Berdakwah itu Bercermin Diri


BERDAKWAH adalah upaya sungguhan dalam mengajak manusia pada jalan kebenaran sesuai syariat-Nya. Ia adalah kegiatan yang benar-benar istimewa atau sangat mulia. Karena mulia, maka pejuang dakwah mesti berkarakter mulia pula. Tulus, ikhlas, sabar, syukur dan lemah lembut adalah sebagian sifat yang melingkupi karakter pejuangnya. Itulah modal utama yang mesti dimiliki di setiap saatnya. Bukan seketika, tapi selamanya. 

Pada saat yang sama, berbagai penyakit yang mengotorinya mesti dijauhkan. Seperti bermuka dua: bermanis wajah pada saat bersua, tapi bermuka masam pada saat berpisah atau di belakang. Hal lain, dakwah juga perlu dilakoni secara damai dan santun. Bukan "ngasal" dan malah menimbulkan keresahan di sana sini. Dakwah bukan saja baik tapi mesti nampak baik. Itulah yang membuat dakwah terlihat indah dan menarik bagi siapapun. 

Dalam berbagai kasus di lapangan, kadang dakwah tak mendapatkan simpati orang bukan karena substansi dakwahnya yang buruk, tapi karena tampilan dan sikap para pelakunya yang jauh dari nilai dakwah yang diperjuangkan. Aspek ini perlu dilakukan pembenahan serius oleh da'i. Para da'i tidak selalu mesti terlihat berpura-pura baik, tapi memang mesti benar-benar baik. Maka da'i perlu banyak bercermin diri atau menengok ke dalam, bukan sibuk menodongkan lidahnya keluar sana.  

Mengenai hal ini, ada baiknya da'i mendalami ilmu komunikasi. Dengan kemampuan komunikasi yang baik dan tepat maka kebaikan atau kebenaran yang disampaikan bakal bisa dipahami dan menyadarkan siapapun. Pada saat yang sama perlu juga mendalami ilmu psikologi, agar paham betul kondisi orang dan lingkungan sekitar. Sehingga pilihan kata atau diksi, metode dan materi dakwah pun disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi. 

Kata kuncinya adalah teladan diri. Da'i mesti mengawalinya dengan memantapkan perbaikan diri. Ia mesti banyak bercermin agar selalu melihat segalanya dari dalam diri. Telunjuknya lebih banyak ditujukan pada diri sendiri daripada pada orang lain. Ia mesti menjadi teladan aktif dalam mencontohkan apa yang diperjuangkannya. Ia mesti menjadi model bagi dakwah yang dilakoninya. 

Selebihnya, da'i tak boleh terpapar virus paling. Misalnya, merasa paling baik, paling hebat, paling berjasa, paling berkontribusi, paling mampu, paling suci, paling ini itu, dan sebagainya. Apalah lagi menempatkan kelompoknya sebagai kelompok paling wah daripada kelompok yang lain, itu virus yang sangat berbahaya. Malah dakwah bisa jatuh, dalam pengertian, tak diterima masyarakat karena virus paling semacam itu.  

Pada akhirnya, berdakwah adalah lakon suci. Ia adalah jalan para kekasih Allah yang sangat Ia cintai. Tugas kita adalah menjalankan kembali peran mulia semacam itu. Bukan untuk menunjukan kita itu lebih dari yang lain, tapi sebagai proses belajar berbagi kenikmatan beragama yang kita rasakan. Tentang keimanan yang Allah anugerahkan kepada kita. Dan hasilnya kita serahkan kepada Allah. Sebab Ia adalah penentu segalanya. Ya, tugas kita hanya menyampaikan, bukan menghakimi. 

Mengenai hal ini saya jadi teringat dengan ungkapan seorang teman, "Dakwah itu mengajak diri kita pada jalan yang benar melalui atau dengan wasilah yang beragam, termasuk ketika mengajak orang lain. Hal itu sejatinya kita sedang mengajak diri kita sendiri agar melangkah pada jalan yang benar, bukan untuk menjadi hakim bagi orang lain" . Ya, begitulah dakwah, ia mesti menyadarkan dan berdampak baik pada diri kita sendiri. Mudah-mudahan Allah membimbing dan menguatkan serta memberkahi semuanya! (*)


Oleh: Syamsudin Kadir, Penulis Buku "Kalo Cinta, Nikah Aja!" 




Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sejarah Perkembangan Pendidikan Luar Sekolah

Langkah dan Teknik Konseling Kelompok