Spirit Profesor Arif Satria; Dari Mindset Menuju Transformasi
Secara sepintas kita bisa menyaksikan berbagai komunitas kepenulisan muncul seketika dan mengadakan berbagai pertemuan di berbagai laman media sosial yang mereka kelola, termasuk mengadakan pelatihan kepenulisan dan bedah buku. Saya termasuk yang mengikuti banyak komunitas semacam itu dan mengikuti berbagai kegiatannya. Sehingga saya pun merasakan manfaat teknologi secara masif pada diri saya justru ketika masa pandemi ini.
Selain itu, saya juga aktif menulis artikel untuk berbagai media massa seperti koran atau surat kabar, termasuk untuk berbagai media online dan blog pribadi saya. Di samping itu saya juga menulis beberapa buku seperti "Plan Your Success", "Pendidikan Ramadan", "Melahirkan Generasi Unggul", "Kalo Cinta, Nikah Aja!", Pendidikan Untuk Bangsa", "Indahnya Islam Di Indonesia" dan sebagainya. Pada momentum yang sama saya juga kerap menjadi narasumber acara pelatihan kepenulisan, kejurnalistikan dan bedah buku yang rerata pelaksanaannya secara online yaitu zoom meeting, google meeting, instagram dan sebagainya.
Secara khusus pada Jumat, 17 September 2021 pada pukul 19.30-21.00 WIB saya mengikuti acara bedah buku baru Prof. Dr. Arif Satria yang berjudul "Rector Message Mindset Baru untuk Transformasi". Acara bedah buku Rektor Institut Pertanian Bogor (IPB) ini dipandu oleh artis senior Shahnaz Haque dan ditayangkan atau bisa disaksikan melalui kanal Youtube IPB TV. Peluncuran secara daring ini menghadirkan beberapa penanggap diantaranya, Prof. Tridoyo Kusumastanto, Ph.D (Ketua MWA IPB), Prof. Dr Dodi Nandika (Ketua SA IPB), Prof. Dr. Evy Damayanthi (Ketua DGB IPB), Prof. Dr. Herry Suhardiyanto (Rektor IPB 2008-2017), dan Prof. Dr. M. Aman Wirakartakusumah (Rektor IPB 1998-2002).
Prof. Satria terlahir dari keluarga yang sangat sederhana dan memang secara ekonomi tidak tergolong mewah. Namun doa, motivasi dan keteladanan orangtua membuatnya selalu terobsesi untuk meraih cita-cita terbaik. Cita-citanya memang dinamis, misalnya, pernah ingin menjadi arsitek, lalu ingin menjadi penulis, kemudian ingin menjadi saintis. Sejak masa kecil pun ia sudah terbiasa menulis, hingga kelak ketika mahasiswa kerap menulis artikel, hingga ketika menjadi dosen dan menjadi rektor pun mampu menulis buku.
Kedua orangtuanya merupakan sosok teladan dan motivator terbaik baginya. Ayah dan Ibunya selalu menyemangati agar dia rajin belajar sehingga cita-citanya tercapai. "Kalau kamu suka memetik gitar jadilah penyanyi, kalau kamu suka menulis jadilah penulis handal, dan kalau kamu suka mengajar jadilah profesor", ungkapnya mengutip nasehati ayahnya. "Ibu saya punya kecerdasan spiritual yang tinggi. Beliau sering menasehati begini: Kamu harus percaya diri dan banyak berdoa, sebab Allah akan memberimu petunjuk sesuai dengan apa yang kamu usahakan", ungkapnya.
Dalam buku karyanya ini, sosok murah senyum yang juga Ketua Umum Ikatan Cendekiawan Muslim Se-Indonesia (ICMI) ini mengatakan bahwa, hari ini kita mengalami tiga disrupsi dalam waktu bersamaan, yaitu perubahan iklim, revolusi industri 4.0, dan pandemi covid-19. Disrupsi ini telah membuat kegamangan global. Ini adalah hal yang sama sekali baru dan belum pernah terjadi sebelumnya. Tidak ada pengalaman untuk menghadapi ketiga disrupsi ini. Tidak hanya Indonesia, bahkan di banyak negara, termasuk negara maju sekalipun, merasakan kesulitan yang sama.
Karena itu, menurutnya, tidak berlebihan bila dikatakan bahwa ketiga disrupsi ini membuat kita berada dalam satu garis start bersama semua negara di seluruh dunia. Karena berada dalam satu garis start, maka siapa yang cepat berlari akan memenangkan pertarungan. Siapa yang terlambat atau enggan start, maka akan kalah dan tertindas oleh kemajuan zaman. Alih-alih bahkan bakal menjadi korban atau dikorbankan oleh kemajuan zaman yang semakin kompetitif ini.
Pertanyaan mendasar yang mesti dijawab oleh seluruh negara di dunia bahkan oleh setiap orang, diantaranya, apakah kita bisa cepat berlari mengalahkan kecepatan negara lain yang juga pasti akan berlari? Apakah kondisi fisik kita seprima fisik negara-negara maju? Apakah pengalaman masa lalu akan menentukan kecepatan kita berlari hari ini dan masa depan? Dan masih banyak pertanyaan lain yang pada dasarnya dapat menjadi pendorong dan pemicu imajinasi kita untuk menemukan dan melakukan hal-hal baru yang lebih produktif.
Dalam nalar ilmu pengetahuan kita kerap diingatkan bahwa yang bisa bertahan bukan semata yang terkuat dan terpintar, namun yang responsif terhadap perubahan. Kini kita hidup di alam perubahan yang begitu cepat, diiringi dengan ketidakpastian dan kompleksitas yang amat tinggi. Menurut Prof. Satria, disrupsi yang sedang terjadi saat ini mengajarkan kita bahwa yang menentukan adalah kecepatan belajar (learning agility) dan bertindak dalam merespon perubahan. Mereka yang menjadi pembelajar dan bertindak cepat akan memperoleh apa yang seharusnya mereka peroleh.
Menurut sosok yang menyelesaikan pendidikan sarjana dan magister di IPB pada 1995 dan 1999 serta menempuh pendidikan doktor di Department of Marine Social Science, Kagoshima University, Jepang pada 2006 ini, kecepatan belajar itu sangat berkaitan dengan mindset atau cara berpikir. Mindset yang dimaksud tentu yang baru, sebab ini merupakan modal utama kekuatan transformatif. Orang yang memiliki kecepatan belajar umumnya optimis, kreatif, dan penuh imajinasi. Karena itu, kecepatan belajar merupakan modal penting bagi lahirnya inovasi yang merupakan ciri kemajuan pada diri seseorang bahkan bagi sebuah bangsa.
Pada umumnya setiap krisis menghasilkan lompatan-lompatan inovasi baru. Ada sejumlah syarat lompatan-lompatan inovasi itu berhasil dilakukan. Pertama, lompatan inovasi mensyaratkan kekuatan “future practice” atau “next practice”. Kedua, “future practice” hanya hadir di kalangan orang-orang yang memiliki “growth mindset”, dan bukan “fixed mindset”. Ketiga, “growth mindset” umumnya dimiliki oleh orang yang tergolong “agile learner”, pembelajar yang lincah, cepat, dan tangkas. Keempat, tiga kata kunci di atas (future practice, growth mindset, agile learner) dapat dikembangkan melalui peran perguruan tinggi (PT). PT yang berorientasi pada lompatan inovasi harus terlebih dahulu diperkuat para mahasiswa dan dosennya yang bercirikan tiga kata kunci tersebut.
Oleh karena itu, untuk menuju titik itu, tidak ada cara lain bagi PT selain melakukan perombakan kurikulum dan menciptakan ekosistem baru yang kondusif bagi tumbuhnya tiga kunci di atas. Fakta membuktikan bahwa bangsa hebat ditentukan oleh lompatan inovasi yang hebat. Dan, menurut penulis buku "Politik Sumber Daya Alam" ini, inovasi hebat akan ditentukan PT yang hebat. Karena itu, untuk menjadi bangsa hebat maka pembenahan dan penguatan Perguruan Tinggi adalah mutlak. Termasuk memastikan generasi muda terutama pelajar dan mahasiswa turut berkontribusi dan menjadi bagian dalam arus perubahan ini.
Prof. Satria telah membuktikan bahwa cita-cita bisa diraih dengan tekad, kesungguhan, kerja keras, pengorbanan dan menjadi pembelajar. Dari keluarga yang sangat sederhana ia mencicil impiannya untuk meraih berbagai hal. Motivasi dan doa dari orang-orang terdekat terutama orangtua adalah energi penting yang selalu ia jaga. Di samping itu, ia juga membuktikan bahwa mindset adalah kunci perubahan dan kemajuan diri bahkan sebuah bangsa. Ya, ia telah mencicil kesuksesannya dengan menulis, menekuni seni dan profesi, aktif berorganisasi dan selalu belajar. Inilah sosok ilmuan, pemikir juga transformator sejati yang layak diteladani oleh seluruh kaum muda Indonesia! (*)
* Oleh: Syamsudin Kadir, Penulis Buku "Plan Your Success" dan "Optimisme Membangun Bangsa" serta Penggiat Komunitas Cereng Menulis
Komentar
Posting Komentar