Saya termasuk diaspora Manggarai Barat, NTT di Jawa Barat yang sering menginjakkan kaki di Kota Mataram, Lombok, NTB. Kota ini diapiti oleh Kabupaten Lombok Barat dan Lombok Utara. Terhitung sejak 22 Mei 2024 lalu saya berkunjung ke Lombok untuk mengantar sekaligus mendaftar anak saya yang pertama, Azka Syakira, ke Pondok Pesantren Nurul Hakim yang berlokasi di Kediri, Lombok Barat.
Karena waktu berkunjung bertambah lama dari rencana awal, saya pun berinisiatif untuk memanfaatkan kesempatan yang ada untuk menghadiri beberapa undangan pelatihan kepenulisan dan bedah buku di beberapa lokasi seperti Universitas Muhammadiyah Mataram (UMMAT), SMAN 2 Mataram, Mahad Aly Nurul Hakim, SMKN 1 Kuripan, SMPN 4 Kuripan, dan SMK Nurul Hakim. Di samping wawancara secara live di RRI Pro 4 Mataram, diskusi Ikatan Pelajar Mahasiswa Mbeliling Sano Nggoang (IPM2S) Manggarai Barat di Mataram, dan Kelompok Diskusi Mahasiswa Muhammadiyah (KODIMM) Manggarai Barat. Bahkan obrolan ringan di beberapa rumah makan dan warung kopi.
Selain itu, saya juga mendapat kesempatan untuk bersua dengan dua orang sahabat baik saya yaitu Pak Iwan Wahyudi (asal Bima) dan Pak Noval Palandi (asal Dompu). Bila Pak Iwan sudah berjanji akan bertemu di Mataram saat saya masih dalam perjalanan Surabaya-Mataram, sementara Pak Noval dikabari oleh Pak Iwan bahwa pada Kamis 6 Juni 2024, tepatnya pukul 07.30 WITA, bakal bersua di sebuah warung nasi yang berada di depan Universitas Muhammadiyah Mataram.
Sejak awal saat saya sampai di Kota Mataram saya sudah mengajak Pak Iwan untuk menjadi patner di beberapa forum pelatihan kepenulisan dan bedah buku. Bagaimana pun, Pak Iwan adalah tokoh muda yang aktif menulis termasuk di beberapa buku yang saya gawangi selama beberapa tahun terakhir. Bahkan salah satu buku “keroyokan” yang baru saja terbit adalah “Pemuda Negarawan”. Buku ini saya tulis bersama puluhan penulis lainnya dari beberapa kota di seluruh Indonesia, termasuk Pak Iwan.
Pak Noval sendiri saya kenal sejak lama, hanya saja saya baru bisa bersua dengan sosok tokoh muda yang aktif menggawangi sebuah media online ini. Terhitung beberapa kali saya mengomentari status facebooknya, juga memberi komentar pada bukunya yang terbit pada Mei 2024 tersebut. Penulis buku “Bertaruh Hidup Bertaruh Politik” ini pun memperlihatkan kegembiraannya bisa bersua dengan saya. Sebuah perjumpaan yang sangat spesial, istimewa dan inspiratif. Saya berharap dalam waktu dekat akan terbit buku baru karya “keroyokan” kami bertiga.
Bersua dengan Pak Iwan dan Pak Noval menggambarkan minat saya yang sama dengan keduanya pada dunia kepenulisan. Selain saling berbagi informasi kegiatan kepenulisan, audisi kepenulisan dan menulis buku secara “keroyokan”, kami juga kerap saling melempar ide atau gagasan yang dimungkinkan menjadi sumber ide untuk buku baru yang akan digarap.
Karena itu pulalah saya berani mengatakan bahwa titik temu saya dan keduanya adalah literasi. Literasi memang bukan saja baca dan tulis, namun dua hal ini merupakan tradisi literasi yang paling dasar. Literasi mengharuskan adanya pembiasaan diri untuk membaca berbagai sumber bacaan, bahkan menuliskan kembali ide dan inspirasi yang diperoleh dari aktivitas membaca. Semakin giat membacanya, biasanya semakin giat menulisnya. Jadi, siapa yang rajin membaca umumnya bakal rajin menulis, baik artikel maupun buku.
Memiliki minat yang sama pada dunia kepenulisan membuat hubungan persahabatan saya dengan keduanya semakin lengket. Apalagi kami memiliki pengalaman yang sama di organsiasi mahasiswa ekstra kampus dan intra kampus di kampus yang berbeda, keakraban kami semakin lengket. Pertemuan kami pada Kamis 6 Juni 2024 merupakan akumulasi dari keinginan selama ini yang hanya bisa dilakukan di media sosial dan WhatsApp. Jadi kerinduan untuk bertemu sama semangatnya untuk terus menulis, menulis lagi dan menulis terus.
Walau kami bukan penulis kawakan, namun saya menjadi saksi bahwa apa yang kami lakoni selama ini adalah bukti nyata yang tak bisa dianggap sepele dan tidak layak dianggap remeh. Bila saya telah menulis sekira 60-an judul buku, sementara Pak Iwan menulis sekira 17 judul buku dan Pak Noval menulis 4 judul buku. Aktivitas menulis yang kami geluti seiring dengan tradisi intelektual yang kami lakoni di dunia pergerakan mahasiswa sekian tahun sebelumnya.
Sehingga pada konteks ini berpadu dua hal penting yaitu intelektualisme dan aktivisme. Bila yang pertama akrab dengan tradisi baca, tulis dan diskusi dalam ranga penguatan daya nalar, landasan argumentasi dan produksi ide-ide, maka yang kedua lebih kepada aksi sosial sebagai wujud nyata kepedulian pada realitas sosial yang perlu mendapatkan perhatian dan perbaikan.
Intelektualime dan aktivisme merupakan kata kunci yang harus menjadi ciri khas kaum muda era baru ini. Terutama bila elemen yang unik dan berbeda dengan kebanyakan elemen ini ingin menjalankan peran-peran sosial yang lebih strategis dan ril bagi masyarakat, bangsa dan negara. Kaum muda yang kehilangan dua hal tersebut akan kehilangan kompas, radar dan langkah dalam menjalankan tugas sejarahnya sebagai pelaku sekaligus pemimpin perubahan.
Pemuda menulis adalah contoh paling praktis kontribusi pemuda pada upaya menjalankan salah satu tujuan bernegara yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa. Apalagi menulis buku, hal ini bukan saja dapat mengasah kualitas sekaligus daya intelektual penulisnya, tapi juga mencerahkan sekaligus mencerdaskan kehidupan publik luas. Sehingga pemuda menulis buku merupakan ikhtiar untuk membuat Indonesia semakin giat dalam memproduksi gagasan yang semakin jenial dan perspektif yang semakin tajam.
Buku “Pemuda Negarawan” setebal 186 halaman dan terbit pada November 2023 lalu merupakan angin segar bagi kita semua bahwa Indonesia masih memiliki harapan untuk menjadi negara maju. Kuncinya adalah pemuda yang terus menerus membasahi nalarnya dengan gagasan dan tradisi intelektual. Pemuda semacam itulah yang mampu menggapai level negarawan yaitu pemuda yang lebih mementingkan urusan bangsa dan negara daripada urusan diri dan kelompoknya. (*)
* Oleh: Syamsudin Kadir, Penulis Buku “Pemuda Negarawan”
Komentar
Posting Komentar