihadiyah", musyawarah adalah terjemahan "al-musyawarah" dan keadilan merupakan terjemahan dari kata "al-adl". Bahkan kata adab merupakan terjemahan untuk kata "al-adab". Kata berkat dalam konstitusi kita (Pembukaan UUD 1945) pun bermakna berkah atau kebaikan yang berlipatganda dan dampaknya meluas. Semua itu adalah diksi sekaligus terminologi dalam Islam. 

Menghadirkan kehidupan yang damai pada percaturan global perlu diawali dengan mewujudkan kehidupan yang damai dalam kehidupan sesama warga negara di dalam negeri. Sikap moderat dalam beragama diwujudkan dengan tidak memaksakan siapapun untuk memeluk agama Islam. Hal lain, tidak berlebih-lebihan dalam beragama, sehingga tidak menimbulkan kekacauan dan kerusakan serta sikap antipati dari umat yang berbeda. 

Selanjutnya, adanya berbagai konflik dalam beragam wajah dan latar belakang selama beberapa dekade terakhir di beberapa negara dan kawasan merupakan indikasi betapa kehadiran Indonesia di percaturan global sudah tak bisa ditawar lagi. Agenda pertemuan lintas negara yang dihadiri oleh unsur pemerintah dan non pemerintah dari berbagai negara perlu diinisiasi dan terus digiatkan, sehingga berbagai ide bersama tentang hal-hal yang dibutuhkan untuk menghadirkan sikap saling menghargai, mencari titik temu dan kegiatan positif lainnya bisa diperoleh sekaligus ditindaklanjuti dalam skala yang lebih praktis.  

Pengalaman menjadi juru damai konflik di beberapa negara dan kawasan sejak era Soekarno dan Soeharto hingga kini merupakan modal untuk menjalankan misi itu. Dengan landasan lima sila pada Pancasila yang mengandung nilai-nilai: ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, musyawarah dan keadilan sosial, meniscayakan Indonesia sebagai pencetus perdamaian dunia. Dan tentu saja dengan modal spirit moderasi dan toleransi Islam, umat Islam Indonesia bisa menjadi elemen strategis yang menopang peran Indonesia di level global dalam menghadirkan peradaban global yang lebih damai dan maju. (*)


* Oleh: Syamsudin Kadir, Wakil Sekretaris Umum DPW PUI Jawa Barat  

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Langkah dan Teknik Konseling Kelompok

Sejarah Perkembangan Pendidikan Luar Sekolah