Budak Dukun alias Hamba Penipu


MENEMPUH pendidikan dari usia dini hingga meraih gelar ini itu bahkan bergelar anu dan anu. Mendapat pujian ini itu bahkan dianggap paling hebat untuk soal ini itu. Dan berbagai bentuk tepuk tangan tanda berprestasi dan hebat. Eh, ternyata semua itu hanya manipulasi alias tipu-tipu. Janji politik sekadar basa-basi untuk melunakkan hasrat warga untuk menyampaikan kritik dan mengalihkan dukungan.

Sorban yang dikenakan, kopiah yang dipakai, dan berbagai simbol keagamaan lainnya, gelar akademik, bahkan jabatan penting yang prestisius tidak menentukan taraf kecerdasan. Kalau bebal ya bebal saja. Level kebebalannya solid dan permanen. Bayangkan, nalar bernyawa mistis yang dipoles citra palsu masih dipercaya sebagai kebenaran dan dirujuk sebagai radar penentu ini itu. 

Pantas dalam sejarah selalu diingatkan bahwa kekuasaan akrab dengan kedunguan yang dilakoni para dukun alias penipu dan pembisik yang juga penipu. Singgasana berantakan bukan karena kekuatan luar, tapi karena kerapuhan keyakinan dan ilmu pengetahuan sang raja dan pengikutnya. Para penyokong pun hanya sibuk menebar pujian sembari berharap mendapat recehan sisa lagi sebagai bonus lakon jilat. 

Betapa bebalnya ya, menahan kencing saja engga kuat, eh malah dukun penipu dipercaya bisa menahan datangnya hujan. Naifnya lagi, kalau benar-benar jagoan mestinya diminta juga dong untuk menahan dampak buruk pandemi Covid-19. Tapi ini tidak, si penipu hanya dipercaya untuk menahan datangnya hujan. Padahal si dukun penipu basah kuyup terkena hujan. Mungkin syiriknya belum kaffah, karena di samping singgasana ada pengguna sorban bau yang mengangguk. 

Ya itu, karena memang level kebebalannya sudah tinggi, si dukun penipu pun tetap dipercaya untuk itu. Faktanya, hujan tetap datang dan besar pula disertai petir. Bukan saja tanah lapang itu yang basah kuyup, si dukun penipu itu pun ikut-ikutan basah kuyup. Mungkin hujan berkata dengan gagahnya: "eh dukun penipu, kamu terlalu sombong dan cari citra, tahan kencingmu sendiri saja tidak bisa, masa mau tahan aku? Atau kamu memang menipu para dedungu sekaligus cari uang di acara ini?" 

Dukun penipu alias dungu itu pun dianggap pintar alias hebat. Dipamer dan dipuja atau dipuji di mana-mana oleh media sampah yang memang mendapat receh sisa dari sang tuan. Pokoknya dibikin berita bahwa tanpa si penipu itu bakal bubar acaranya, tanpa si dukun dungu itu acara diatur ulang bahkan gagal total. Sehingga label pintar pada dukung dungu itu pun diberikan berulang-ulang. Padahal dia disebut dukun pintar karena yang minta bantuan dan yang percaya dia adalah orang bodoh alias dungu. 

Tapi ya begitulah bila penyembahan pada sampah busuk sudah mendarah daging dan otak sudah terjerat virus bebal, ketiak dukun pun dijilat bahkan disembah jua. Bahkan barisan para penyembah sampah dan pendukung penipu pun sama-sama bersorak, seakan-akan ada kejadian hebat dan luar biasa. Padahal lakon itu bukan saja menampakan kebebalan tapi juga tertampak norak. Maklum sama-sama penipu dan memang sekandang penipu. Begitulah jadinya bila sudah terpapar virus bangga menjadi budak dukun alias hamba penipu! (*)


Oleh: Syamsudin Kadir, Penulis Buku "Membaca Politik Dari Titik Nol" 




Komentar

Postingan populer dari blog ini

Langkah dan Teknik Konseling Kelompok

Sejarah Perkembangan Pendidikan Luar Sekolah