Tiga Pendiri dan 70 Tahun Fusi PUI


SALAH satu organisasi berbasis masa Islam yang cukup tua di Indonesia adalah Persatuan Ummat Islam (PUI). PUI dalam bentuknya kini adalah organisasi keagamaan kemasyarakatan yang bermula, berasal, dan berkembang dari dua perhimpunan. Pertama, Jam’iyyah Hajatoel Qoeloeb yang berdiri di Majalengka  pada Senin, tanggal 17 Juli 1911 M/ 20 Rajab 1329 H sebagai perkumpulan. Tujuannya, mewadahi kegiatan taklim agama Islam yang sudah berlangsung sebelumnya dengan nama Madjlisoel ‘Ilmi, serta program pendidikan melalui madrasah I’anat al-Muta’allimin dan kegiatan sosial ekonomi melalui koperasi dan usaha pertanian.

Jam’iyah Hajatoel Qoeloeb melalui rapat pengurus pada Selasa 16 Mei 1916 M/13 Rajab 1334 H, diubah menjadi Jam’iyah I’anat al-Muta’allimin. Namun, ketika diurus izinnya ke pemerintah Hindia Belanda, atas saran Haji Oemar Said Tjokroaminoto, namanya diubah menjadi Persjarikatan Oelama (PO) yang ditetapkan melalui besluit pemerintah pada Jum’at 21 Desember 1917 M/06 Rabbi’ul Awwal 1336 H (gouvernments besluit No. 43 (ANRI) – besluit ini diperbarui pada Sabtu, 19 Januari 1924 M/12 Jumadil Akhir 1342 H dan pada Rabu 18 Agustus 1937 M/11 Jumadil Akhir 1356 H. 

Kegiatan utama PO adalah pendidikan, berupa Madrasah Muallimin yang didirikannya pada 1923 M/1342 H, dakwah, sosial ekonomi, serta dilengkapi sejumlah organisasi otonom. Kemudian organisasi ini berubah nama menjadi Perikatan Oemmat Islam (POI) pada Senin, 15 Februari 1943 M/10 Safar 1362 H, dengan tujuan mengajak masyarakat kembali pada tuntunan Ilahi dan mengurangi pertentangan di antara umat Islam sebagai akibat politik devide et empira pemerintah Hindia Belanda.

Kedua, Al-Ittihadijatoel Islamijjah (AII) yang berdiri  pada Sabtu, 21 November 1931 M/11 Rajab 1350 H di Batavia Centrum (Jakarta dari tahun 1931-1934) dan selanjutnya berpusat di Sukabumi (1934-1952). Kemudian, namanya diubah menjadi Persatuan Oemmat Islam Indonesia (POII) pada Selasa 01 Februari 1944 M/06 Shafar 1363 H. 

PUI sendiri ditandai dengan disahkannya perhimpunan Persjarikatan Oelama, pimpinan KH. Abdul Halim, oleh Pemerintah Hindia Belanda berdasarkan Gouvernment Besluit Nomor 43 Tahun 1917, tertanggal 21 Desember 1917 M / 6 Rabiul Awal 1336 H. Dalam Sidang Majelis Syuro 2019 lalu, tanggal tersebut disepakati serta ditetapkan sebagai hari lahir PUI dan kemudian dicantumkan dalam Anggaran Dasar PUI Pasal 1 Ayat 2 yang disahkan pada tanggal 28 Desember 2019 M/ 1 Jumadil ula 1441 H.

Tiga Pendiri PUI 

Tiga tokoh pendiri PUI yaitu, pertama, KH. Abdul Halim. Beliau merupakan seorang tokoh kemerdekaan sekaligus ulama dari Kabupaten Majalengka yang lahir di Ciborelang pada 26 Juni 1887 dan wafat pada 7 Mei 1962. Beliau juga merupakan salah satu tokoh pencetus pendidikan dan kemajuan keagamaan Islam terutama di Jawa Barat. Hal ini diwujudkan, salah satunya, dengan mendirikan Santi Asromo pada 1932 di Majalengka-Jawa Barat. Beliau pun dikenal sebagai sosok yang mengorbankan segala pemikiran dan perjuangannya untuk kepentingan ummat dan bangsa. 

KH. Abdul Halim juga adalah sosok yang menjaga hubungan dan keakraban dengan para pemimpin organisasi berbasis masa Islam lainnya. Beliau selalu menerapkan prinsip toleransi sebagai kebaruan di ranah keagamaan. Hal itulah yang menjadi dasar beliau bergaul bersama beberapa beberapa tokoh dari latar belakang prinsip yang berbeda, seperti KH. Mas Mansur (kelak menjadi Ketua Umum Muhammadiyah) dan KH. Abdul Wahab Hasbullah (salah seorang pendiri Nahdlatul Ulama). Kedekatannya itulah yang menjadi titik pertemuan antara tradisi islam tradisional dengan Islam modern yang beliau bangun melalui diversity (keberagaman).

Selain menjadi tokoh sekaligus pejuang pendidikan serta pemimpin ummat, beliau juga menjadi tokoh penting dalam mendirikan negara Indonesia. Seluruh pemikiran dan gagasannya disumbangkan untuk bangsa yang kelak bernama negara Indonesia. Selain menekuni aktivitasnya membina organisasi PUI, beliau juga aktif berperan dalam berbagai kegiatan politik menentang pemerintahan kolonial. Pada tahun 1912 beliau menjadi pimpinan Sarekat Islam cabang Majalengka. Pada tahun 1928 beliau diangkat menjadi pengurus Majelis Ulama yang didirikan Sarekat Islam bersama-sama dengan KH. M. Anwaruddin dari Rembang dan KH. Abdullah Siradj dari Yogyakarta. 

Beliau juga menjadi anggota pengurus MIAI (Majlis Islam A’la Indonesia) yang didirikan pada tahun 1937 di Surabaya. Pada tahun 1943, setelah MIAI diganti dengan Masyumi (Majlis Syuro Muslimin Indonesia), beliau menjadi salah seorang pengurusnya. Beliau juga termasuk salah seorang anggota Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI/Dokurotzu Zyunbi Tyoosakai) pada tahun 1945, anggota Komite Nasional indonesia Pusat (KNIP), dan anggota Konstituante pada tahun 1955. 

Berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia, Susilo Bambang Yudoyono (SBY), Nomor: 041/TK/Tahun 2008 tanggal 6 November 2008 silam, sosok tokoh pergerakan nasional, tokoh organisasi Islam, dan ulama yang terkenal toleran dalam menghadapi perbedaan pendapat antar ulama tradisional dan pembaharu (modernis) dianugerahi gelar sebagai Pahlawan Nasional. Sebuah anugerah yang bukan saja layak tapi juga seharusnya beliau peroleh. Beliau adalah sosok "titik temu" dari variasi atau keragaman pemikiran tokoh ummat. 

Kedua, KH. Ahmad Sanusi. Beliau dikenal dengan sebutan Ajengan Ahmad Sanusi dan  Ajengan Cantayan. Sosok ‘alim ini dikenal juga dengan sebutan Ajengan Genteng atau Ajengan Gunungpuyuh. Hal ini sangat wajar karena beliau lahir di Cantayan, Under Distrik Cikembar, Distrik Cibadak, Under Afdeling Sukabumi-Jawa Barat pada 18 September 1888 dan wafat di Sukabumi pada 31 Juli 1950.

Kiai Sanusi adalah sosok pendidik sekaligus ulama yang cerdas. Hal ini bisa dipahami dari konsennya. Bayangkan saja, ia adalah tokoh Sarekat Islam dan pendiri Al-Ittahadiyatul Islamiyah (AII), sebuah organisasi yang bergerak dalam bidang pendidikan, sosial kemasyarakatan dan ekonomi. Pada awal Pemerintahan Jepang, AII dibubarkan dan secara diam-diam beliau mendirikan Persatuan Umat Islam Indonesia (PUII). 

Selain itu, beliau juga pendiri Pondok Pesantren Syamsul Ulum, Gunung Puyuh, Sukabumi-Jawa Barat. Di samping itu, sepak terjangnya pemimpin Al Ittihadiyatul Islamiyah (AII) dan dalam menginisiasi terbentuknya PUI yang tidak bisa dianggap sepele. Ya, kelak pada 5 April 1952 terjadilah Fusi organisasi menjadi Persatuan Ummat Islam (PUI). 

Kiai Sanusi adalah tokoh sekaligus pemimpin yang berjiwa negarawan. Ketokohan dan kepemimpinannya sudah tak bisa diragukan lagi. Baik pada level umat maupun bangsa. Pada level dinamika pembentukan negara, Kiai Sanusi pernah menjadi anggota Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada tahun 1945. Badan inilah kelak yang merumuskan berbagai hal yang dibutuhkan dalam membentuk negara. Bila kita menengok sejarah, kala itu, suasana rapat besar BPUPK yang berlangsung maraton dari 13 hingga 16 Juli 1945, sejak pagi hingga tengah malam, berlangsung alot dan panas.

Di tengah suasana rapat yang makin panas dan menunjukkan tanda-tanda bakal berujung pada jalan buntu dan belum menemukan titik temu, Kiai Sanusi tampil bijak. Seraya menolak voting yang diusulkan Ketua BPUPK, Dr. RadjimanWedyoningrat. Kala itu, Kiai Sanusi meminta supaya (1) permusyawaratan berjalan tenang, (2) jangan mengambil keputusan dengan tergopoh-gopoh, dan (3) semua peserta rapat berlindung kepada Allah. Interupsi Kiai Sanusi pun berhasil menenangkan rapat besar, dan keesokan harinya, Rancangan Pembukaan UUD diterima dengan suara bulat.

Perihal hubungan agama dengan negara, Kiai Sanusi berpendapat bahwa keduanya merupakan dua badan yang satu dengan yang lainnya tidak dapat dipisahkan. Dalam pandangannya, usaha memajukan agama Islam berarti juga usaha memajukan bangsa dan negara. Agama dalam hal ini Islam sama sekali tidak merintangi negara sebagai sebuah medan amal sekaligus konsisus. Di sini sangat jelas betapa Kiai Sanusi menunjukan kecerdasan dan kemampuannya untuk membangun perspektif yang luwes di tengah keragaman pandangan para tokoh kala itu. 

Di BPUPKI Kiai Sanusi mengusulkan "Jumhuriyah" (Republik) sebagai bentuk negara, dan pemimpin "Jumhuriyah" itu seorang "Imam" (pemimpin) yang dipilih. Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa Kiai Sanusi adalah salah satu tokoh yang menelurkan gagasan bentuk negara "Republik" yang hingga kini masih kokoh diakui sebagai bentuk negara kita. Sehingga tidak bisa dipungkiri bahwa beliau layak disematkan sebagai Bapak Republik. 

Ketiga, Kiai Sanusi adalah cendikiawan unggul, pemikir ulung dan penulis handal. Pemikiranya seputar bentuk negara berupa konsep "Jumhuriyah" (Republik) dan pemimpin "Jumhuriyah" adalah seorang "Imam" (pemimpin) yang dipilih merupakan contoh rilnya. Sehingga seperti yang saya ungkap sebelumnya, tidak bisa dipungkiri bahwa beliau layak disematkan sebagai Bapak Republik. 

Kiai Sanusi juga sosok yang begitu giat dalam membangun tradisi literasi terutama tradisi menulis. Hal ini bisa dipahami dari karya tulisnya dalam beragam tema. Bayangkan saja, dalam pengasingan di Tanah Tinggi, Kiai Sanusi mengisi hari-harinya dengan menulis tentang ilmu-ilmu kegamaan seperti tafsir, fikih, dan tauhid. Ia bahkan membuat majalah Al-Bidayah al-Islamiyah yang terbit sebulan sekali. Konon Kiai Sanusi menulis ratusan buku dengan fokus pembahasan yang beragam. Kiai Sanusi pun menjadi bisa disematkan sebagai penulis atau penggiat literasi yang produktif, atau Bapak Literasi Indonesia. Bahkan, dapat disematkan sebagai Bapak sekaligus Penulis paling handal di lingkungan PUI dari dulu hingga saat ini. 

Kiai Sanusi telah melakoni peran penting dan tugas sejarah yang sangat berharga bagi eksistensi dan keberlanjutan PUI juga negara kesatuan republik Indonesia (NKRI). Selain sebagai ulama pejuang, pendidik hebat, cendikiawan unggul, pemikir ulung dan penulis handal, Kiai Sanusi juga merupakan pemimpin umat dan negarawan sejati. Sehingga Kiai yang lahir pada 18 September 1888 silam ini pun dapat disebut juga sebagai sosok 'alim atau ulama yang negarawan. Dari sini, karena pemikiran, kontribusi dan jasa-jasanya, sangat wajar bila pendiri PUI asal Sukabumi ini disematkan sebagai Bapak Republik sekaligus Pahlawan Nasional. 

Ketiga, Mr. R. Syamsuddin. Beliau lahir pada tanggal 1 Januari 1908, di Kaum Sukabumi-Jawa Barat dan wafat pada 15 Oktober 1950. Beliau merupakan putra dari Hoofd Penghulu Sukabumi, R.H. Ahmad Juwaeni (Tokoh Ulama Pakauman). Menurut Munandi Shaleh (2014), beliau menempuh Sekolah Agama di Sukabumi 1915, Sekolah ELS (Europesche Lagere) di Sukabumi tahun 1926, AMS (Algemene Middelbare School) di Bandung tahun 1929, RH (Rechtoge School) Universitas Leiden Bagian Hukum di Belanda, Lulus (Predikat Cum Laude) pada tanggal 4 Oktober 1935.

Masih menurut Munandi Shaleh (2014), tanggal 2 November 1944 Mr. R. Syamsuddin menjadi Walikota (Shicho) Kota Sukabumi (Sukabumi Shi). Lalu pada tanggal 28 Mei 1945 menjadi anggota BPUPKI dan tanggal 1 oktober 1945 dikukuhkan menjadi Walikota Sukabumi oleh BKR Sukabumi pimpinan K.H. Acun Basyuni dan KNID Kota Praja Sukabumi yang diketuai oleh dr. Abu Hanifah. Kemudian antara tahun 1945 –1946 beliau menjabat Komandan Hizbullah yang bermarkas di Pondok Pesantren Gunung Puyuh Sukabumi. Lalu pada tahun 1947 ikut Hijrah ke Yogyakarta beserta pejabat pemerintah RI lainnya sebagai konsekwensi dari perjanjian Renville antara Pemerintah Indonesia dengan Pemerintah Belanda.

Pada tanggal  11 November 1947 s.d. 29 Januari 1948 menjadi Wakil Perdana Menteri 1 (hasil resafle) mewakili Masyumi (pada Kabinet Mr. Amir Sjarifuddin/Kabinet RI VI). Lalu pada tanggal  4 Agustus 1949 s.d. 20 Desember 1949 menjadi Menteri Penerangan mewakili Masyumi (pada Kabinet Perdana Menteri Drs. Moh, Hatta/Kabinet Presidensieel RI IX) berdasarkan Penetapan Presidien Nomor 6 Tahun 1949. Kemudian pada tanggal 20 Desember 1949 s.d. 21 Januari 1950 menjadi Menteri Penerangan mewakili Masyumi (Pada Kabinet RIS Pimpinan Drs. Moh. Hatta/Kabinet RI X). 

Berikutnya, pada tanggal 23 Januari 1950 s.d. 15 Oktober 1950 (sampai dengan meninggal dunia), Era Kabinet Perdana Menteri Muhammad Natsir jilid 2 beliau diangkat menjadi Duta Besar Luar Biasa berkuasa penuh pada Pemerintah Republik Pakistan berdasarkan Keputusan Presiden RIS Nomor 75 Tahun 1950, dan jabatan ini merupakan jabatan yang terakhir dalam pemerintahan, BPUPKI beliau masih menjabat sebagai pejabat Ketua Umum PB PUII mengganti KH. Ahmad Sanusi. 

Ulasan ini tentu saja belum cukup lengkap untuk memahami lebih mendalam tentang tiga pendiri dan 70 tahun Fusi PUI. Sebab ada begitu banyak hal yang belum diungkap. Walau demikian, secara umum dari ulasan di atas dapat menambah informasi bagi kita tentang tiga tokoh dan Fusi tersebut. Benang merah dari seluruh perjuangan mereka adalah pembelaan ummat dan pembelaan bangsa dari berbagai penjajahan apapun bentuknya. Sehingga ketiganya pun bukan saja menginisiasi pendirian dan kelak Fusi PUI, tapi juga memastikan PUI berkontribusi besar bagi kemajuan ummat. Dan yang tak kalah pentingnya adalah ketiganya termasuk tokoh pendiri sekaligus pembentukan negara kesatuan republik Indonesia melalui keterlibatan mereka di BPUPKI. Bila KH. Abdul Halim sudah dianugerahi gelar Pahlawan Nasional, kini kita menanti pemerintah menganugerahi gelar yang sama untuk KH. Ahmad Sanusi dan Mr. R. Syamsuddin. (*)


* Oleh: Syamsudin Kadir, Wakil Sekretaris Umum DPW PUI Jawa Barat 


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sejarah Perkembangan Pendidikan Luar Sekolah

Langkah dan Teknik Konseling Kelompok