Idul Adha dan Spirit Luhur Manggarai Raya


Pada Sabtu 15 Juni 2024 malam saya mendapat undangan untuk menjadi narasumber atau penceramah pada acara Halal Bihalal Himpunan Mahasiswa Muslim Manggarai-Surabaya Bersama Keluarga Besar Kempo Surabaya (Jawa Timur) pada Selasa 18 Juni 2024. Acara semacam ini sudah rutin dilakukan pada momentum Idhul Fitri dan Idhul Adha. Sehingga sebagai sesama diaspora saya merasa bersyukur, haru dan bangga untuk menghadiri undangan ini. 

Undangan tersebut saya peroleh saat saya masih di atas kapal KM. Dharma Rucita VIII perjalanan laut Lombok (Gilimas) - Jawa (Surabaya), Sabtu 15 Juni 2024. Saudara Mudhar, salah satu tokoh muda muslim Manggarai di Surabaya adalah wakil panitia yang menghubungi saya lewat pesan WhatsApp. Bagi saya, ini adalah momentum untuk meneguhkan tradisi literasi, terutama perihal nilai-nilai luhur dan silaturahim diaspora Manggarai Raya mencakup Manggarai Barat, Manggarai Tengah dan Manggarai Timur di Surabaya, Jawa Timur. 

Pada acara tersebut saya diminta untuk menyampaikan ceramah pada acara bertema "Asam ndusuk tana ru konem lalen tana sale, neka hemong kuni agu kalo". Secara sederhana tema tersebut bisa diterjemahkan secara bebas, "Asam ndusuk tana ru konem lalen tana sale neka hemong kuni agu kalo: walaupun negeri sendiri ditumbuhi ndusuk dan tanah orang berkelimpahan lale, jangan lupa kampung halaman sendiri atau jangan buang kebiasaan tanah tumpah darah. Intinya, ada upaya diaspora untuk membangun kesadaran kolektif tentang pentingnya menjaga nilai luhur dan berkontribusi pada kemajuan kampung halaman. 

Lebih lanjut, pesan tema tersebut saya elaborasi dalam beberapa poin sebagai berikut, pertama, pentingnya menjaga nilai-nilai luhur. Manggarai Raya merupakan kampung tempat asal sekaligus tempat kembali yang kaya akan berbagai nilai luhur. Misalnya kesederhanaan, kekeluargaan dan gotong royong. Nilai-nilai tersebut menjadi spirit sekaligus energi yang harus terus dijaga dalam berbagai lakon kehidupan. Keterbatasan kampung halaman dari sisi materi merupakan ruang kosong yang harus diisi oleh sikap dan tindakan yang mencerminkan nilai-nilai luhur yang dianut.

Apalagi hidup di tanah rantauan, kita harus menjaga pola hidup sederhana, menjaga hubungan kekeluargaan dan membangun budaya gotong royong antar sesama. Kekayaan kita sesungguhnya adalah kekayaan akan nilai-nilai. Itulah ruh yang mewarnai status sosial yang kita emban di mana pun dan kapan pun. Perbedaan status dan latar sosial mesti menjadi medan untuk mendewasakan dan meningkatkan mawas diri serta menambah semangat untuk saling melengkapi. Berani menjaga konektifitas dalam kehidupan yang semakin rumit dan menantang adalah keniscayaan keluarga besar diaspora.   

Kedua, jangan silau pada kemewahan. Berbagai kemewahan yang dilihat bahkan diperoleh di tanah rantauan tidak menghilangkan rasa bangga dan rindu pada kampung halaman yang serba terbatas dan kekurangan. Mungkin ada yang memperoleh jabatan penting, harta bergelimang dan status sosial yang tinggi, semua itu hanyalah selingan semata. Bila pun memperoleh berbagai hal yang bersifat materi, harus ada ikhtiar untuk menjadikannya sebagai modal sekaligus energi untuk kemajuan kampung halaman. Bahkan kampung halaman yang lebih jauh yaitu akhirat. 

Ketiga, jangan lupa kampung halaman. Sebagai perantau, tidak boleh menutup mata dan hati untuk melihat bahkan mengingat kampung halaman dari sisinya. Sebagai diaspora kita mesti peduli pada kondisi kampung halaman. Proses pembangunan harus terus diapresiasi dengan tetap menyampaikan kritik yang membangun. Sehingga mereka yang menjabat selalu mendapatkan masukan dan gagasan segar dalam menjalankan mandat masyarakat banyak. Jabatan tidak dijadikan sebagai alat untuk mengeruk kekayaan daerah atau negara demi kepentingan diri dan keluarga dengan jalur sekaligus pola yang keliru juga melanggar hukum. 

Kampung halaman tentu bukan saja Manggarai Raya tapi juga kampung halaman yang sesungguhnya yaitu akhirat. Sebab sesungguhnya, kehidupan ini tidak saja di dunia ini tapi juga di akhirat sana. Berbagai amal mesti dipersiapakan sebagai bekal menuju kehidupan yang abadi di sana, ya di akhirat sana. Bekal yang sudah diperoleh dan dipersiapkan selama ini harus berdampak pada kebahagiaan hidup di dunia juga di akhirat. Tidak boleh keangkuhan dan keserakahan merusak tujuan hakiki sebagai hamba Allah yaitu untuk beribadah dan menggapai surga terbaik-Nya. 

Idhul Adha bermakna kembali berkorban, yaitu mengorbankan segala yang dimiliki untuk kepentingan yang lebih luas dan abadi. Kita harus mengorbankan rasa egois diri yang berwujud dalam bentuk sikap angkuh dan sombong bahkan serakah. Kita ganti dengan sikap rendah hati, rendah diri dan pola hidup sederhana. Itulah modal utama kehidupan dunia juga akhirat. Sebagai perantau, semangat untuk berbenah diri mesti menjadi agenda rutin yang terus dijaga. Sebab hanya itulah cara yang bisa dijalankan untuk memperoleh kehidupan yang lebih baik dan lebih produktif. 

Hal lain, kita harus berani meningkatkan semangat kolektif antar kita. Silaturahim adalah kunci terjaganya hubungan baik, terutama pada lingkup dan dimensi keluarga. Bukan saja keluarga sedarah tapi juga keluarga Manggarai Raya rantauan. Silaturahim sendiri berdampak pada keberkahan hidup, kemudahan rezeki dan keberlangsungan hidup kita. Kesungguhan untuk menjaga kebersamaan dan kolaborasi merupakan praktik pengorbanan yang paling ril sebagaimana yang diisyaratkan dalam Idhul Adha. Semoga semuanya dalam bingkai Lillah dan mendapat keberkahan dari Allah! (*)


*Perjalanan Laut, KM. Dharma Rucita VIII, Lombok - Jawa, Ahad 16 Juni 2024 pukul 06.00 WITA. Oleh: Syamsudin Kadir, Penulis Buku "Pemuda Negarawan".  




Komentar

Postingan populer dari blog ini

Langkah dan Teknik Konseling Kelompok

Sejarah Perkembangan Pendidikan Luar Sekolah